Thursday, February 13, 2020

Syarat-Syarat Kritikus Hadis





A.      Pengertian Mujarh dan Mu’adil

Mujarh adalah pelaku atau ulama yang mencacatkan (men-jarh) perawi dari segi sifat-sifat tercelanya sehingga berdampak pada lemah dan ditolaknya riwayat yang disampaikan perawi tersebut. Adapun mu’adil adalah pelaku atau ulama’ yang meng’adilkan (men-ta’dil) perawi sehingga diterimanya periwayatannya tersebut. Sepanjang sejarah, jumlah ulama’ yang tergolong mujarh dan mu’adil terhitung tidak banyak. Hal ini dikarenakan syarat-syarat yang harus dimiliki sangatlah ketat.[1]
Pemberian lebel jarh dan ‘adil kepada perawi secara langsung memegang peranan yang sangat penting. Karena  memberikan lebel ‘adil sama dengan persaksian terhadap bersihnya seorang perawi dan memberikan hak kehidupan bermoral, kemuliaan, dan amanah kepada perawi. Sedangkan melebel perawi dengan lebel jarh, itu sama dengan menetapkan bahwa seorang perawi itu tidak bermoral, gugur kemampuannya dan tidak layak dihormati. Oleh sebab itu, dalam memutuskan dan mengklaim seorang perawi dengan jarh dan ‘adil hendaknya tidak dengan tergesa-gesa, karena bisa jadi jika mengambil pendapat dari ulama yang dirasa tsiqat ada pendapat ulama’ lain yang lebih tsiqat.
Dari segi keras dan longgarnya dalam men-jarh maupun menta’dil, mujarh dan mu’adil dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.      Kelompok yang sangat teliti dalam ta’dil dan sangat keras dalam jarh. Misalnya adalah Al-Hafizh Ad-Dzahabi.
2.      Kelompok moderat (jalan tengah). Seperti: Ibnu Hanbal, Daru Quthni, dan Ibnu ‘Adi.
3.      Kelompok longgar (mutasamuh mutasahil). Diantaranya yaitu At-Tirmidzi, Al-Hakim dan Ibnu Hazim.[2]


B.      Syarat-Syarat Mujarh dan Mu’adil
Di syaratkan kepada mu’addil dan pada jarih, ilmu, taqwa, wara’, jauh dari ta’asshub dan mengetahui sebab-sebab jarah dan sebab-sebab tazkiyah (ta’dil). Orang yang tidak demikian keadaannya, tidaklah dapat diterima tazkiyah dan jarahnya.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa jumlah ulama yang tergolong sebagai mujarh dan mu’adil tidak terhitung banyak karena syarat-syarat yang harus terpenuhi sangatah ketat. Adapun demikian, sejauh ini belum ada kepastian jumlah daripada syarat-syarat yang harus terpenuhi sebagai seorang mujarh dan mu’adil, tetapi secara garis besar dapat tergolongkan dalam dua kriteria, yaitu syarat yang bekenaan dengan sikap pribadi dan syarat yang berkenaan dengan penguasaan pengetahuan (intelektualitas).[3]
Pertama, syarat yang berkenaan dengan sikap pribadi, diantaranya:
1.      ‘Adil
Yaitu suatu kualitas kepribadian yang mencakup aspek agama Islam. Seperti mukallaf, melaksanakan ketentuan agama, dan memelihara muru’ah. Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan ada beberapa perilaku atau keadaan yang dapat merusak sifat ‘adil seseorang, yaitu:
a.       Suka berdusta.
Seorang perawi dalam mentarjih hendaknya memperhatikan perkataannya karena dengan benar dan dustanya akan berpengaruh pada ketsiqahan hadis yang ia riwayatkan.
لنَّارِ مِنْ مَقْعَدَهُ فَلْيَتَبَوَّأْ مُتَعَمِّدًا عَلَيَّ كَذَبَ مَنْ
Artinya ; Barangsiapa berbohong atas namaku dengan sengaja, maka dia menempati tempat duduknya dari neraka.(HR. Bukhari No.4)
b.      Tertuduh dusta.
c.       Berbuat atau berkata fasik tetapi belum sampai menjadi kafir.
d.      Tidak dikenal jelas pribadi dan keadaan dirinya.
e.       Berbuat bid’ah yang mengarah kepada fasik tetapi belum menjadikannya kafir.[4]


