DUSTUR ILAHI
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۗ
مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ
وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya
pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai
akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan
(kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. [QS:Yusuf:111]
KATA PENGANTAR
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ
وَبَرَكَاتُهُ
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ
وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَسْتَهْدِيْهِ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ
عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ. أَمَّا بَعْدُ؛
Segala puji hanya milk Allah SWT.
Kami memujinya, memohon pertolongannya, dan memohon ampunannya. Kami berlindung
kepada Allah dari keburukan diri kami dan dari keburukan perbuatan kami.
Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan
kesabaran dan dedikasinya yang tinggi, beliau berhasil mendakwahkan risalah
ilahi kepada seluruh umat manusia.
Ajaran Islam yang bersumber dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah memiliki beberapa cabang ilmu, salah satunya cabang
fiqih. Dunia Islam mengenal empat madzhab fiqih yang paling besar, yaitu Hanifiyah,
Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Masing-masing
madzhab memiliki karaker dan keistimewaan yang berbeda-beda.
Madzhab Hanfiyah didirikann oleh
Nu’man bin Tsabit, alias Imam Abu Hanifah. Abu Hanifah merupakan guru besar
fiqih di kawasan Iraq. Madzhab fiqih
beliau kental dengan suasana ra’yu. Sebab,daerah tempat tinggal beliau
jauh dari sumber hadits. Hadits-hadits Rasulullah yang sampai di Iraq lebih
banyak yang palsu dan dhaif daripada yang shahih.
Berbeda dengan Madzhab Malikiyah
yang didirikan oleh Imam Malik bin Anas. Imam Malik tumbuh berkembang di kota
Rasulullah, sumber hadits-hadits yang shahih. Maka tidak heran jika fiqihnya
kental dengan suasana hadits, tanpa ada ra’yu.
Sebab, di Madinah sangat mudah menemukan hadits-hadits shahih terkait
permasalahan yang sedang dihadapi.
Pada tahun 150 H, lahir Muhammad
bin Idris yang lebih terkenal dengan nam Imam Asy-Syafi’i. Belia merupakan
pelajar dan kritikus yang baik bagi kedua madzhab di atas, hanafiyah dan
malikiyah. Beliau berhasil mempelajari kedua dasar madzhab fiqih
tersebut. Dan karena beliau mampu memadukan dua metode fiqih, hanafiyah
dan malikiyah, maka beliau membentuk undang-undang fiqih nya sendiri,
hingga lahirlah madzhab fiqih Syafi’iyah.
Adapaun madzhab fiqih yang paling
muda adalah hanabilah, didirikan oleh Ahmad bin Hanbal atau lebih
dikenal dengan sebutan Imam Ahmad.
Namun pada
makalah ini akan dibahas lebih spesifik tentang Biografi Muhammad Idris Syafi’I
atau lebih dikenal dengan Imam Syafi’i. Mulai dari nasab, kehidupan, perjalanan
panjang menuntut ilmu, pengorbanan hidup, sampai pendapata-pendapat Beliau
dalam masalah Fiqih dan Aqidah.
Makalah ini akan
mengajak anda menyelam lebih dalam disamudera kehidupan pendiri madzhab syaifi’iyah.
Para pembaca dapat memetik banyak hikmah dan pelajaran dari rentetan
kehidupan panjang Beliau. Mudah-mudahan dengan makalah ini dapat memberi manfaat yang sangat luas bagi
para pembaca. Tidak ada yang kami inginkan selain kebaikan bagi kita semua.
Ter-realisasikannya
makalah ini tidak lepas dari bantuan teman-teman dan buku yang ada. Oleh karena
itu, pada kesempatan kali ini saya ingin menyampaikan rasa terima
kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah sirah tabi’in sekaligus kepala
prodi Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an Baitul Qur’an, Depok.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih butuh banyak
perbaikan dan bimbingan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan sempurnanya makalah
ini sehingga dapat bermanfaat bagi para pembaca, Aamiin.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Imam empat
serangkai adalah imam-imam madzhab fikih dalam islam. Mereka imam-imam bagi
madzhab empat yang berkembang dalam Islam. Mereka terkenal sampai kepada
seluruh umat di zaman yang silam dan sampai sekarang. Mereka itu adalah :
A. Abu
Hanifah Annu’man
B. Malik
Bin Anas
C.
Muhammad Bin Idris Asy-syafi’i
D. Ahmad
Bin Muhammad Bin Hanbal
Karena pengorbanan
dan bakti mereka yang besar terhadap Agama Islam yang maha suci, khususnya
dalam bidang ilmu fikih mereka telah sampai ke peringkat atau kedudukan yang
baik dan tinggi dalam Islam. Peninggalan mereka merupakan amalan ilmu fikih
yang besar dan abadi yang menjadi kemegahan bagi agama Islam dan kaum muslimin
umumnya.
Karena
kesuburan dan kemasyhurannya dalam ilmu fikih di samping usaha mereka yang
bermacam-macam terhadap agama Islam nama-nama mereka sangat dikenal pada zaman
kejayaannya islam. Mereka bekerja keras untuk menjaga dan menyuburkan
ajaran-ajaran Islam kepada seluruh umat lebih-lebih dalam ilmu fikih sejak
terbitnya nur Islam.
Dan pada
makalah ini akan dibahas lebih tentang
Biografi Muhammad Idris Syafi’i atau lebih dikenal dengan imam Syafi’i. Imam
Syafi’i adalah imam yang ketiga menurut susunan tarikh kelahiran. Beliau adalah
pendukung terhadap ilmu hadist dan pembaharu dalam agama (mujaddid) dalam abad
kedua hijrah.
1.2 Rumusan Masalah
A. Mengenal lebih
jauh siapa itu Imam Asy-Syafi’i.
B. Mengetahui sepak
terjangnya dalam membuat Madzhabnya.
C. Mengetahui cara
Imam Asy-Syafi’i berijtihad.
1.3 Tujuan
A.
Mengenal lebih dekat siapa itu Muhammad bin Idris atau lebih mashyur dengan
sebutan Imam Asy-Syafii.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengenalan
Imam Syafi’i adalah salah seorang
ulama yang sangat masyhur. Setiap orang yang memperhatikannya akan tertarik
untuk mengetahui lebih dalam pribadinya, perilakunya serta peninggalannya yang
telah membuat orang yang memperhatikannya menghormati, memuliakan dan
mengagungkannya.[1] Ia ulama mujtahid (ahli ijtihad)
dibidang Fiqih dan salah seorang dari empat imam madzhab yang terkenal dalam
Islam. Ia hidup di masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid, al-Amin dan
al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah.[2]
A. Nama
Beliau
adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Sa’ib bin Ubaid
bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Abdil Muththalib bin Abdi Manaf Al-Quraisyi
(berkebangsaan Quraisy) Al-Muttalibi (keturunan Abdul Muthallib) Asy-Syafi’i.[3]
B. Nasab
Beliau anak dari paman Rasulullah
SAW dengan garis keturunan bertemu dengan beliau pada kakeknya yang bernama
Abdi Manaf. Rasulullah berasal dari keturunan bani Hasyim bin Abdi Manaf
sedangkan Imam Asy-Syafi’i berasal dari keturunan Abdul Muthalib bin Abdi
Manaf. Imam An-Nawawi berkata, “ Ketahuilah bahwa sesungguhnya Imam Asy-Syafi’i
adalah termasuk manusi pilihan yang mempunyai akhlak mulia dan mempunyai peran
yang sangat penting dalam sejarah Islam.”[4]
C. Orang Tuanya
Ayahnya bernama Idris bin Abas ibn
Utsaman ibn Syafi’i ibn Al-Saib ibn Abdul Manaf sedangkan ibunya bernama
Fatimah binti Abdullah ibn Al-Hasan ibn Husain ibn Ali bin Abi Thalib dan garis
keturunan ayahnya, Imam Syafi’i bersatu dengan keturunan Nabi Muhammad.[5]
D. Kelahiran
Muhammad bin Idris atau akrab
dipanggil Iam Asy-Syafi’i Ia dilahirkan di Gaza, sebuah kota kecil di Laut
Tengah pada tahun 150 H./767 M.[6] Tahun di mana Imam Abu Hanifah
meninggal. Sebagaian sejarawan berpendapat, “ Sesungguhnya beliau dilahirkan
pada malam meninggalnya Imam Abu Hanifah. ” Ibunda Muhammad bin Idris ketika
mengandung, ia bermimpi melihat bintang keluar dari kemaluannya dan hancur
berkeping-keping di Mesir, lalu setiap negri mendapat bagian kepingan bintang
tersebut.[7]
Mendengar penuturan sang ibunda,
para penakwil mimpi menawkilkan bahwa akan lahir darinya seorang ulama yang
ilmunya melingkupi segenap penduduk Mesir, kemudian akan tersebar ke seluruh
negeri. Beliau dilahrikan di Gaza, Palestina. Ada juga yang berpendapat, “
Beliau dilahirkan di Asqalan jaraknya tiga farsakh[8] dari Gaza. Dan ada yang
berpendapat juga sesungguhnya beliau lahir di Yaman dan tumbuh kecil di Asqalan
dan Gaza lalu besar di Makkah.
Adz-Dzahabi berpendapat
bahwasannya Imam Syafi’i lahir di Gaza lalu di bawa ibunya saat berusia 2 tahun
ke Hijaz dan mempertemukan kaumnya yang berasal dari Yaman, karena ibunya
berasal dari bani Azad, lalu ibunya tinggal di antara mereka. Begitu Syafi’i
berusia 10 tahun, ibunya khawatir terhadap nasabnya yang mulia, jangan sampai
terlupakan dan terabaikan maka ibunya membawa Asy-Syafi’i kecil ke Makkah.[9]
E. Kunyah[10]
Beliau dipanggil denga gelar Abu
Abdillah[11]
F. Ciri-Ciri Imam Syafi’i
Imam Syafi’i adalah seorang
laki-laki yang berpostur tinggi semamapai seorang penunggang kuda dan berkulit
coklat layaknya putra-putra dari sungai Nil. Beliau bermuka cerah dan sumringah.
Jenggotnya bersih dan rapi. Beliau mewarnai jenggot dan rambutnya dengan pacar
karena mengikuti Sunnah. Gaya bertuturnya dan manis, juga lantang suaranya.
Dari kedua matanya terpancar kilatan karena ketulusan kasih sayang kepada orang
yang dilihatnya. Kelopa matanya terlihat berat karena bekas begadang-begadang
malam, banyak merenung dan berfikir, serta seiring melangang buana dengan ruh
dan jasadnya dalam rangka mencari kebenaran syari’at. Baju kasar lagi bersih.
Beliau bertelekan pada tongkat yang berat, seakan-akan beliau adalah orang yang
behaji wara.[12]
Ibrahim bin Murad berkata, “Imam
Asy-Syafi’i itu berbadan tinggi berdarah bangsawan berjiwa besar.” Sedang
menurut Az-Za’farani mengataka bahwa
Asy-Syafi’i adalah orang yang berwajah simpatik dan ringan tangan. Dan Al-Muzni
berkata, “Aku belum pernah melihat seseorang yang wajahnya lebih tampan
melebihi Asy-Syafi’i, ketika dia memegang jenggotnya, maka akau melihat bahwa
tidak ada orang yang lebih bagus dari cara dia memegangnya.
2.2 Pertumbuhan dan
Perkembangannya
Asy-Syafi’i merasakan pahitnya hidup tanpa
seorang ayah saat dia masih kecil, dan dia tumbuh dalam keluarga yang miskin,
bahkan kemiskinannya ini memiliki keterikatan dengan pekerjaan yang dijalaninya
dan juga sebab ujian yang menimpanya.[13] Akan tetapi kondisi-kondisi
menggapai ilmu sebagaimana bkan menaji titik lemah baginya, akan tetapi dalam
suatu riwayat Asy-Syafi’i berkata, “ Aku yatim dalam asuhan ibuku, sementara
ibuku tidak memiliki apa-apa untuk diberikan kepada guru, namun guru
memperkenankan aku mengikuti pelajarannya saat dia sudah beranjak dari
majelisnya.
Di Makkah, Imam Syafi’i mengikuti
latihan memanah. Dalam memanah ini, Imam Asy-Syafi’i mempunyai kemampuan di
atas rata-rata diantara temannya. Dia memanah sepuluh kali, semuanya tepat
sasaran dan hanya satu yang meleset dan itu pun sangat tipis dari jarak
sasaran.
