A. Pengertian Mujarh dan
Mu’adil
Mujarh adalah
pelaku atau ulama yang mencacatkan (men-jarh) perawi dari segi sifat-sifat
tercelanya sehingga berdampak pada lemah dan ditolaknya riwayat yang
disampaikan perawi tersebut. Adapun mu’adil adalah pelaku atau ulama’ yang
meng’adilkan (men-ta’dil) perawi sehingga diterimanya periwayatannya tersebut.
Sepanjang sejarah, jumlah ulama’ yang tergolong mujarh dan mu’adil terhitung
tidak banyak. Hal ini dikarenakan syarat-syarat yang harus dimiliki sangatlah
ketat.[1]
Pemberian lebel
jarh dan ‘adil kepada perawi secara langsung memegang peranan yang sangat
penting.
Karena memberikan lebel ‘adil sama dengan persaksian
terhadap bersihnya seorang perawi dan
memberikan hak kehidupan bermoral, kemuliaan, dan amanah kepada perawi.
Sedangkan melebel perawi dengan lebel jarh, itu sama dengan menetapkan bahwa
seorang perawi itu tidak bermoral, gugur kemampuannya dan tidak layak
dihormati. Oleh sebab itu, dalam memutuskan dan mengklaim seorang perawi dengan
jarh dan ‘adil hendaknya tidak dengan tergesa-gesa, karena bisa jadi jika
mengambil pendapat dari ulama yang dirasa tsiqat ada pendapat ulama’ lain yang
lebih tsiqat.
Dari segi keras
dan longgarnya dalam men-jarh maupun menta’dil, mujarh dan mu’adil dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1.
Kelompok
yang sangat teliti dalam ta’dil dan sangat keras dalam jarh. Misalnya adalah
Al-Hafizh Ad-Dzahabi.
2.
Kelompok
moderat (jalan tengah). Seperti: Ibnu Hanbal, Daru Quthni, dan Ibnu ‘Adi.
3.
Kelompok
longgar (mutasamuh mutasahil). Diantaranya yaitu At-Tirmidzi, Al-Hakim dan Ibnu
Hazim.[2]
B.
Syarat-Syarat Mujarh dan Mu’adil
Di syaratkan kepada mu’addil dan pada jarih, ilmu, taqwa,
wara’, jauh dari ta’asshub dan mengetahui sebab-sebab jarah dan sebab-sebab
tazkiyah (ta’dil). Orang yang tidak demikian keadaannya, tidaklah dapat
diterima tazkiyah dan jarahnya.
Sebagaimana
telah dijelaskan diatas, bahwa jumlah ulama yang tergolong sebagai mujarh dan
mu’adil tidak terhitung banyak karena syarat-syarat yang harus terpenuhi
sangatah ketat. Adapun demikian, sejauh ini belum ada kepastian jumlah daripada
syarat-syarat yang harus terpenuhi sebagai seorang mujarh dan mu’adil, tetapi
secara garis besar dapat tergolongkan dalam dua kriteria, yaitu syarat yang
bekenaan dengan sikap pribadi dan syarat yang berkenaan dengan penguasaan
pengetahuan (intelektualitas).[3]
Pertama, syarat yang berkenaan dengan sikap
pribadi, diantaranya:
1.
‘Adil
Yaitu suatu
kualitas kepribadian yang mencakup aspek agama Islam. Seperti mukallaf,
melaksanakan ketentuan agama, dan memelihara muru’ah. Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan ada beberapa perilaku atau
keadaan yang dapat merusak sifat ‘adil seseorang, yaitu:
a.
Suka
berdusta.
Seorang
perawi dalam mentarjih hendaknya memperhatikan perkataannya karena dengan benar
dan dustanya akan berpengaruh pada ketsiqahan hadis yang ia riwayatkan.
لنَّارِ مِنْ مَقْعَدَهُ فَلْيَتَبَوَّأْ مُتَعَمِّدًا عَلَيَّ كَذَبَ مَنْ
Artinya ; Barangsiapa berbohong atas namaku dengan sengaja,
maka dia menempati tempat duduknya dari neraka.(HR. Bukhari No.4)
b.
Tertuduh dusta.
c.
Berbuat atau berkata fasik tetapi belum sampai menjadi kafir.
d.
Tidak dikenal jelas pribadi dan keadaan dirinya.
2.
Terlepas dari fanatik
Maksudnya, seorang mujarh dan mu’adil
haruslah terbebas dari sikap fanatik baik terhadap suku ataupun mazhab. Karena
jika ada sedikitpun sifat fanatik, maka akan mempengaruhi objektifitas
keputusan atau penetapan yang akan ia ambil.
3.
Takwa
Bagi orang yang mentajrih atau
menta’dil harus dalam keadaan takut oleh Allah karena hal ini akan sangat
berdampak negatif jika seorang penjarah atau penta’dil tidak meyakini eksistensi sang maha pencipta
4.
Wara’
Wara’ yaitu orang yang selalu menjauh dari sifat atau
perbuatan maksiat, hal-hal yang subhat, dosa-dosa kecil dan hal yang makruhat.
Sungguh tidak masuk dalam kategori bagi orang-orang yang suka mengerjakan
perbuatan yang dimurkai Allah.
Sesungguhnya perkataan rowi dalam mentarjih dan menta’dil membutuhkan wara’
yang sempurna, dan memutuskan hubungannya dari hawa nafsu dan harta benda.[5]
5.
Tidak
ada permusuhan dengan perawi yang dinilainya
Sama halnya dengan fanatik, permusuhan
yang terjadi antar manusia ancap kali menghadirkan unsur-unsur subjektif yang
dapat merusak objektifitas.