2.      Terlepas dari fanatik
Maksudnya, seorang mujarh dan mu’adil haruslah terbebas dari sikap fanatik baik terhadap suku ataupun mazhab. Karena jika ada sedikitpun sifat fanatik, maka akan mempengaruhi objektifitas keputusan atau penetapan yang akan ia ambil.
3.      Takwa
Bagi orang yang mentajrih atau menta’dil harus dalam keadaan takut oleh Allah karena hal ini akan sangat berdampak negatif jika seorang penjarah atau penta’dil tidak meyakini eksistensi sang maha pencipta
4.      Wara’                                                                         
Wara’ yaitu orang yang selalu menjauh dari sifat atau perbuatan maksiat, hal-hal yang subhat, dosa-dosa kecil dan hal yang makruhat. Sungguh tidak masuk dalam kategori bagi orang-orang yang suka mengerjakan perbuatan yang dimurkai Allah.
 Sesungguhnya perkataan rowi dalam mentarjih dan mentadil membutuhkan  wara’ yang sempurna, dan memutuskan hubungannya dari hawa nafsu dan harta benda.[5]
5.      Tidak ada permusuhan dengan perawi yang dinilainya
Sama halnya dengan fanatik, permusuhan yang terjadi antar manusia ancap kali menghadirkan unsur-unsur subjektif yang dapat merusak objektifitas.
Kedua, syarat yang berkenaan dengan penguasaan pengetahuan (intelektualitas).
Syarat yang kedua ini bisa dibilang susah-susah gampang karena meliputi hal semisal berikut:
1.      Penguasaan terhadap bahasa arab.
2.      Penguasaan ilmu hadist dan kaidah-kaidahnya.
3.      Penguasaan terhadap ilmu sejarah.
4.     Pengetahuan  sebab-sebab mentajrih dan menta’dil.