Selain kecenderungannya yang besar
terhadap Al Qur’an dan Hadis, beliau juga mempunyai minat yang besar dalam
sastra. Beliau berusaha menghindar dari pengaruh bahasa non Arab yang saat itu
merebak dan merusak keaslian bahasa Arab. Untuk menjaga serta mempertajam
kemampuan bahasa Arabnya, Imam Syafi’i pergi ke daerah pedalaman Arab, dan
menetap di tengah-tengah suku Hudzail, suku yang bahasa arabnya tidak
terpengaruh oleh bahasa non Arab.beliau menguasai syair-syair orang Hudzail dan
kisah-kisahnya. Sampai-sampai Al Asma’i, seorang yang sangat terkenal dalam
dunia sastra Arab berkomentar tentang Imam Syafi’i “saya telah mendapat koreksi
mengenai syair-syair Hudzail dari seorang pemuda Quraisy yang bernama Muhammad
bin Idris”.[14]
2.3 Mengenal Keilmuan
A. Di Makkah
Asy-Syafi’i telah hafal Al-Qur’an
pada umur 7 tahun dan sudah mahir dalam berbahasa Arab. Ibunda Asy-Syafi’i
sangat bersungguh-sungguh dalam mendidik Asy-Syafi’i dai membawanya kepada
orang-orang ‘alim di Mekkah pad asaat itu. Dia sering mendatangi mesjid untuk
menghampiri majelis-majelis ulama. Beliau juga menghafal hadits atau permasalah
yang dibahas. Rumah beliau berada di Makkah di perkampungan Khaif. Beliau
memanfaatkan tulang-belulang sebagai papan tulis. Dalam suatu riwayat Syafi’i berkata,
“ Aku pun menulis hadits dan mencatat ilmu lainnya pada tulang tersebut, kami
mempunyai kantong kulit yang sudah usang, dan begitu tulang-belulang itu penuh
dengan tulisan maka aku akan menaruhnya di dalam kantong kulit tersebut.[15]
Beliau memulai aktivitas
keilmuannya dengan belajar sya’ir, sejarah, dan sastra lalu beliau pun
menggeluti dunia fiqih. Sebab, ketertarikan Syafi’i terhadap fiqih bermula dari
suatu ketika beliau berjalan dengan mengendarai binatang, sedang dibelakangnya
kebetulan sekertaris Ubay sedang mengikutinya. Dalam keadaan demikian, beliau
melantunkan beberapa bait sya’ir, sehingga sekertaris Ubay memacu kendaraanya
agar berjalan lebih cepat lagi untuk menghampirnya. Ketika sudah mendekat
dengan Asy-Syafi’i lalu berkata, “Orang sepertimu akan kehilangan muru’ah kalau
hanya seperti ini saja. Dimana kemampuanmu dalam bidang fiqih ?”
Dalam riwayat lain pun diceritakan
bahwasannya ada seorang (porter) laki-laki yang memukul beliau dari belakang
dan berkata, ‘Apakah seorang laki-laki daru bangsa Quraisy dan keturunan Abdul
Muttalib merasa cukup dengan agama serta dunianya hanya dengan menjadi guru
sya’ir? Belajarlah Fiqih. Maka Allah SWT akan meninggikan derajatmu wahai
pemuda.
Berangkat dari inilah beliau
akhirnya hatinnya menjadi tergetar dan tegerak untuk mempelajari fiqih di
tempat pengajian Ibnu Khalid Az-Zanji yang pada waktu itu bekedudukan sebagai
mufti di Makkah. Al-Baihaqi dengan sanadnya dari Abu Bakar Al-Humaidi, dia
berkata, “Imam Asy-Syafi’i berkata, “Aku keluar untuk belajar Nahwu dan sastra,
dan ketika aku bertumu dengan Muslim bin Khalid, maka Muslim bertanya kepadaku,
“Wahai anak muda, dari manakah asalmu? “Aku menjawab, “Aku dari Makkah.” Dia
bertanya lagi, “Rumahmu didaerah mana?” Aku menjawab, “Rumahku berada di suku
khaif.” Dia bertanya lagi, “Kamu berasal dari kabilah apa?” Aku menjawab, “Aku
dari keturunan Abd Manaf.”[16]
Mendengar jawaban ini Musim bin
Khalid merasa terkagum-kagum dan berkata, “Hebat! Hebat! Kamu sungguh beruntung
sekali, karena Allah telah memuliakanmu di dunia dan di akhirat. Tidakkah kamu
gunakan kepandaianmu untuk mendalami fiqih!? Aku rasa itu lebih baik bagimu”
Kemudian
beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari
pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari
Sufyan bin Uyainah. Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi
Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi
yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa
tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih tersebut.[17]
B. Di Madinah
Muhammad
bin Idris melanjutkan kisah di dalam samudera perjalanan hidupnya menuju kota
Madinah. Beliau ke Madinah berkisar pada umur 17-24 tahun. Setelah sampai di
kota Madinah dalam suatu riwayat di ceritakan, “Kemudian aku sampai di kota
Madinah, lalu aku menyampaikan surat dari walikota Makkah kepada walikota
Madinah. Setelah selesai membaca surat itu walikota Madinah pun berkata. ‘Wahai
pemuda, andai kata walikota Makkah memintaku untuk berjalan kaki dengan
bertelanjang kepala dan kaki dari tengah-tengah kota Madinah sampai ke tengah
kota Makkah, maka hal itu lebih ringan bagiku dari pada aku diminta datang ke
rumah Imam Malik bin Anas, karena aku memandang berdiri di depan pintu rumahnya
akan menjadikan kehinaan bagiku.’
Imam
Syafi’i berkata dalam suatu riwayat, “Semoga Allah memperbaiki anda wahai pak
Wali, jika pak Walikota memanggil beliau, beliau pasti akan datang.’ Walikota
Madinah bekrata ‘Mustahil, tapi siapa tahu jika aku pergi bersama orang yang
bersamaku dengan naik kendaraan, lalu terkena debu-debu kampung Aqiq, maka
siapa tahu kita akan memperoleh sebagian kebutuhan kita. Lalu ia menjanjikan
kepadaku untuk berangkat pada waktu Ashar kemudian kita smua berangkat dengan
menaiki kendaraan. Demi Allah, kejadiannya persis dengan yang dikatakan
sebelumnya kita terkena debu kampung Aqiq.
Sesampainya
di rumah Imam Malik, tiba-tiba ada seseorang laki-laki yang mendahului mengetuk
pintu rumah beliau, lalu seseorang budak perempuan hitam menemui kita. Walikota
Madinah berkata padanya, ‘Sampaikanlah kepada tuanmu bahwa saya ada didepan
pintu.’ Budak perempuan itu pun masuk kedalam rumah. Beberapa saat kemudian, ia
keluar dan berkata, ‘Sesungguhnya tuan saya menyampaikan salam kepada anda dan
berkata, ‘Jika anda memiliki pertanyaan, maka tulislah di atas kerta, niscaya
jawabannya akan disampaikan kepada anda. Namun jika untuk mendengarkan hadits,
maka anda telah mengetahui hari di majelis, karena itu kemablilah.’
Lantas
Walikota Madinah berkta kepada budak tersebut, ‘Sampaikan kepada beliau,
‘Sesungguhnya aku membawa surat dari Walikota Makkah yang sangat penting untuk
beliau.’ Budak itu pun masuk, lalu keluar lagi dan mebawa kursi. Ia
meletakkanya, dan tidak lama kemudian, Malik bin Anas keluar. Ternyata beliau
adalah seorang yang berusia agak lanjut dengan jenggot lebat. Tampak pada
dirinya wibawa dan kehebatan. Beliau pun duduk. Walikota Madinah menyerahkan
surat dari Walikota Makkah kepada beliau.
Malik
bin Anas membaca surat tersebut, dan ketika sampai pada tulisan, ‘Sesungguhnya
orang ini adalah seorang yang kondisi dan keadaannya demikian, oleh karena itu,
sampaikanlah hadits kepadanya dan lakukanlah. ‘Imam Malik melemparkan surat
tersebut dari tangannya dan berkata, ‘Subhanallah, apakah sekarang ini ilmu
Rasulullah diambil dengan perantaraan surat-surat?’
Imam
Syafi’i berkata, ‘lalu aku melihat Walikota Madinah menjadi segan untuk
berbicara kepada beliau.’ Maka aku segera maju kepada beliau, lalu berkata,
‘Semoga Allah memperbaiki anda, sesungguhnya aku adalah seorang laki-laki
keturunan Abdul Muttalib, dan diantara keadaan serta kisahku begini dan begitu.
Tatkala
Imam Malik mendengar ucapanku, beliau menatapku sejenak. Malik bin Anas adalah
seorang yang tajam firasatnya. Lantas ia bertanya kepadaku, Siapa Namamu ?’
Aku
menjawab, Muhammad’
Beliau
berkata kepadaku, wahai Muhammad, bertakwalah kepada Allah dan jauhilah
kemaksiatan, karena dikemudian hari akan terjadi padamu suatu urusan yang
agung.’
Imam
Syafi’i berkata, ‘Aku telah menyalin Al-Muwatha’ Imam Malik, lalu aku bertanya
kepada beliau, ‘wahai Abu Abdullah, bolehkah saya membacakan Al-Muwatha’ di
hadapan anda?’
Beliau
berkata, ‘Wahai Keponakanku, panggillah seseorang untuk membacakannya, di
hadapanku, dan kamu mendengarkannya.’
‘Aku
akan membcakannya untuk anda dan anda mendengarkan bacaanku,’ Jawab Imam
Syafi’i.
Imam
Malik berkata, ‘Backanlah!’
Tatkala
ia mendengarkan bacaanku, dan aku membacakan untuknya sampai pada kitab As-Sair,
beliau berkata kepadaku, ‘lipatlah lembaran itu, wahai anak saudaraku,
pelajarilah fiqih, niscaya derajatmu akan di angkat.’
Dalam suatu riwayat Imam Malik berkata, “ Sesungguhnya Allah SWT
telah menaruh cahaya dalam hatimu, maka jangan padamkan dengan perbuatan
maksiat.” Mulailah Syafi’i belajar dari Imam Malik dan senantiasa bersamanya
hingga Imam Malik wafat pada tahun 179 H. Selama itu juga ia mengunjungi ibunya
di Makkah.[18]
Diantara
kehebatan hafalan Muhammad bin Idris adalah jika belliau ingin membaca sebuah
kiatab, maka ia menutupi lembaran bagian kiri dengan ujung lengan bajunyaagar
supaya tulisan yang ada pada bagian tersebut tidak terhafal lebih dahulu
sebelum bagian yang kanan.[19]
Beliau menyatakan kekagumannya
setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya
tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu
dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam
Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di
majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik
sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah
Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca
Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”
Dari berbagai pernyataan beliau di
atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik
bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk
menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti
Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz
Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi
Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta
dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab
Qadariyah[20] yang menolak untuk beriman kepada
taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini
telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`i, khususnya di akhir hayat
beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam
berbagai periwayatan ilmu.[21]
Dalam suatu riwayat Imam Malik berkata, “ Sesungguhnya Allah SWT
telah menaruh cahaya dalam hatimu, maka jangan padamkan dengan perbuatan
maksiat.” Mulailah Syafi’i belajar dari Imam Malik dan senantiasa bersamanya
hingga Imam Malik wafat pada tahun 179 H. Selama itu juga ia mengunjungi ibunya
di Makkah.
C. Di Yaman
Imam Malik bin Anas meninggal dunia. Imam
Syafi’i yang telah beruguru kepadanya merasa telah mendapatkan ilmu dari
gurunya itu. Imam Syafi’i yang merasa
telah mendapatkan sediit bekal keilmuan dari Imam Malik, maka jiwanya menginginkan
suatu pekerjaan yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, karena beliau adalah
seorang yang faqir.
Disaat beliau sedang membutuhkan
suatu pekerjaan yang menghasilkan secara kebetulan Walikota Yaman datang ke
Hijaz. Maka ada salah seorang keturunan Quraisy yang berbicara kepada wali
tersebut agar ia mengajak Syafi’i untuk menemaninya, lalu Walikota Yaman itu
pun mengajak imam Syafi’i bersamanya.
Muhammad bin Idris bercerita
tentang hal itu, ‘Ketika itu, ibuku tidak memiliki seseuatu yang dapt diberikan
kepadaku untuk menjadi bekal kepergianku bersama wali tersebut, maka aku pun
menggadaikan rumah kami, sehingga aku dapat berpergian bersamanya. Tatkala kami
tiba di Yaman, aku pun bekerja untuknya pada suatu bidang pekerjaan.
Ketika melakukan pekerjaan itulah,
berbagai kemampuan, kecerdikan, dan kecerdasan serta kemuliaan nasab Imam
Syafi’i tampak, sehingga cerita tentang beliau
sebagai orang yang adil lagi istimewa tersebar ke segala penjuru kota.
Orang-orang seantero kota Makkah menyebut-menyebut nama beliau. Hal itu sampai
pula kepada para ahli fiqih serta ahli hadits yang mendengar orang-orang atau
diberitahu oleh mereka tentang beliau, sehingga mereka pun menunjukkan sikap
yang berbeda-beda; diantara mereka ada yang mencela beliau karena masuknya
beliau ke dalam pekerjaan tersebut lalu menasihati beliau untuk meninggalkannya.
Beliau menerima pekerjaan sebagai
pemimpin negeri Najran, lalu beliau menegakkan keadilan dan menybarkan nya.
Adapun para penduuduk Najran, sebagaimana kondisi mereka pada setiap masa dan
negeri, selalu menampakkan sikap kepura-puraan kepada para penguasa dan hakim
serta mencari muka di hadapan mereka untuk memperoleh kedekatan dengan mereka.