Kedua, syarat yang berkenaan dengan penguasaan
pengetahuan (intelektualitas).
Syarat yang kedua
ini bisa dibilang susah-susah gampang karena
meliputi hal semisal berikut:
1.
Penguasaan terhadap bahasa arab.
2.
Penguasaan ilmu hadist dan kaidah-kaidahnya.
3.
Penguasaan terhadap ilmu sejarah.
4.
Pengetahuan sebab-sebab mentajrih
dan menta’dil.
C.
Kontradiktif
diantara Para
Mujarh dan Mu’adil
Kontradiktif diantara para mujarh dan
mu’adil ini misalnya, ada beberapa orang menilai ‘adil dan ada beberapa orang
lagi menilai jarh.
Kemudian timbul pertanyaan manakah yang diterima, pendapat ulama yang menilai ‘adil atau yang menilai
jarh ?.
Untuk menjawab
permasalahan diatas, terdapat banyak pendapat dari para ulama. Adapun tiga dari
pendapat yang banyak tersebut antara lain:
1.
Menurut
Ar-Razi, Al-Amidy, Ibnu As-Shalah dan Jumhur Ushuliyyin.
Mereka mengatakan
bahwa secara mutlak, jarh didahulukan dari ta’dil. Seandainya jumlah orang yang
mena’dilkan lebih banyak dari yang menjarhkan dan orang yang mengatakan jarh
itu lebih banyak meneliti keadaan rawi maka akan tampak masalah yang tidak
diketahui oleh orang yang mena’dilnya. Sementara hal-hal yang diketahui oleh seorang yang mena’dil hanya faktor luar keadaan
seseorang. Dengan demikian, orang yang memberi penilaian jarh mempunyai nilai
tambah bisa dijadikan dasar pendapatnya atas
pendapat orang yang menta’dil.[6]
2.
Menurut
Al-Khathib Al-Baghdadi Dalam kitab Al-Kifayah,
Al-Baghdadi
mengungkapkan bahwa kita melihat jumlah dari masing-masing orang yang mena’dil
dan orang yang menjarh. Mana yang paling banyak diantara mereka dalam
mengemukakan pendapatnya. Jika yang paling banyak mengemukakan pendapat adalah
dari mu’adil maka pendapat pena’dil lainnya akan menjadi kuat sehingga kelompok
mereka lebih unggul, begitu pula sebaliknya. [7]
3.
Menurut
As-Sayuthi
Menurut As-Sayuthi
dan pendukungnya, tidak benar memandang unggul satu kelompok atas kelompok
lainnya ketika terjadi kontradiksi dalam penetapan seseorang yang tidak
mengandung aspek yang dapat diunggulkannya atau faktor penyebab yang bisa
diunggulkann. Jika faktor penyebab jarh itu mencederakan keta’dilan, maka
pendapat yang menjarh itu didahulukan daripada pendapat yang mena’dilkan
sekalipun jumlah yang mena’dilkan itu banyak.[8]
D. Ulama Mujarh dan Mu’adil
Para
ulama yang menekuni bidang al-jarh wa at-ta’dil dapat digolongkan dalam tiga
golongan, yaitu:
1.
Ulama Abad Pertama
Pada
zaman ini ulama yang telah dikenal dari golongan sahabat adalah ‘Ubadah bin
Al-Shamit (w. 93 H), sedangkan dari golongan tabi’in adalah ‘Amr bin Syarahi
(w. 109 H) dan Muhammad bin Sirin (w. 110 H). Adapun ciri khas yang menjadi
tolok ukur dalan zaman ini adalah nilai ketakwaan baik segi mental maupun etika.[9]
2.
Ulama Abad Kedua
Telah
diketahui bahwa, banyak tabi’in yang hidup pada zaman ini memiliki kelemahan
daya hafal dan kurangnya kecermatan sehingga menimbulkan penolakan terhadap
hadits yang mereka riwayatkan. Oleh sebab itu, muncullah pemikiran dari
beberapa ulama untuk mengantisipasi permasalahan itu, dengan membuat
aturan-aturan yang digunakan untuk memisahkan antara yang kuat dan yang lemah
hafalannya dan antara perawi yang diterima dan perawi yang ditolak haditsnya.
Ulama yang pertama kali melakukan kajian ini adalah Sulaeman bin Mahran yang
dikenal dengan Al-A’masy (w. 148 H) dan Syu’ban bin Hajjaj (w. 160 H). Kemudian
diteruskan oleh Malik bin Anas (w. 179 H) sampai Ibnu Hanbal (w. 214 H).
3.
Ulama Abad Ketiga
Kita
tahu bahwa dalam sejarah ilmu hadits, abad ketiga adalah zaman keemasan. Dimana
pada zaman ini banyak karya-karya besar dirilis. Adapun ulama mujarh dan mu’adil
pada zaman ini antara lain: Imam Muhammad bin Mani’ (w. 230 H), Imam Yahya bin
Ma’in Al-Ghathafani (w. 233 H), Imam Zuhair bin Harb An-Nasa’i (w. 234 H),
Imama Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman Ad-Darimi As-Samarqandi (w. 255 H),
Imam Bukhari (w. 256 H).
[1] Lihat Salamah Noorhidayati, Diktat Ulumul Hadits: Edisi Revisi,
(Tulungagung: STAIN Tulungagung, 2002), hlm. 44
[2] Ali Fayyad Mahmud, Metodologi Penetapan Kesahihan Hadits,
(Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 90-91
Oleh : Usman ( Santri Baitul Qur'an)