C.      Kontradiktif diantara Para Mujarh dan Mu’adil
Kontradiktif diantara para mujarh dan mu’adil ini misalnya, ada beberapa orang menilai ‘adil dan ada beberapa orang lagi menilai jarh. Kemudian timbul pertanyaan manakah yang diterima, pendapat ulama yang menilai ‘adil atau yang menilai jarh ?.
Untuk menjawab permasalahan diatas, terdapat banyak pendapat dari para ulama. Adapun tiga dari pendapat yang banyak tersebut antara lain:
1.      Menurut Ar-Razi, Al-Amidy, Ibnu As-Shalah dan Jumhur Ushuliyyin.
Mereka mengatakan bahwa secara mutlak, jarh didahulukan dari ta’dil. Seandainya jumlah orang yang mena’dilkan lebih banyak dari yang menjarhkan dan orang yang mengatakan jarh itu lebih banyak meneliti keadaan rawi maka akan tampak masalah yang tidak diketahui oleh orang yang mena’dilnya. Sementara hal-hal yang diketahui oleh seorang yang mena’dil hanya faktor luar keadaan seseorang. Dengan demikian, orang yang memberi penilaian jarh mempunyai nilai tambah bisa dijadikan dasar pendapatnya atas pendapat orang yang menta’dil.[6]
2.      Menurut Al-Khathib Al-Baghdadi Dalam kitab Al-Kifayah,
Al-Baghdadi mengungkapkan bahwa kita melihat jumlah dari masing-masing orang yang mena’dil dan orang yang menjarh. Mana yang paling banyak diantara mereka dalam mengemukakan pendapatnya. Jika yang paling banyak mengemukakan pendapat adalah dari mu’adil maka pendapat pena’dil lainnya akan menjadi kuat sehingga kelompok mereka lebih unggul, begitu pula sebaliknya. [7]
3.      Menurut As-Sayuthi
Menurut As-Sayuthi dan pendukungnya, tidak benar memandang unggul satu kelompok atas kelompok lainnya ketika terjadi kontradiksi dalam penetapan seseorang yang tidak mengandung aspek yang dapat diunggulkannya atau faktor penyebab yang bisa diunggulkann. Jika faktor penyebab jarh itu mencederakan keta’dilan, maka pendapat yang menjarh itu didahulukan daripada pendapat yang mena’dilkan sekalipun jumlah yang mena’dilkan itu banyak.[8]
D.    Ulama Mujarh dan Mu’adil
Para ulama yang menekuni bidang al-jarh wa at-ta’dil dapat digolongkan dalam tiga golongan, yaitu:
1.      Ulama Abad Pertama
Pada zaman ini ulama yang telah dikenal dari golongan sahabat adalah ‘Ubadah bin Al-Shamit (w. 93 H), sedangkan dari golongan tabi’in adalah ‘Amr bin Syarahi (w. 109 H) dan Muhammad bin Sirin (w. 110 H). Adapun ciri khas yang menjadi tolok ukur dalan zaman ini adalah nilai ketakwaan baik segi mental maupun etika.[9]
2.      Ulama Abad Kedua
Telah diketahui bahwa, banyak tabi’in yang hidup pada zaman ini memiliki kelemahan daya hafal dan kurangnya kecermatan sehingga menimbulkan penolakan terhadap hadits yang mereka riwayatkan. Oleh sebab itu, muncullah pemikiran dari beberapa ulama untuk mengantisipasi permasalahan itu, dengan membuat aturan-aturan yang digunakan untuk memisahkan antara yang kuat dan yang lemah hafalannya dan antara perawi yang diterima dan perawi yang ditolak haditsnya. Ulama yang pertama kali melakukan kajian ini adalah Sulaeman bin Mahran yang dikenal dengan Al-A’masy (w. 148 H) dan Syu’ban bin Hajjaj (w. 160 H). Kemudian diteruskan oleh Malik bin Anas (w. 179 H) sampai Ibnu Hanbal (w. 214 H).
3.      Ulama Abad Ketiga
Kita tahu bahwa dalam sejarah ilmu hadits, abad ketiga adalah zaman keemasan. Dimana pada zaman ini banyak karya-karya besar dirilis. Adapun ulama mujarh dan mu’adil pada zaman ini antara lain: Imam Muhammad bin Mani’ (w. 230 H), Imam Yahya bin Ma’in Al-Ghathafani (w. 233 H), Imam Zuhair bin Harb An-Nasa’i (w. 234 H), Imama Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman Ad-Darimi As-Samarqandi (w. 255 H), Imam Bukhari (w. 256 H).


[1]  Lihat Salamah Noorhidayati, Diktat Ulumul Hadits: Edisi Revisi, (Tulungagung: STAIN Tulungagung, 2002), hlm. 44
[2] Ali Fayyad Mahmud, Metodologi Penetapan Kesahihan Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 90-91
[3] Lihat Salamah Noorhidayati, Diktat Ulumul Hadis, hal. 44
[4] Lihat Salamah Noorhidayati, Diktat Ulumul Hadis, hal. 8-9  
[5] Amru Abdul Mun’im Salim, At-taisir ulumul hadis lil mubtadi’in II. 1416 H, hal. 136
[6] Ali Fayyad Mahmud, Metodologi Penetapan Kesahihan Hadits, hal. 79
[7] Ali Fayyad Mahmud, Metodologi Penetapan Kesahihan Hadits, hal. 79
[8] Ali Fayyad Mahmud, Metodologi Penetapan Kesahihan Hadits, hal. 79
[9] Ali Fayyad Mahmud, Metodologi Penetapan Kesahihan Hadits, hal. 91


Oleh : Usman ( Santri Baitul Qur'an)