Akan tetapi, orang-orang tersebut mendapati keadilan para diri Imam Syafi’i dan
tidak ada jalan bagi mereka untuk memngaruhi beliau dengan sikap kepura-puraan
dan mecari muka tersebut.
Muhammad bin Dirsi menuturkan,
“Aku memegang pemerintahan negeri Najran, sedangkan di dalamnya ketika itu ada
Harits bin Al-Midan dan para penguasa dasi Tsaqif. Adapun kebiasaan penguasa,
jika didatangi oleh orang-orang tersebut, ia akan terpngaruh. Lalu mereka punn
ingin berbuat seperti itu kepadaku, namun mereka tidak berhasil melakukan hal
itu kepadaku.”
Imam Syafi’i telah menutup pintu
sikap kepura-puraan dan mencari muka, supaya tidak ada seorang pun yang bisa
memengaruhi dirinya. Itulah pintu yang dilalui orang-orang kecil untuk masuk
kepada orang-orang besar guna membelokkan jiwa-jiwa para pemimpin dari keadlian
da kebenaran.
Muhammad bin Idris atau Imam
Syafi’i telah menutup pintu tersebut. Itu berarti beliau telah menjaga diri
beliau dari setiap kejelekan dan kezaliman, karena orang-orang besar tidak akan
dapat dipengaruhi, kecuali dengan sikap kepura-puraan dan mencari muka yang di
tampilka. Akan tetapi, selamanya keadilan ibarat kendaraan yang silut, tidak
mampu di kendarai kecuali oleh orang-orang yang memiliki tekad dengan
menghadapakan diri mereka kepada kerasnya zaman dan gangguannya. Seperti itulah
Imam Asy-Sayfi’i.[22]
D. Di Irak
1).
Rihlah Pertama
Imam Syafi’i berangkat ke negeri
Iraq pada tahun 184 H dan itu sehabis keluarnya beliau dari negeri Yaman,
karena dicurigai bahwasanya ia bersama ‘alawiyyin berusaha untuk keluar dari
kekhalifahan ‘Abbasyiah di karena kan dicurigai memihak kepada Ali. Pada saat
itu lagi panas-panasnya pertarungan Abbas dan Ali dalam kekhilafahans.
Sebelumnya beliau menduduki jabatan di pengadilan di Yaman tepatnya di wilayah
Najran selama lima tahun (179-184 H). Setelah imam Syafi’i sampai ke negeri
Baghdad yang waktu itu merupakan ibu kotanya kekhalifahan, maka khalifah harun
Ar-rasyid memanggilnya dan memerintahkan pengawalnya untuk memenggal lehernya.
Akan tetapi imam Syafi’i mengajaknya berdialog supaya bisa menjelaskan seputar
masalah yang sedang terjadi sebenarnya atas diri beliau.
Kemudian setelah dialog tadi selesai
dan khalifah pun mempertimbangkan alasan beliau dengan hujjah yang begitu
akurat, maka khalifah mengurungkan niatnya untuk memenggal lehernya dan
meringankan hukumannya dengan penjara. Dan akhirnnya beliau ditahan di Dar
Al’ammah . Dan tidak ada seorangpun yang beliau kenal di sana kecuali imam
Muhammad Al-hasan As-syaibani dan beliau sangat mengharapkan syafa’atnya disisi
khalifah ketika itu. Akhirnya imam Muhammad Al-hasan membawa Imam Syafi’i
kerumahnya setelah melakukan dialog panjang dengan khalifah pada kesempatan
yang lain dan imam Syafi’i pun bebas dari tahanan yang pada hakikatnya itu
merupakan kelaliman orang-orang yang tidak suka dengan kebijakan dan keadilan
beliau ketika menjadi qhodi/hakim di Yaman.
Kemudian setelah imam Syafi’i
lepas dari tuduhan yang tercela itu, berkat bantuan imam Muhammad Al-hasan
beliau tidak langsung pulang ke negeri Yaman atau ke tempat tinggalnya di
Madinah, tetapi beliau bermukim di Baghdad. Dan majelis-majelis ilmu yang ada
di sana membuat imam Syafi’i terpesona karena Ibukota Baghdad kala itu
merupakan sentralnya ilmu pengetahuan dan di dalamnya terdapat para ulama, ahli
bahasa, perpustakaan-perpustakaan. Maka beliau merasa tamak untuk mencari ilmu
dan mendekati para ulama yang ada di sana untuk mengambil fikih madrasah ahlu
ra’yi melalui bimbingan dan ajaran imam Muhammad Al-hasan.[23]
2).
Rihlah Kedua
Imam Syafi’i tiba di kota Baghdad
untuk yang kedua kalinya pada tahun 195 H. Ketika itu, beliau tiba disana
dengan membawa metode fiqih yang belum pernah ada sebelumnya. Beliau tidak
hanya melihat kepada masalah-masalh furu’ untuk diperinci hukum-hukumnya saja
atau masalah-masalah juz’iyyah (parsial) untuk beliau fatwakan. Akan
tetapi, beliau banyak membawa banyak kaidah-kaidah kulliyah, pokok dari
hal-hal yang pokok dan mengikat masalah-masalah juz’i. Jika demikian, berarrti beliau datang ke kota
Baghdad dengan membawa fiqih sebagai ilmu yang bersifat menyeluruh, dan bukan
hanya cabng-cabang saja, juga kaidah-kadiah kulliyah, bukan fatwa dan
persoalan-persoalan yang khusus. Itu semua disaksikan oleh kota Baghdad ada
pada diri beliau.
Para Ulama dan pelajar ilmu fiqih
berbondong-bondong mendatangi beliau unutk mempelajari metode fiqih yang baru
itu. Beliau dicari oleh para Ahli Hadits dan Ahli Ray’i secara bersamaan. Kedatangan beliau ini, para
perawi menyebutkan bahwa untuk pertam kalinya beliau menulis kitab Ar-Risalah.
Di dalamnya beliau meletakkan asas-asas untuk ilmu Ushul Fiqih.
Disebutkan dalam kitab Manqib
Imam Asy-Sayfi’i karya Ar-Razi telah
diriwayatkan bahwasannya Abdurrahman bin Mahdi meminta kepada Syafi’i yang
ketika itu masih muda untuk menuliskan sebuah kitab untuknya yangi didalamnya
menyebutkan syarat-syarat pengambilan dalil dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’,
Qiyas, penjelasan nasikh dan masukh serta urutan-urutan masalah
yang umum dan yang khusus. Maka Imam Syafi’i pun menulis kitab Ar-Risalah dan mengerimkannya kepada Abudurrahman bin Mahdi. Setelah
Abdurrahman bin Mahdi membaca kita tersebut, beliau berkomentar, “Saya tidak
menyangka kalau Allah telah menciptakan makhluk seperti lelaki ini (Imam
Syafi’i).[24]
Kemudian Ar-Razi berkata, “Ketahuilah
bahwa Imam Syafi’i mengarang kitab Ar-Risalah sewaktu beliau berada di
Baghdad. Setelah beliau kembali ke Mesir. Beliau mengulangi penulisan kitab Ar-Risalah,
sedangkan pada masing-masing kitab yang telah beliau tulis terdapat ilmu
yang banyak.”
Dengan demikian, berarti Ima
Syafi’i telah menulis kitab Ar-Risalah ketika beliau masih berada di
Baghdad. Sebagaimana juga yang disebutkan di dalam Tarikh Al-Bagdadi. Akan
teapi, inti dari apa yang telah kami nukilkan dari Ar-Razi disebutkan bahwa
Ar-Razi meneybtukan bahwa beliau masih muda ketika Ibnu Mahdi memintanya utuk
menulis kitab Ar-Risalah. Padahal, kedatangannya waktu itu beliau sudah
tua, berumur empah puluh lia tahun, kecuali jika pad ausia seperti ini kita
menganggapnya seorang pemuda. Dan seperti itu pula yang di pahami oleh sebagian
Manusia. Hal itu mengandung kemungkinan bahwa beliau mengarang kitab Ar-Risalah
atas ermintaan Imam Ibnu Mahdi ketika di Makkah, lalu mengirimkan kitab
tersebut kepada imam Ibnu Mahdi. Ketika beliau di Irak, beliau menjadi terkenal
karenanya.
Imam Syafi’i mulai menyebarkan
metode baru yang di buatnya tersebut di Irak. Beliau juga berdebat berdasarkan
asasnya serta mengkritisi permasalahn-permasalahn ilmu berdasarkan
dasar-dasarnya, juga mengarang kitab, dan menyebar tulisan-tulisan, serta
mencetak para tokoh dalam ilmu fiqih.[25]
Dalam kunjungannya tersebut,
beliau tinggal di sana selama dua puluh tahun. Setelah itu beliau sempat pergi
dan kembali lagi ke negeri tersebut pada tahun 198 H dan tingal di sana dalam beberapa
bulan.[26]
E. Di Mesir
Kemudain
beliau berniat untuk pergi ke Mesir, lalu beliau berangkat ke sana dan sampai
di sana pada tahun 199 H. Beliau memperpendek masa tinggal beliau di Baghdad
pada kunjungan terakhirnya ini dan tidak tinggal lama di sana. Padahal Baghdad
merupkan tempat berkumpulnya para ulama. Terlebih, di sana beliau telah memliki
banyak murid dan ilmu beliau sudah tersebar di setiap penjurunya, sehingga
memancar di semua ufuk.
Pada awal masa kekhalifahan Al-Makmun,
datanglah beliau dan hingga di sana Al-Makmun mengetahui akan kapasitas seorang
Imam Syafi’i. Diriwayatkan bahwa Al-Makmun pernah menawarkan kepada Imam
Syafi’i menjadi hakim, namun Imam
Syafi’i menolak dengan suatu alasan. Hal ini selaras dengan pola pemikiran dan
silsilah beliau.
Imam
Syafi’i tidak merasa tenang tinggal di kota Baghdad. Ia harus segera pindah
dari kota tersebut. Beliau tidak mendapatkan tempat hijrah dan keleluasaan kecuali Mesir, sebab penguasanya adalah
seorang yang berkebangsaan Quraisy, dari bani Hasyim dari keturunan Al-Abbas.
Beliau
mengabiskan sisa hidupnya untuk mengabdi di Mesir selama empat tahun lamanya.
Beliau memperoleh kecukupan dan
kemenangan dengan tersebarnya ilmu, pendapat-pndapat, dan fiqih beliau, hingga
para penduduk Mesir memberinya gelar Hakim Syari’at.Beliau mendirikan
mengorisinilkan madzhab barunya yang sebelumnya di Baghadad, Irak itu Qaul
Qadim dan di Mesir menuliskan madzhab barunya (Qaul Jadid). Beliau hidup disana
hingga akhir hayatnya pada tahun 204 H dikarenakan sakit yang berkelanjutan di
pencernaanya.[27]
2.4 Pernak-Pernik Kehidupan
Imam Asy-Syafi’i
A. Bertemu Iblis
Pada suatu
hari, ketika Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i sedang duduk mengajarkan tentang
ilmu fiqih kepada para sahabatnya, tiba-tiba pemimpin penghuni neraka, iblis—laknatullahi
‘alaihi—ikut duduk bersama murid-muridnya dalam wujud seorang laki-laki
seperti mereka.
Dalam
majelis itu iblis bertanya, “Apa pendapat Anda tentang Zat yang telah
menciptakanku sebagaimana yang aku pilih sendiri dan memfungsikanku dalam hal
yang aku pilih juga. Lalu setelah itu, jika Dia menghendaki, Dia akan
memasukkan aku ke dalam surga dan jika menghendaki juga, Dia bisa memasukanku
ke dalam neraka. Apakah dalam hal itu Dia telah berbuat adil atau zalim?”
Dengan
cahaya dari Allah, Imam Syafi’i segera mengenali bahwa orang yang bertanya
adalah iblis, beliau menjawab, “Wahai kamu, jika Dia menciptakanmu
sebagaimana yang kamu mau, berarti Dia telah menzalimimu, namun jika Dia
menciptakan kamu sebagaimana keinginan-Nya sendiri, maka Dia tidak ditanya
tentang apa yang Dia lakukan.”
Lalu iblis
terlaknat tersebut menjawab, “Wahai Syafi’i, demi Allah, dengan
pertanyaanku ini, aku telah mengeluarkan tujuh puluh ribu orang dari tempat
peribadahan.” Kemudian iblis itu pun menghilang sehingga lenyap dari
pandangan.[28]
B. Sang Pembela Sunnah
Sebagai
seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam
menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan
Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan
dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi
penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika
kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian
berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti
sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa
al-Hadits.
Terdapat
banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat
perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang
yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka
ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya
hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi’i jika
telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan
prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam,
dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak
ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya.” Al-Mazani
berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi’i membenci kesibukan dalam ilmu
kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.” Ketidaksukaan
beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah
dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring
berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah
hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.[29]
C. Tiga hal yang Bermanfaat
Suatu hari
Imam Syafi'i berkunjung kerumah Imam Ahmad bin Hambal. Imam Ahmad mempunyai
seorang putri yang shalihah, kalau malam beribadah, siang berpuasa dan menyukai
kisah orang-orang pilihan. Putri beliau ini ingin sekali melihat lmam Syafi'i secara
langsung sebab sang ayah sangat menghormatinya. Ketika Imam Syafi'i berkunjung
kerumah mereka, sang putri merasa sangat senang dan berharap bisa melihat apa
saja yang di kerjakan imam Syafi'i serta mendengar ucapan-ucapannya. Setelah
selesai makan malam bersama, Imam Ahmad menuju tempat sholat untuk melakukan
sholat dan dzikir, Imam Syafi'i tiduran terlentang, sedangkan sang putri selalu
mengawasi Imam Syafi'i sampai fajar.
Di pagi
hari, sang putri berkata kepada ayahnya, “wahai ayahku... Apakah benar dia ini
Imam Syafi'i yang engkau ceritakan padaku dulu ?”
Imam
Ahmad, “benar anakku ..”
Putri,
“aku mendengar bahwa engkau menghormati Imam Syafi'i, tapi apa yang aku lihat
tadi malam dia...tidak sholat, tidak dzikir tidak pula wirid ? dan aku juga
melihat ada 3 hal yg aneh.”
Imam
Ahmad, “apa saja 3 hal itu, wahai annaku?”
Putri, “
ketika kita sajikan makanan kepada Imam Syafi'i, dia makan banyak sekali dan
ini berbeda dengan yang ku dengar. Ketika masuk kamar, dia tidak beribadah
sholat malam. Dan ketika sholat subuh bersama kita, dia sholat tanpa wudlu.”
Ketika
agak siang dan mereka berbincang-bincang, Imam Ahmad berkata kepada Imam
Syafi'i tentang apa yang dilihat oleh putrinya, lalu Imam Syafi'i berkata,
“Wahai Aba Muhammad, aku memang semalam banyak makan karena aku tahu bahwa
makananmu adalah halal dan engkau adalah orang mulia sedangkan makan orang
mulia adalah obat, kalau makanan orang bakhil adalah penyakit, jadi, aku makan
bukan untuk kenyang tapi untuk berobat dengan makananmu.
Adapun semalam
aku tidak sholat malam, hal itu dikarenakan ketika aku melatakkan kepalaku
untuk tidur, aku melihat seolah-olah Al-Qur'an dan Hadits berada di depanku,
kemudian Allah membukakan kepadaku tujuh puluh dua masalah ilmu fiqih yang ku
susun untuk kemaslahatan muslimin, maka memikirkan ilmu inilah yang menghalangi
antara diriku dan sholat malam.
Adapun
ketika sholat subuh bersama kalian aku tidak wudhlu, maka demi Allah tidaklah
kedua mataku tertidur hingga aku tidak butuh memperbaharui wudhlu. Semalam suntuk
aku terjaga, jadi aku sholat subuh bersama kalian dengan wudhu sholat Isya' .”
Kemudian Imam Syafi'i berpamitan dan pulang.
Imam Ahamd
berkata kepada putrinya, “yang di kerjakan oleh oleh Imam Syafi'i semalam dalam
keadaan tiduran, lebih utama daripada apa yang kukerjakan sambil sholat malam.”[30]
Muhammad
bin Hasan Al-Balkhi bercerita, “ Dalam suatu malam aku tidur dan bermimpin
bertemu Rasulullah, maka aku berkata, “Bagaimana menurut anda dengan pendapat
Imam Malik dan para Ulama di Irak ?”
Rasulullah
bersabda, ‘Tidak sesuai Sunnahku kecuali yang sesuai dgan Sunnaku.’
Aku
bertanya lagi, ‘bagaimana menurut anda dengan pendapat Abu Hanifah ?’
Lagi-lagi
Rasulullah menjawab, ‘Tidak termasuk Sunnahku kecuali yang sesuai Sunnahku.’
Dan aku
bertanya lagi, ‘Bagaimana menurut anda dnegan pendapat Asy-Syafi’i ?’
Beliau
menjawab, ‘Tidak termasuk Sunnahku kecuali yang sesuai dengan Sunnahku, akan
tetapi dia meluruskan para pelaku ahlul bid’ah.[31]
Muhammad bin
Idris berkata, “Ada seseorang laki-laki yang menikah untuk kedua kalinya dengan
seorang prempuan Arab, sedangkan ia telah memiliki seorang istri. Suatu ketika,
istri barunya tersebut lewat di depan pintu rumah istri yang lama, lalu istri
yang baru bersenandung :
“Tidaklah
sama antara dua buah kaki; yang satu sehat sedangkan yang satunya sudah
termakan waktu sehingga lumpuh.’
Beberapa
hari kemudin, si istri muda itu lewat lagi di depan rumah istri tua dan berucap
‘Tidaklah
sama anatara dua baju; baju yang satu telah lusuh, sedangkan baju lainnya baru
di pegang oleh pedagang.’
Kemudian
si istri tua keluar dari dalam rumah lalu berkata :
‘Pindahkanlah
hatimu sesukamu.
Tidaklah kecintaan itu diberikan kecuali kepada kisah
pertama.
Berapa banyak rumah di muka bumi ini yang di tinggali oleh
seorang pemuda
Akan tetapi yang selamanya menjadi kecintaannya adalah
rumah yang pertama.[32]
Pada suatu
dhuha, ada sorang lelaki yang bertanya kepada Imam Asy-Syafi’i, “Wahai Abu
Abdullah, apa dalil anda tentang keberadaan sang pencipta ?”
Imam
Syaf’i menjawab, “Daun pohon murbei[33].”
Laki-laki
itu bertanya, “Apa yang anda maksudkan ?”
Imam
Syafi’i berkata, “Rasa, warna, bau, dan karakternya satu. Akan tetapi, ketika
dimakan ulat sutra, maka ulat sutra tersebut megeluarkan sutera. Ketika dimakan
lebah, maka yang dia keluarkan adalah madu. Ketika dimakan domba dan dia akan
tumbuh besar, maka ia mengeluarkan susu, dan ketika di maka oleh Antelop[34] dan
menjadi nutrisinya, lalu muncul bau Kesturi. Maka siapakah yang telah
menjadikan berbagai macam produksi ini, padahal makanannya sama ? Dia lah
Allah.”[35]
G. Istri
dan Anak Imam Syafi’i
Istri Imam
Syafi’i radliyallahu ‘anhu adalah Hamidah binti
Nafi’ bin Abasah bin bin Amr bin Ustman bin Affan dan diantara puteranya dari
hasil pernikahan dengannya adalah Abu Utsman Muhammad bin Muhammad bin Idris
dan ia adalah putera tertua yang menjadi penghulu di Madinah. Beliau juga memilik
putera yang lain yang diberi nama Al-Hasan bin Muhammad bin Idris yang
meninggal saat masih kecil dari budak yang dijadikan istri. Imam Syafi’i juga
memiliki istri yang berkebangsaan Utsmaniyah dan memiliki 2 orang puteri yaitu
Fatimah dan Zainab[36]
2.5 Mereka Berkata tentang Syafi’i
Begitulah keadaan para Imam Ahlus Sunnah, mereka menapaki kehidupan
ini dengan menempatkan ridha Allah di hadapan mata mereka, meski harus dibenci
oleh manusia. Namun keridhaan Allah akan mendatangkan berkah dan manfaat yang banyak.
Imam Asy-Syafi`i yang berjalan dengan lurus di jalan-Nya, menuai pujian dan
sanjungan dari orang-orang yang utama. Karena keutamaan hanyalah diketahui oleh
orang-orang yang punya keutamaan pula.
Ø Qutaibah bin Sa`id berkata,
“Asy-Syafi`i adalah seorang Imam.” Beliau juga berkata, “Imam Ats-Tsauri wafat
maka hilanglah wara’, Imam Asy-Syafi`i wafat maka matilah Sunnah dan apa bila
Imam Ahmad bin Hambal wafat maka nampaklah kebid`ahan.”
Ø Imam Ahmad bin Hambal berkata,
“Asy-Syafi`i adalah manusia yang paling fasih di zamannya.”
Ø Ishaq bin Rahawaih berkata, “Tidak
ada seorangpun yang berbicara dengan pendapatnya kemudian beliau menyebutkan
Ats-Tsauri, Al-Auzai, Malik, dan Abu Hanifah, melainkan Imam Asy-Syafi`i adalah
yang paling besar ittiba`nya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, dan
paling sedikit kesalahannya.”
Ø Abu Daud As-Sijistani berkata, “Aku
tidak mengetahui pada Asy-Syafi`i satu ucapanpun yang salah.”
Ø Ibrahim bin Abdul Thalib Al-Hafidz
berkata, “Aku bertanya kepada Abu Qudamah As-Sarkhasi tentang Asy-Syafi`i,
Ahmad, Abu Ubaid, dan Ibnu Ruhawaih. Maka ia berkata, “Asy-Syafi`i adalah yang
paling faqih di antara mereka.”
Ø Abu Ubaid berkata, “Aku tidak pernah
melihat seorang pun yang lebih fasih, berakal, dan wara melebih Imam Sayfi’i.”
Ø Yahya bin Ma’in berkata, “Syafi’i
adalah seorang yang sangat jujur. Seandainya dusta di perbolehkan tentulah
kewibawaannya mencegah untuk berbuat dusta.”
Ø Ibnu Abi Hatim berkata, “Imam
Sayfi’i adalah orang yang badannya faham fiqih dan lisannya sangat jujur.”
Ø Abu Zur’ah berkata, “Pada diri Imam
Sayfi’i tiadak hadits yang keliru.”
Ø Abu Tsaur berkata, “ Aku tidak
pernah melihat orang seperti Imam Syafi’i dan tidak pernah mendengar pendapat
seperti pendaptnya.”
Ø Daud bin Ali Azh-Zhahiri berkata,
“Syafi’i memiliki keutamaan-keutamaan yang tidak terkumpul pada selainnya
berupa kemuliaan nasab, kelurusan agama, dan aqidah; kedermawanan; pengetahuan
tentang keshaihan hadits dan kecacatannya; nasikh dan masukhnya; hafal
Al-Qur’an, As-Sunnah, dan perjalan hidup para khalifah; memiliki gaya penulisan
yang baik, dan memiliki sahabat-sahabat dan murid yang hebat, seperti Ahmad bin
Hambal di dalam kezuhudan, kewa’an, dan penegakkannya dalam sunnah.”[37]
2.6 Syair dan Perkataan Sang Imam
Banyak sekali perkataan-perkataan beliau yang ditulis oleh beliau
ataupun oleh ulama-ulama yang lain dan disini kami mangambil sedikit dari
perkataannya, di antaranya ialah:
Ø “Ilmu itu tidaklah indah kecuali
dengan tiga perkara, yaitu: takwa kepada Allah, sesuai dengan sunnah, dan rasa
takut.”
Ø “Apabila kalian menjumpai dalam
kitabku hal yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka berpendapatlah kalian dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, dan tinggalkan apa yang aku katakan.” (Dalam riwayat yang lain,
“Maka ikutilah sunnah tersebut, dan janganlah kalian hiraukan pendapat seorang
pun.”)
Ø “Setiap permasalahan yang berkenaan
dengannya ada hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menurut para ahli periwayatan (hadits), dan bertentangan dengan apa yang aku
katakan, maka aku menarik kembali perkataanku, baik ketika aku masih hidup maupun
setelah aku mati.”
Ø Beliau berkata dalam bait syairnya:
Hakikat seorang yang faqih (paham agama) itu dengan perbuatannya
Bukan dengan ucapan dan kata-katanya
Seorang pemimpin adalah diukur dengan akhlaknya
Bukan dengan kaum dan jumlah masanya
Demikian pula orang yang kaya itu kaya dengan keadaan jiwanya
Bukan kaya dengan kekuasaan dan hartanya
Ø Pesan Imam Syafi’i
“Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling
banyak benarnya.”
2.7 Metode Imam Syafi’i dalam Madzhab-nya
Imam Syafi'i tidak sekedar mendasarkan sunnah pada Al-Qur'an,
tetapi juga berupaya meletakkan asumsi dasar bahwa sunnah adalah bagian organik
dalam struktur Al-Qur'an ditinjau dari pengertian semantiknya. Karena Al-Qur'an
dan Sunnah menjadi struktur organik semantik, maka Imam Syafi’i pun dapat
membangun Ijma' atas dasar struktur tersebut hingga menjadi teks tasyri' yang
memperleh signifikasinya dari pengertian teks yang tersusun dari Al-Qur'an dan
Sunnah. Sumber ke empat dalam fiqih Imam Syafi'i adalah Qiyas yang juga diambil
dari teks yang tersusun dari ke tiga dasar sebelumnya.
Syafi'i meletakkan Sunnah sejajar dengan Al-Qur'an dalam hal
sebagai hujjah karena sunnah juga berasal dari wahyu. Syafi'i tidak menyamakan
Al-Qur'an dan Sunnah dalam segala aspek, menurutnya perbedaannya paling tidak
bahwa Al-Qur'an mutawatir dan merupakan ibadah bagi yang membacanya sedangkan
kebanyakan Sunnah tidak mutawatir juga membacanya tidak dinilai pahala. Kedua,
Al-Qur'an adalah kalam Allah, sedangkan Sunnah adalah perkataan Nabi Muhammad.
Syafi'i juga menjelaskan bahwa sSnnah tidak semartabat dengan Al-Qur'an dalam
masalah aqidah.
A.
Al Qur'an
Syafi'i tidak memberikan batasan definitif bagi Al-Qur'an,
berdasarkan berbagai uraiannya, para pengikutnyalah yang memberikan definisi
terhadap Al-Qur'an. Misalnya definisi yang diungkapkan Taj Al Din Al Subki,
bahwa Al-Qur'an adalah lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai
mu'jizat dan membacanya merupakan ibadah.
Menurut Syafi'i Al-Qur'an itu makna dan lafdz. Seluruh Al-Qur'an
terdiri atas bahasa Arab, tidak satu katapun di dalamnya yang bukan bahasa
Arab. Maka sejalan dengan itu ia mengatakan bahwa setiap umat Islam diharuskan
mempelajari bahasa Arab sedapat mungkin (Mabalagahu juhduh) sehingga ia dapat mengucapkan
syahadat, membaca Al-Qur'an, dan mengucapkan dzikir. Tuntutan itu merupakan
fardhu ‘ain yang berlaku secara umum, sedangkan penguasaan bahasa Arab secara
mendalam diwajibkan secara terbatas (fardhu kifayah) atas para ulama'. Syafi'i
menekankan pentingnya penguasaan bahasa Arab karena tidak mungkin bisa memahami
kandungan Al-Qur'an tanpa penguasaan terhadap bahasa Arab.[38]
B.
Sunnah
Meskipun Syafi'i tidak mengemukakan rumusan dalam bentuk definisi
dan batasan Sunnah, dapat diketahui dengan jelas sunnah menurut Syafi'i yaitu
perkataan, perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada Nabi Muhammad. Secara
umum, batasan seperti ini diterima oleh para ulama' yang datang kemudian.
Seorang pembaca kitab-kitab Imam Syafi'i hampir dapat memastikan bahwa
penegakkan Sunnah sebagai sumber hukum merupakan obsesi agenda pemikirannya,
bahkan yang paling asasi. Karena itu kita tidak boleh lupa dengan signifikasi
historis dari pemberian gelar Nashir Hadits kepadanya.
Syafi'i menegaskan bahwa Sunnah merupakan hujjah yang wajib diikuti
sama halnya dengan Al-Qur'an. Untuk mendukungnya dia mengajukan beberapa dalil,
baik dalil naqli maupun dalil aqli. Sejalan dengan pandangan tentang kokohnya
kedudukan sunnah, Syafi'i menegaskan bila telah ada hadits yang shohih (tsabit)
dari Nabi Muhammad, maka dalil dalil berupa perkataan orang lain tidak
diperlukan lagi. Jadi bila seseorang telah menemukan hadits shahih, ia tidak
lagi mempunyai pilihan kecuali menerima dan dan mengikutinya. Syafi'i mengatakan
“Tidak benar, kalau sesuatu (dalam hal Sunnah) suatu saat dianggap sebagai
hujjah tetapi pada kali lainnya tidak.”
Tentang hubungan antara Sunnah dengan Al-Qur'an, Syafi'i
mengemukakan bahwa fungsi Sunnah sebagai berikut:
1. Sebagai penguat dalil dalil dalam Al-Qur'an
2. Sebagai penjelas dari ayat ayat Al-Qur'an yang masih global
(mujmal)
3. Sebagai tambahan; artinya mengatur hukum yang belum diatur dalam
Al-Qur'an
Bahwa sunnah tidak dapat menaskh Al-Qur’an. Fungsi sunnah terhadap
Al-Qur’an hanyalah mengikuti apa yang diturunkan sebagai naskh,dan menafsirkan
apa yang diturunkan secara global (mujmal) Dan firman Allah, “Tidak ada
sepatutnya bagiku untuk mengantinya dari diriku sendiri” [QS: Yunus : 15] merupakan
penjelasan dari apa yang telah dikemukakan, bahwa Al-Qur’an kitab hanya bias
dinaskhkan oleh Al-Qur’an. Allah mengawaliturunnya kewajiban, maka Dialah yang
menghilangkan apa yang Ia kehendaki. Hal itu tidak selayaknya dilakukan oleh siapapun
diantara makhluk-Nya.
1). Syarat syarat penerimaan sunnah
Syafi'i membagi hadits menjadi dua, hadits mutawatir dan khadits
ahad. Ia memandang hadits mutawatir itu pasti, sehingga hadits tersebut mutlak
harus diterima sebagai dalil. Akan tetapi hadits ahad hanya wajib diamalkan
apabila hadits tersebut shohih. Pada pokoknya, persyaratan yang ditetapkan oleh
Syafi'i agar suatu hadits dapat diamalkan sama dengan yang dikemukakan oleh
para ahli hadits dan ahli ushul fiqh pada masa kemudian, yakni menyangkut
tsiqoh dan dhobithyang harus terpenuhi pada setiap perawi dan kesinambungan
sanad yang diriwayatkannya serta tidak adanya cacat atau kelainan dalam hadits
tersebut.[39]
C.
Ijma’
"Ijma' adalah hujjah atas segala sesuatu karena Ijma' itu
tidak mungkin salah"-Syafi'i. Syafi'i menyepakati bahwa Ijma' merupakan
hujjah agama. Ijma' menurut Syafi'i adalah kesepakatan para ulama' pada suatu
masa tentang hukum syara'. Kedudukan Ijma' sebagai hujjah adalah setelah
Al-Qur'an dan Sunnah. Sehingga Ijma' diakhirkan dari pada Al-Qur'an dan Sunnah.
Oleh karena itu, Ijma' yang menyelisihi Al-Qur'an dan Sunnah bukan merupakan
hujjah dan dalam kenyataannya tidak mungkin ada Ijma' yang menyelisihi
Al-Qur'an dan Sunnah. Apabila terjadi suatu peristiwa, maka peristiwa itu
dikemukakan kepada semua Mujtahid diwaktu terjadinya. Para Mujtahid itu sepakat
memutuskan/menentukan hukumnya.
Ijma' umat terbagi menjadi dua:
1. Ijma' Qauli, yaitu suatu
Ijma' di mana para ulama' mengeluarkan pendapatnya dengan lisan ataupun tulisan
yang menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya.
2. Ijma' Sukuti, yaitu
suatu Ijma' di mana para ulama' diam, tidak mengatakan pendapatnya. Diam di
sini dianggap menyetujui.
Menurut Imam Hanafi kedua macam Ijma' tersebut adalah Ijma' yang
sebenarnya. Menurut Imam Syafi'i hanya ijma' yang pertama saja yang disebut Ijma'
yang sebenarnya.
Selain Ijma' umat tersebut masih ada macam-macam Ijma' yang lain,
yaitu:
Ø Ijma' sahabat
Ø Ijma' Khalifah yang empat
Ø Ijma' Abu Bakar dan Umar
Ø Ijma' ulama Madinah
Ø Ijma' ulama Kufah dan Basrah
Ø Ijma' itrah (golongan Syiah)
1). Sandaran Ijma’
Ijma' tidak dipandang sah, kecuali apabila ada sandaran, sebab Ijma'
bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Sandaran tersebut dapat berupa
dalil qath'i yaitu Qur'an dan Hadits mutawatir, juga dapat berupa dalil zhanni yaitu
Hadits ahad dan Qiyas.Rumusan Syafi'i berbeda dengan rumusan Imam Malik yang
menganggap kesepakatan penduduk Madinah sebagai Ijma' dan rumusan madzhab
Zahiri yang membatasinya hanya pada kesepakatan para sahabat. Ijma' yang
mula-mula mendapat i'tibar dari Imam Syafi'i ialah ijma sahabat dan ia menerima
Ijma' sebagai hujjah di tempat tak ada nash. Kemudian yang perlu di ingatkan
bahwa Imam Syafi'i tidak menerima Ijma' sukuti.
Sedangkan menurut Dr. Muh Zuhri yang dimaksud Ijma menurut Imam
Syafi’ri adalah kesepakatan seluruh ulama dalam kurun waktu yang sama, disana
tidak boleh ada seorang pun menyatakan perselisihan pendapatnya dalam kasus
yang dicarikan kesepakatannya. Teori Ijma’ Imam Syafi’i tentunya sulit
diwujudkan kalau hendak dikatakan tidak mungkin. Namun tampaknya ide Ijma’
sebagai sumber hukum ini merupakan upaya antisipasif agar masyarakat Islam
tetap terpelihara dalam persatuan. Ulama fiqih termasuk Imam Syafi’i melihat
pertikaian politik dalam pemerintahan Islam yang melibatkan semua masyarakat Islam
sudah sampai pada titik yang membahayakan. Perpecahan ummat yang disebabkan
perbedaan inilah yang dirasa membahayakan persatuan. Lembaga Ijma’ dimaksudkan
untuk menyatukan pandangan di kalangan para ulama. Dengan kesatuan ulama maka
akan terwujudlah persatuan ummat islam.[40]
D.
Qiyas
Imam Syafi'i adalah mujtahid yang mula-mula menguraikan dasar Qiyas.
Para fuqaha sebelumnya membahas tentang Ar-Ra'yu tanpa menentukan
batas-batasnya dan dasar-dasar penggunaannya, tanpa menentukan norma-norma
Ra'yu yang shahih dan yang tidak shahih.
Imam Syafi'i membuat kaedah kaedah yang harus dipegangi dalam
menentukan mana ra'yu yang shahih dan yang tidak shahih. Ia membuat kriteria
bagi istinbath-istinbath yang salah. Ia menentukan batas-batas Qiyas,
martabat-martabatnya, dan kekutan hukum yang ditetapkan dengan Qiyas. Juga
diterangkan syarat-syarat yang harus sempurna pada Qiyas. Sesudah itu diterangkan
pula perbedaan antara Qiyas dengan macam-macam istinbath yang lain yang
dipandang, kecuali Qiyas. Dengan demikian Imam Syafi'i adalah orang pertama
dalam menerangkan hakekat Qiyas. Imam Syafi'i sendiri tidak membuat ta'rif Qiyas.
Akan tetapi penjelasan penjelasannya, contoh-contoh, bagian-bagian dan
syarat-syarat menjelaskan hakekat Qiyas, yang kemudian dibuat ta'rifnya oleh
ulama' ushul.
Biarpun ulama' ushul berbeda pendapat dalam merumuskan definisi Qiyas,
namun secara implisit mereka mempunyai kesepakatan terhadap rukun rukun Qiyas.
Hal ini karena definisi yang berbeda tersebut tetap menekankan pada empat unsur
pembentuk Qiyas, yaitu kasus yang ditetapkan oleh nash (ashl), kasus yang baru
akan ditentukan hukumnya (far'u), sebab hkum ('illat), dan hukum yang telah
ditentukan oleh nash (hukm ashl). Ulama' ushul kemudian memberikan syarat syarat
terhadap masing masing unsur Qiyas tersebut.[41]
2.8 Pendapat dan Perinsip Imam Syafi’i
Prinsip keyakinan (Manhaj)[42] Al-Imam Asy-Syafi’i sesuai dengan prinsip keyakinan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Untuk lebih jelasnya,
simaklah keterangan berikut ini:
Al-Imam Asy-Syafi’i adalah seorang ulama yang selalu merujuk kepada
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta berpegang
teguh dengan keduanya. Cukuplah karya monumental beliau, kitab Al-Umm
(terkhusus pada Kitab Jima’ul Ilmi dan Kitab Ibthalul Istihsan) dan juga kitab
Ar-Risalah menjadi bukti atas semua itu. Demikian pula beliau melarang dari
taklid buta. Sebagaimana dalam wasiat beliau berikut ini,
“Jika kalian mendapati sesuatu pada karya tulisku yang menyelisihi
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ambillah Sunnah
RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dan tinggalkan perkataanku.”
“Jika apa yang aku katakan menyelisihi hadits yang shahih dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
lah yang lebih utama, dan jangan kalian taklid kepadaku.”
Al-Imam Al-Muzani rahimahullahu (salah seorang murid senior Al-Imam
Asy-Syafi’i) di awal kitab Mukhtashar-nya berkata, “Aku ringkaskan kitab ini
dari ilmu Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu serta dari kandungan
ucapannya untuk memudahkan siapa saja yang menghendakinya, seiring dengan
adanya peringatan dari beliau agar tidak bertaklid kepada beliau maupun kepada
yang lainnya. Hal itu agar seseorang dapat melihat dengan jernih apa yang
terbaik bagi agamanya dan lebih berhati-hati bagi dirinya.”
B.
Hadits ahad dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Menurut Al-Imam Asy-Syafi’i dan para Ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah
lainnya, tak ada perbedaan antara hadits mutawatir dan hadits ahad dalam hal
hujjah, selama derajatnya shahih. Bahkan dalam kitab Ar-Risalah, Al-Imam
Asy-Syafi’i menjelaskan secara panjang lebar bahwa hadits ahad adalah hujjah
dalam segenap sendi agama. Lebih dari itu beliau membantah orang-orang yang
mengingkarinya dengan dalil-dalil yang sangat kuat. Sehingga patutlah bila beliau
dijuluki Nashirul Hadits[43]
C.
Tauhid dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Al-Imam Asy- Syafi’i merupakan sosok yang kokoh tauhidnya. Sangat
mendalam pengetahuannya tentang tauhid dan jenis-jenisnya, baik tauhid
rububiyah, tauhid uluhiyah maupun tauhid asma’ wash shifat. Bahkan kitab-kitab
beliau merupakan contoh dari cerminan tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Di antaranya apa yang terdapat dalam mukadimah kitab Ar-Risalah berikut
ini, “Segala puji hanya milik Allah yang telah menciptakan langit dan bumi,
mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan
sesuatu dengan Rabb mereka. Segala puji hanya milik Allah yang tidaklah mungkin
satu nikmat dari nikmat-nikmat-Nya disyukuri melainkan dengan nikmat dari-Nya
pula. Yang mengharuskan seseorang kala mensyukuri kenikmatan-Nya yang lampau
untuk mensyukuri kenikmatan-Nya yang baru. Siapa pun tak akan mampu menyifati
hakikat keagungan-Nya. Dia sebagaimana yang disifati oleh diri-Nya sendiri dan
di atas apa yang disifati oleh para makhluk-Nya. Aku memuji-Nya dengan pujian
yang selaras dengan kemuliaan wajah-Nya dan keperkasaan ketinggian-Nya. Aku
memohon pertolongan dari-Nya, suatu pertolongan dari Dzat yang tidak ada daya
dan upaya melainkan dari-Nya. Aku memohon petunjuk dari-Nya, Dzat yang dengan
petunjuk-Nya tidak akan tersesat siapa pun yang ditunjuki-Nya. Aku pun memohon
ampunan-Nya atas segala dosa yang telah lalu maupun yang akan datang,
permohonan seorang hamba yang meyakini bahwa tiada yang berhak diibadahi
melainkan Dia, seorang hamba yang mengetahui dengan pasti bahwa tiada yang
dapat mengampuni dosanya dan menyelamatkannya dari dosa tersebut kecuali Dia.
Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia semata, dan
aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya…”
Al-Imam Asy-Syafi’i sangat berupaya untuk menjaga kemurnian tauhid.
Oleh karena itu, beliau sangat keras terhadap segala perbuatan yang dapat mengantarkan
kepada syirik akbar, seperti mendirikan bangunan di atas kubur dan
menjadikannya sebagai tempat ibadah, bersumpah kepada selain Allah Subhanahu wa
Ta’ala, dan sebagainya.
Penting untuk disebutkan pula bahwa prinsip Al-Imam Asy-Syafi’i
dalam hal tauhid asma’ wash shifat sesuai dengan prinsip Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallamdan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum serta menyelisihi
prinsip kelompok Asy’ariyyah[44] ataupun Maturidiyyah.[45] Yaitu menetapkan semua nama dan sifat bagi Allah Subhanahu wa
Ta’ala sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan dijelaskan dalam hadits
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Menetapkannya tanpa
menyerupakan dengan sesuatu pun, dan mensucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa
meniadakan (ta’thil) nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sebagaimana yang dikandung
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang
Maha mendengar dan lagi Maha melihat.” [QS: Asy-Syura: 11][46]
Jauh dari sikap membayangkan bagaimana hakikat sifat Allah
Subhanahu wa Ta’ala(takyif) dan jauh pula dari sikap memalingkan makna sifat
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sebenarnya kepada makna yang tidak dimaukan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya (tahrif). Demikianlah prinsip yang
senantiasa ditanamkan Al-Imam Asy-Syafi’i kepada murid-muridnya.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata, “Telah diriwayatkan
dari Ar-Rabi’ dan yang lainnya, dari para pembesar murid-murid Asy-Syafi’i, apa
yang menunjukkan bahwa ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa
Ta’ala tersebut dimaknai sesuai dengan makna zhahirnya, tanpa dibayangkan
bagaimana hakikat sifat tersebut (takyif), tanpa diserupakan dengan sifat
makhluk-Nya (tasybih), tanpa ditiadakan (ta’thil), dan tanpa dipalingkan dari
makna sebenarnya yang dimaukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam (tahrif).”
D.
Permasalahan iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i mencakup ucapan, perbuatan, dan
niat. Ia bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang dengan kemaksiatan.
Adapun sikap beliau terhadap pelaku dosa besar yang meninggal dunia dalam
keadaan belum bertaubat darinya, maka selaras dengan prinsip Ahlus Sunnah wal
Jamaah dan menyelisihi prinsip ahlul bid’ah, dari kalangan Khawarij,
Mu’tazilah, maupun Murji’ah. Yaitu tergantung kepada kehendak Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak untuk diampuni maka
terampunilah dosanya, dan jika Allah Subhanahu wa Ta’alaberkehendak untuk
diazab maka akan diazab terlebih dahulu dalam Neraka, namun tidak kekal di
dalamnya.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata, “Sesungguhnya kehendak
para hamba tergantung kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidaklah mereka
berkehendak kecuali atas kehendak Allah Rabb semesta alam. Manusia tidaklah
menciptakan amal perbuatannya sendiri. Amal perbuatan mereka adalah ciptaan
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya takdir baik dan takdir buruk semuanya
dari Allah ‘Azza wa jalla. Sesungguhnya azab kubur benar adanya, pertanyaan
malaikat kepada penghuni kubur benar adanya, hari kebangkitan benar adanya,
penghitungan amal di hari kiamat benar adanya, Al-Jannah dan An-Nar benar
adanya, dan hal lainnya yang disebutkan dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam serta disampaikan melalui lisan para ulama di segenap negeri
kaum muslimin (benar pula adanya).”
Ketika ditanya tentang dilihatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
(ru’yatullah) di hari kiamat, maka Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Demi Allah,
jika Muhammad bin Idris tidak meyakini akan dilihatnya Allah Subhanahu wa
Ta’ala di hari kiamat, niscaya dia tidak akan beribadah kepada-Nya di dunia.”
Al-Imam Asy-Syafi’i sangat menghormati para sahabat Nabi. Hal ini
sebagaimana tercermin dalam kata-kata beliau berikut ini, “Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah memuji para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
Al-Qur’an, Taurat, dan Injil. Keutamaan itu pun sungguh telah terukir melalui
lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu keutamaan yang belum
pernah diraih oleh siapa pun setelah mereka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala
merahmati mereka dan menganugerahkan kepada mereka tempat tertinggi di sisi
para shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Merekalah para penyampai ajaran
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita. Mereka pula para saksi
atas turunnya wahyu kepada RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena
itu, mereka sangat mengetahui apa yang dimaukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam terkait dengan hal-hal yang bersifat umum maupun khusus, serta yang
bersifat keharusan maupun anjuran. Mereka mengetahui Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik yang kita ketahui ataupun yang tidak kita
ketahui. Mereka di atas kita dalam hal ilmu, ijtihad, wara’, ketajaman berpikir
dan menyimpulkan suatu permasalahan berdasarkan ilmu. Pendapat mereka lebih
baik dan lebih utama bagi diri kita daripada pendapat kita sendiri. Wallahu
a’lam.”
Demikian pula beliau sangat benci terhadap kaum Syi’ah Rafidhah
yang menjadikan kebencian terhadap mayoritas para sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallamsebagai prinsip dalam beragama. Hal ini sebagaimana penuturan
Yunus bin Abdul A’la, “Aku mendengar celaan yang dahsyat dari Asy-Syafi’i -jika
menyebut Syi’ah Rafidhah seraya mengatakan, ‘Mereka adalah sejelek-jelek
kelompok’.”
F.
Sikap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap kelompok-kelompok
sesat
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu berkata, “Adalah Asy-Syafi’i
seorang yang bersikap keras terhadap ahlul ilhad[47] dan ahlul bid’ah. Beliau tampakkan kebencian dan pemboikotan
tersebut kepada mereka.”
Al-Imam Al-Buwaithi rahimahullahu berkata, “Aku bertanya kepada
Asy-Syafi’i, ‘Apakah aku boleh shalat di belakang seorang yang berakidah Syi’ah
Rafidhah?’ Maka beliau menjawab, ‘Jangan shalat di belakang seorang yang
berakidah Syi’ah Rafidhah, seorang yang berakidah Qadariyyah[48], dan seorang yang berakidah Murjiah[49]’.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata, “Tidaklah seorang sufi
bisa menjadi sufi tulen hingga mempunyai empat karakter: pemalas, suka makan,
suka tidur, dan selalu ingin tahu urusan orang lain.” [50]
2.9 Guru Imam Syafi’i
A. Beliau mengawali mengambil ilmu dari
ulama-ulama yang berada di negerinya, di antara mereka adalah:
1. Muslim bin Khalid Az-Zanji mufti Makkah
2. Muhammad bin Syafi’ paman beliau sendiri
3. Abbas kakeknya Imam Asy-Syafi`i
4. Sufyan bin Uyainah
5. Fudhail bin Iyadl, serta beberapa ulama
yang lain.
B. Demikian juga beliau mengambil ilmu dari
ulama-ulama Madinah di antara mereka adalah:
1. Malik bin Anas
2. Ibrahim bin Abu Yahya Al Aslamy Al
Madany
3.Abdul Aziz Ad-Darawardi, Athaf bin Khalid,
Ismail bin Ja’far dan Ibrahim bin Sa’ad serta para ulama yang berada pada
tingkatannya
C. Beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama
negeri Yaman di antaranya;
1.Mutharrif bin Mazin
2.Hisyam bin Yusuf Al Qadhi, dan sejumlah
ulama lainnya.
D. Dan di Baghdad beliau mengambil ilmu dari:
1.Muhammad bin Al Hasan, ulamanya bangsa
Irak, beliau bermulazamah bersama ulama tersebut, dan mengambil darinya ilmu
yang banyak.
2.Ismail bin Ulayah.
3.Abdulwahab Ats-Tsaqafy, serta yang
lainnya.[51]
2.10 Murid Imam Syafi’i
Imam Syafi’i mempunyai beberapa murid-murid yang telah menukil
madzhab fiqihnya di setiap fase dari tiga fase yang telah kita terangkan
sebelumnya. Beliau memilki murid-murid yang mengambil ilmu fiqihnya di Makkah,
juga muird- murid yang mengambil ilmu fiqihya pada saat kedatangannya yang kdua
di Baghdad, serta murid-murid yang mengambil ilmu fiqihnya di Mesir.
Diantara muridnya ialah :
A.
Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan
Imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin.
B.
Abu Bakar Al-Humaidi. Dia adalah seorang ahli fiqih sekaligus ahli
hadits yang tsiqh lagi hafizh[52]. Wafat pada
219 H di Makkah. Beliau telah menyertai Imam Syafi’i ke Mesir, kemudian kembali
lagi ke Makkah setelah meninggalnya Imam Syafi’i
C.
Abu Ishaq, Ibrahim bin Muhammad Al-‘Abbasi bin Utsman bin Syafi’i
Al-Muttalibi. Beliau adalah seorang yang hafizh lagi tsiqah. Akan tetapi ia
tidak menukil fiqih dari Imam Syafi’i. Abu Ishaq tumbuh di Makkah dan meninggal
pada 237 H.
D.
Abu Bakar Muhammad bin Idris, Ibnu Abdil Barr berkata tentangnya,
“ia telah menyertai Imam Syafi’i dan saya tidak tahu pada tahun berapa ia
meninggal. Ia juga mengambil ilmu dari Imam Syaif’i ketika di Makkah.
E.
Abu Walid bin Abil Jarud. Beliau juga telah menyertai Imam Syafi’i
menulis kitab-kitab beliau, memahami fiqih dari beliau, dan mengambil
perkataan-perkataan beliau sebelum beliau pergi ke Baghdad.
Mereka semua adalah sebagian Ulama yang memahami fiqih dari beliau
di Makkah. Mereka juga tercantum di dalam buku biografi sahabat-sahabat Imam
Syafi’i[53]
2.11 Karya-karya Beliau
Salah satu karangannya adalah “Ar risalah” buku pertama tentang
ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam
Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu
memadukan fiqih ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam
Syafi’i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al-Quran dan As-Sunnah,”
“Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah
memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”.
Thasy Kubri mengatakan di Miftahus Sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul,
hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki
sifat amanah (dipercaya), adalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’,
takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang
banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,”
Dalam kitab ini disusun oleh beliau secara sistematis, dimana
didalamnya membahas tentang beberapa ketentuan yang nada di dalam dua nash,
baik itu terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Hadits, masalah-masalah yang berkaitan
dengan adanya Nasikh-Mansukh, syarat-syarat penerimaan sanad dari para perowi
tunggal, masalah-masalah yang berkaitan dengan Ijma’, Ijtihad, Istihsan dan
al-Qiyas. Kitab ini diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al-Murady.
Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan
oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman.
Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya, ”Jika sebuah hadits shahih
bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah
perkataanku di belakang tembok,”pembahasan dalam kitab ini, terdiri dari
masalah-masalah yang berkaitan ‘Ibadah, Muamalah, masalah pidana da Munakahat.
Bahkan dalam kitab ini dijelaskan tentang adanya bantahan Muhammad bin Hasan
al-Syaibaniy terhadap aliran Madinah dalam bentuk perselisihan pandangan antara
Imam Abu Hanifah dengan Abi Laits. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa
kitab Al-Umm ini, merupakan hasil dari penggabungan beberapa kitab dalam
berbagai pandangan Mujtahid.
“Kebaikan ada pada lima hal; kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti
orang lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha manusia
adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk selamat dari perkataan
manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal yang bermanfaat bagimu”.
"Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang
paling banyak benarnya.”
Beliau berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang
shahih maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.”
Beliau berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi shalallahu
a’laihi wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya
dariku.”
Beliau mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang
menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam maka ucapkanlah
sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.”
C.
Kitab “Ikhtilaf Malik Wa Syafi’I”
Yaitu kitab yang membahas masalah terjadinya ikhtilaf antara Ali
dan Ibu Mas’ud dan antara Imam Syafi’I dengan Abu Hanifah.
Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau juga
tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar
madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i
mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan
syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah Nashirussunnah
(pembela sunnah),”
Muhammad bin Daud berkata, “Pada masa Imam Asy-Syafi`i, tidak
pernah terdengar sedikitpun beliau bicara tentang hawa, tidak juga dinisbatkan
kepadanya dan tidakdikenal darinya, bahkan beliau benci kepada Ahlil Kalam dan
Ahlil Bid’ah.” Beliau bicara tentang Ahlil Bid’ah, seorang tokoh Jahmiyah,
Ibrahim bin ‘Ulayyah, “Sesungguhnya Ibrahim bin ‘Ulayyah sesat.” Imam
Asy-Syafi`i juga mengatakan, “Menurutku, hukuman ahlil kalam dipukul dengan
pelepah pohon kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak keliling kampung seraya
diteriaki, “Ini balasan orang yang meninggalkan kitab dan sunnah, dan beralih
kepada ilmu kalam.”
Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau
jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah,
khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah.
Beliau tidak meyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk,
juga tidak menyepadankan, tidak menghilangkannya dan juga tidak mentakwilnya.
Tapi beliau mengatakan dalam masalah ini, bahwa Allah memiliki nama dan sifat
sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan sebagaimana dikabarkan oleh
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada umatnya. Tidak boleh bagi seorang
pun untuk menolaknya, karena Al-Qur’an telah turun dengannya (nama dan sifat
Allah) dan juga telah ada riwayat yang shahih tentang hal itu. Jika ada yang
menyelisihi demikian setelah tegaknya hujjah padanya maka dia kafir. Adapun
jika belum tegak hujjah, maka dia dimaafkan dengan bodohnya. Karena ilmu
tentang Asma dan Sifat Allah tidak dapat digapai dengan akal, teori dan
pikiran. “Kami menetapkan sifat-sifat Allah dan kami meniadakan penyerupaan
darinya sebagaimana Allah meniadakan dari diri-Nya. Allah berfirman,
Beliau mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang
diwariskan oleh para nabi, yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu beliau banyak
diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan tersimpan rapi dalam berbagai
disiplin ilmu. Bahkan beliau pelopor dalam menulis di bidang ilmu Ushul Fiqih,
dengan karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam bidang fiqih, beliau menulis
kitab Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya. Juga beliau
menulis kitab Jima’ul Ilmi.[54]
Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh
empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam
Syafi’i.
Dalam masalah Al-Qur’an, beliau Imam Asy-Syafi`i mengatakan,
“Al-Qur’an adalah Kalamullah, barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah
makhluk maka dia telah kafir.”[55]
2.12 Qaul Qadim Qaul Jadid
Qaul Qadim dan Qaull Jadid merupakan produk hukum yang bernuansa
sosisal-politik dan sosial-kultur adalah dua fatwa Imam Syafi’i yang dilakukan
di dua daerah yang berbeda sosial-kultur dan sosial-politiknya yaitu :
A.
Qaul Qadim : dimana situasi Baghdad saat itu merupakan daerah yang
sangat sederhana dan boleh dikatakan sangat terbelakang disbanding dengan
daerah lain.
B.
Qaul Jaded : dimana daerah Mesir saat itu merupakan daerah
Metropolis yang mengharuskan untuk berinteraksi dengan memodifikasi terhadap
putusan-putusan atau fatwa-fatwa yang sudah pernah diputuskan, sehingga prinsip
Maslahah menjadi pertimbangan yang sangat penting dalam setiap mengambil
keputusan, sebab keputusan yang diambil dalam wujud Qaul Jadid merupakan
pertimbangan terhadap Qaul Qadim.
Secara umum bisa di katakan bahwa yang dianggap pendapat Madzhab
adalah ‘Qaul Jadid’ seperti yang di katakan Imam Syafi’i, “tidak dibenarkan
menganggap Qaul Qadim sebagai pendapat madzhab” , dan ini sesuai dengan Qoidah
Ushuliyah, ‘Jika seorang mujtahid berpendapat, kemudian setelah itu dia
berpendapat lain, maka yang kedua dianggap Ruju’/ralat bagi yang pertama.’
Tetapi Ulama Syafi’iyah merinci lebih jelas lagi :
1). Qaul Jadid yang harus di pakai, sedang Qaul Qadim harus
ditinggalkan, kecuali beberapa masalah yang berkisar antara 14 sampai dengan 30
masalah.
2). Qaul Jadid tidak bisa dianggap pendapat madzhab kecuali dengan
jelas Imam Syafi’i mengatakan bahwa dia sudah meralat Qaul Qadim. Sedang
bilamana tidak ada penjelasan dari Imam Syafi’i, maka dianggap ada dua pendapat
dalam madzhab.
3). Qaul Jadid secara mutlak dianggap sebagai pendapat madzhab.
Dan pendapat ketiga inilah yang lebih medekati kebenaran, mengingat
ulama Syafi’iyyah setelah meneliti dengan seksama, menyimpulkan bahwa
masalah-masalah yang tersebut dalam Qaul Qadim ternyata semuanya tersebut dalam
Qaul Jadid, kalaupun ada ulama Syafi’iyyah yang memakai dan berfatwa dengan
Qaul Qadim, pada hakikatnya beliau berijtihad dan ternyata sesuai dengan Qaul
Qadim, seperti yang disampaikan Imam Nawawi( 676 H).
Sedangkan pendapat yang kedua, ditolak oleh mayoritas ulama,
sebagaimana dikatakan Abu Ishaq Al-Syiroozi ( 476 H) dan Imam Nawawi, “Pendapat
ini jelas salah, sebab antara Qaul Qadim dan Qaul Jadid seperti dua nash yang
bertentangan, apabila tidak mungkin dipadukan, maka yang terakhir yang harus
dipakai sedang yang pertama di buang.
Sementara itu ada yang membandingkan dengan madzhab Hanafi, yang
bertentangan dengan madzhab Hanafi adalah dianggap sebagai pendapat madzhab
bukan yang sejalan, sebab tidak mungkin Imam Syafi’i berbeda pendapat kecuali
ada dalil yang lebih kuat, dan itu adalah pilihan Syekh Abu Hamid
Al-Ashfarooiniy; Tapi menurut Al-Qoffal Al-Syasyi ( 365 H ) justru sebaliknya.[56]
2.13 Wafatnya Al-Imam Asy-Syafi’i
Al-Muzni
mengkisahkan tentangnya, Aku berkunjung pada Imam Syafi'i saat beliau sedang
sakit yang mengantarkan pada kematiannya, aku tanyakan padanya,
“Wahai Abu
Abdillah, bagaimana kabarmu?”
Beliau
mengangkat kepala lalu berkata,
“Kabarku
yang akan segara meninggalkan dunia, dan berpisah dengan para sahabatku,
bertemu dengan amal jelek yang aku perbuat, dan kepada Allah aku akan kembali.
Sedang diriku tidak tahu kemana ruhku dibawa, apakah kesurga maka ku ucapkan
selamat padanya atau ke nereka maka aku pun bersedih dengannya.”[57]
Kemudian
beliau menangis tersedu-sedu, lalu berkata dalam bait syair, “Tatkala hatiku
keras dan terasa sempit keyakinanku Aku
jadikan rasa harap pada Allah sebagai tanggaku Betapa besar dosa yang ku perbuat,
namun ketika aku bandingkan Dengan ampunan Rabbku, sungguh ampunan -Nya lebih
besar Senantiasa Engkau Maha Pengampun atas segala dosa Penyayang lagi
mengampuni, menganugerahi serta memuliakan.”
Beliau
meninggal di Mesir, tepatnya pada hari kamis, ada yang mengatakan, hari jum'at
pada akhir bulan Rajab tahun 204 H, dengan usia lima puluh empat tahun. Begitu
mulia kedudukannya dan semoga surga sebagai tempat kembalinya.
Berkata
Rabi bin Sulaiman, “Aku melihat Imam Syafi'i setelah kematian beliau dalam
mimpiku, aku pun bertanya padanya, “Wahai Abu Abdillah, apa yang diperbuat
Allah Shubhanahu wa ta’alla denganmu? Dia menjawab, “Mendudukan diriku diatas
kursi yang terbuat dari emas dan menaburkan disekelilingku permata yang halus.”[58]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Imam Syafi’i bernama lengkap Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin
al-Abbas bin Utsman bin Syafi'i, nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah
pada kakeknya Abdul Manaf. Imam Syafi'i lahir pada bulan Rajab pada tahun 150
H. di Gaza. Tahun kelahiran beliau tepat dengan tahun wafatnya imam Hanafi.
Beliau berguru fikih pada beberapa ulama di Jazirah Arab, baik di Baghdad,
Mesir, Kufah, dan Madinah.
Beliau banyak melahirkan murid-murid yang secara langsung
menyebarkan mazhab Syafi’i di dunia ini seperti ar-Rabi' Ibn Sulaiman
al-Marawi, 'Abdullah Ibn Zubair al-Hamidi. Abu Ibrahim, Yunus Ibn Abdul a'la
as-Sadafi, Ahmad Ibn Sibti, Yahyah Ibn Wazir al-Misri, Harmalah Ibn Yahya
Abdullah at-Tujaidi, Ahmad Ibn Hanbal, Hasan Ibn 'Ali al-Karabisi, Abu Saur
Ibrahim Ibn Khalid Yamani al-Kalbi serta Hasan Ibn Ibrahim Ibn Muhammad
as-Sahab az-Za'farani, Abu Ibrahim Ismail Ibn Yahya al-Muzani al-Misri atau
dikenal dengan nama al-Muzani, dan Abu Ya'qub Yusuf Ibn Yahya al-Buwaiti.
Beliau
Wafat di Mesir, tepatnya pada hari kamis, ada yang mengatakan, hari jum'at pada
akhir bulan Rajab tahun 204 H, dengan usia lima puluh empat tahun. Begitu mulia
kedudukannya dan semoga surga sebagai tempat kembalinya.
Secara singkat, metode Istinat Hukum Imam Syafi’i antara lain:
1. Nash (Alquran dan
sunnah);
2. Ijmak;
3. Pendapat para sahabat
yang bersepakat;
4. Pendapat para sahabat
yang berselisih;
5. Menggunakan Qiyas dan
Takhyir apabila terjadi perbedaan pendapat (ikhtilaf).
Berdasarkan uraian contoh-contoh produk istinbath Imam Syafi’i,
maka beliau dapat dikategorikan sebagai ulama yang fundamentalis, sebab Imam
syafi’i selain sebagai ulama masa permulaan pertumbuhan dari ilmu Ushul Fiqh
dan Fiqih, fatwa-fatwa beliau dapat dikatakan sangat keras. Namun begitu, bukan
berarti pendapat-pendapat Imam Syafi’i terlalu kaku. Sebaliknya, pendapat Imam
Syafi’i sangat fleksibel seperti yang dicontohkan beliau dalam Qaul Qadim dan Qaul
Jadid.
Dalam pembahasan diatas maka dapat disimpulkan tentang riwayat hidup Imam Syafi’i, guru-guru beliau,
karya-karya beliau, murid-murid beliau,
cara ijtihad, dan juga disertai dengan pendapat-pendapatnya mengenai
Qaul Qadim dan Qaul Jadid.
Yang menjadi sorotan terbesar bagi Imam Syafi’i adalah Qaul Qadim
dan Qaul Qadidnya. Qaul Qadim adalah pendapat-pendapat imam Syafi’i ketika
masih berada di Irak yang menggunakan ra’yu. Sedangkan Qaul Jadid adalah
pendapat-pendapat Imam Syafi’i ketika sudah hijrah ke Mesir yaitu merevisi Qaul
Qadimnya yang semula menggunakan ra’yu, kemudian digganti dengan
pendapat-pendapat yang di dasarkan pada hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahan
Muhammad Asy-Syak’ah. 2010. Islam bi laa Madzaahibi. Biarut.
Dar Al-Nahdah Al-Arab’iyyah.
Depag RI. 2014. Ensiklopedia Islam. Jakarta. Depag
Aziz Asy-Syinawi, Abdul. 2016. Biogarfi Empat Imam Madzhab. Jakarta.
Beirut Publishing.
Farid, Ahamd. 2006. 60 Biografi Ulama Salaf. Jakarta.
Pustaka Al-Kautsar.
Chalil, Moenawar. 1996. Biografi Serangkai Empat Imam Madzhab. Jakarta.
Bulan Bintang.
Abdurrahman. 1993. Kodifikasi Hukum Islam. Jakarta.
Rinekcita.
Abu Zaid Al-‘Ajmi, Abu Yazid. 2016. Aqidah Menurut Empat Madzhab.
Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
Jawad Mughniyah, Muhammad. 2000. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta.
Lentera Basrimata.
Nurhikmah. 2014. Moderasi Imam Syafi’i Antara Ahlu Ra’yi dan
Ahlul Hadits. Skripsi. Makassar: UIN Alauddin.
Oktaviani, Khoirunnisa. 2014. Biografi Imam Syafi’i. Makalah.
Asy-Asyurbasi, Ahmad. (Penterjemah). 2003. Al-Aimmah Al-Arba’ah.
Jakarta. Pustaka Qalami.
Hanafiah, Muhammad. 2017. Perjalanan Imam Syafi’i di Negeri
Seribu Malam. Kabarwashiliyah.com. (11 November 2019).
Rizaldi, Muhammad. 2014. Sejarah Imam Syafi’i. Malang: UIN
Maulana Malik Ibrahim.
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. 2001. Ensiklopedia Islam. Jakarta.
PT Ichtiar Van Hoeve.
Abdullah Asy-Syaqawi, Amin. 2015. Sejarah Singkat Imam
Asy-Syafi’i. Jakarta. Islam House.
Abdul Halim Al-Jundi. 1996. Al-Imam Asy-Syafi’i. Kairo. Dar
Al-Qalam.
Abdul Wahab, Muhammad. 2013. Aqidah Al-Imam Asy-Syafi’i. Jakarta.
Pustaka Imam Syafi’i.
Razaq, Muhammad. 2015. Kisah Imam Asy-Syafi’i dan Putri Imam
Ahmad Bin Hambal yang Menakjubkan. dutaislam.com. (20 November 2019).
Dzauli. 2006. Ilmu Fiqih. Jakarta. Kencana.
Yasir, Muhammad bin Abdul Muthalib. 2007. Ringkasan Kitab
Al-Umm, Juz 1. Jakarta. Pustaka Azzam.
Indra, Muhammad. 2015. Biografi Imam Syafi’i. alkhoir.net.
(20 November 2019).
Nasution, Lahmuddin. 2001. Pembaharuan Hukum Islam dalam Madzhab
Syafi’i. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.
Mubarak, Da’i. 2002. Modifikasi Hukum Islam; Studi tentang Qaul
Qadim dan Qaul Jadid. Jakarta. PT Raja Grafindo.
Hasan Ali, Muhammad. 2003. Berbagai Macam Fiqih. Jakarta. PT
Raja Grafindo.
[1] Mustofa Muhammad Asy-Syak’ah, Islam
bi Laa Madzaahib, Biarut: Dar Al-Nahdah al-‘Arabiyyah, hal 349.
[2] Dirjen Lembaga Islam Depag RI,
Ensiklopedi Islam, Depag RI, Jakarta, hal 326.
[3] Abdul Aziz Asy-Syinawi, BIOGRAFI
EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut Publishing, Jakarta, 2016, hal 386.
[4] Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi
Ulama Salaf, Putaka Kautsar, Jakarta, 2006, hal 355.
[5] Moenawar Chalil, Biografi Serangkai
Empat Imam Mazhab, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, hal 231.
[6] Abdur Rahman, “Kodifikasi Hukum
Islam”, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal 159.
[7] Abdul Aziz Asy-Syinawi, BIOGRAFI
EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut Publishing, Jakarta, 2016, hal 385.
[8] 1 farsakh adalah 5.541 m, atau
sekitar 5,5 km
[9] Abu Yazid Abu Zaid Al-‘Ajmi, Akidah
Menurut Empat Madzhab, Pustaka Kautsar, Jakarta, 2016, hal 318.
[10] Kunyah adalah ama yang
diawali dengan kata ”Abu” jika yang diberi kunyah adalah seorang laki-laki,
atau dengan kata “Ummu” jika yang diberika kunyah adalah seorang
perempuan—edt.
[11] Ibid, hal 387.
[12] Abdul Aziz Asy-Syinawi, BIOGRAFI
EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut Publishing, Jakarta, 2016, hal 387.
[13] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima
Madzhab, Lentera Basritama, Jakarta, 2000, hal 142.
[14] Nurhikmah, Skirpsi, : ”MODERASI
IMAM SYAFI’I ANTARA AHLUL RA’YI DAN AHLUL HADITS” (Makassar : UIN Alauddin,
2014), hal 22.
[15] Abu Yazid Abu Zaid Al-‘Ajmi, Akidah
Menurut Empat Madzhab, Pustaka Kautsar, Jakarta, 2016, hal 318.
[16] Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi
Ulama Salaf, Putaka Kautsar, Jakarta, 2006, hal 358.
[17] Khoirunisa Oktafiani, Makalah, : “ BIOGRAFI
IMAM SYAFI’I” (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, 2014), hal 21.
[18] Ahmad Asy-Syurbasi, Al-Aimmah
Al-Arba’ah, Futuhul Arifin, Terjemahan 4 Mutiara Zaman, Pustaka Qalami,
Jakarta, 2003, hal 131-133.
[19] Abdul Aziz Asy-Syinawi, BIOGRAFI
EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut Publishing, Jakarta, 2016, hal 392-394.
[20] Qadariyah (bahasa
Arab: قدرية) adalah sebuah ideologi dan sekte bid'ah di dalam akidah
Islam yang muncul pada pertengahan abad pertama Hijriah di Basrah, Irak.
Kelompok ini memiliki keyakinan mengingkari takdir, yaitu bahwasanya perbuatan
makhluk berada di luar kehendak Allah dan juga bukan ciptaan Allah.
[21] Khoirunisa Oktafiani, Makalah, : “ BIOGRAFI
IMAM SYAFI’I” (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, 2014), hal 22-23.
[22] Abdul Aziz Asy-Syinawi, BIOGRAFI
EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut Publishing, Jakarta, 2016, hal 392-395-397.
[23] Muhammad Hanafiah, Perjalanan Imam Syafi’i di Negeri Seribu Malam,
kabarwashliyah.com, 19 November 19, 21:40
[24] Muhammad Rizaldi, Makalah, :“
Sejarah Imam Syafi’i” (Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim, 2014), hal 18.
[25] Dewan Redaksi Ensikloedia Islam, Ensiklopedia
Islam, PT Ichtiar Van Hoeve, Jakarta 2001, hal 326.
[26] Abdul Aziz Asy-Syinawi, BIOGRAFI
EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut Publishing, Jakarta, 2016, hal 392-464-465.
[27] Syaikh Amin bin Abdullah Asy-Syaqawi, Sejarah
Singkat Imam Asy-Syafi’i, Islam House, Jakarta, 2015, hal 18.
[28] Al-Jundi Abdulhalim, Al-Imam Asy-Sayfi’i,
Dar Al-Qolam, Kairo, 1996, hal 51.
[29] Muhammad bin Abdul Wahab, Aqidah
Al-Imam Asy-Syafi’i, Pustaka Imam Syafi’i, 2013,Jakarta, hal 76-77.
[30] Razaq, “Kisah Imam Syafi’i dan Putri
Imam Ahmad bin Hambal, dutaislam.com, 20 November 19, 22:30
[31] Abdul Aziz Asy-Syinawi, BIOGRAFI
EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut Publishing, Jakarta, 2016, hal 392-405.
[32] Dzauli, ILMU FIQIH, Kencana,
Jakarta, 2006, hal 130.
[33] Murbei atau Bebesaran (Latin: Morus) adalah sebuah genus yang terdiri dari 10–16
spesies pohon tertentu yang asli berasal dari daerah panas sedang dan
subtropis di Asia, Afrika dan Amerika. Daun bebesaran merupakan daun
sederhana berbentuk cuping dan menggergaji di bagian tepi.
[34] Antelop adalah mamalia yang bentuknya menyerupai kambing
dengan tanduk tegak lurus ke atas. Binatang ini mirip kijang tetapi bukan
kijang. Ia termasuk jenis sapi. Hewan ini merupakan anggota dari famili bovidae
dan termasuk hewan yang terancam punah. Antelop tersebar di Afrika, Asia, dan
Timur Tengah.
[35] Muhammad Yasir bin Abdul Muthalib,
Ringkasan Kitab Al-Umm, Juz 1, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007, hal 35.
[36] Muhammad Indra, Biografi Imam
Syafi’i, alkhoir.net, 20 November 19, 23:00
[37] Abdul Aziz
Asy-Syinawi, BIOGRAFI EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut Publishing, Jakarta, 2016, hal
424-425.
[38] Abdul Aziz
Asy-Syinawi, BIOGRAFI EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut Publishing, Jakarta, 2016, hal
562.
[39] Abdul Aziz Asy-Syinawi, BIOGRAFI EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut
Publishing, Jakarta, 2016, hal 573.
[40] Abdul Aziz Asy-Syinawi, BIOGRAFI EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut
Publishing, Jakarta, 2016, hal 621.
[41] Khoirunisa
Oktafiani, Makalah, : “ BIOGRAFI IMAM SYAFI’I” (Jakarta : UIN Syarif
Hidayatullah, 2014), hal 20.
[42] Manhaj ialah kaidah-kaidah & ketentuan-ketentuan yang
digunakan bagi setiap pelajaran-pelajaran ilmiyyah, seperi kaidah-kaidah bahasa
arab, ushul ‘aqidah, ushul fiqih, & ushul tafsir di mana dengan ilmu-ilmu
ini pembelajaran dalam islam beserta pokok-pokoknya menjadi teratur &
benar. Dan manhaj yang benar adalah jalan hidup yang lurus & terang dalam
beragama menurut pemahaman para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
[43] Pembela hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam
[44] Asy'ariyah adalah mazhab teologi yang disandarkan kepada Imam
Abul Hasan al-Asy'ari. Asy'ariyah mengambil dasar keyakinannya dari Kullabiyah,
yaitu pemikiran dari Abu Muhammad bin Kullab dalam meyakini sifat-sifat Allah.
Kemudian mengedepankan akal di atas tekstual ayat dalam memahami Al-Qur'an dan
Hadits.
[45] Dalam agama Islam, seorang Maturidi adalah seseorang yang
mengikuti ajaran tauhid Abu Mansur Al Maturidi yang merupakan jenis terdekat
dari ajaran Asy'ari. Para Maturidi, Asy'ari dan Atsari adalah bagian dari Islam
Sunni, yang membentuk sebagian besar umat Islam.
[46] Al-Quran dan Terjemahan
[47] Orang-orang yang menyimpang dalam
agama
[48] Qadariyah adalah sebuah ideologi dan sekte bid'ah di dalam
akidah Islam yang muncul pada pertengahan abad pertama Hijriah di Basrah, Irak.
Kelompok ini memiliki keyakinan mengingkari takdir, yaitu bahwasanya perbuatan
makhluk berada di luar kehendak Allah dan juga bukan ciptaan Allah.
[49] Aliran
Murji'ah adalah golongan yang terdapat dalam Islam yang muncul dari golongan
yang tak sepaham dengan Khawarij. Ini tercermin dari ajarannya yang bertolak
belakang dengan Khawarij.
[50] Khoirunisa
Oktafiani, Makalah, : “ BIOGRAFI IMAM SYAFI’I” (Jakarta : UIN Syarif
Hidayatullah, 2014), hal 27-30.
[51] Khoirunisa Oktafiani, Makalah, : “ BIOGRAFI
IMAM SYAFI’I” (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, 2014), hal 24-25.
[52] Hafidz adalah hafal seratus ribu
hadits beserta sanadnya—pent
[53] Abdul Aziz Asy-Syinawi, BIOGRAFI
EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut Publishing, Jakarta, 2016, hal 511.
[54] Da’i Mubarak,
Modifikasi Hukum Islami; Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid, PT Raja
Grafindo, Jakarta, hal 78.
[55] Muhammad Ali Hasan,
Berbagai Maca Fiqih, PT Raja Grafindo, 2003, Jakarta, hal 34.
[56] Khoirunisa
Oktafiani, Makalah, : “ BIOGRAFI IMAM SYAFI’I” (Jakarta : UIN Syarif
Hidayatullah, 2014), hal 20.
[57] Lahmuddin Nasution,
Pembaruan Hukum Islam, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, hal 43.
[58] Abdul Aziz Asy-Syinawi, BIOGRAFI
EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut Publishing, Jakarta, 2016, hal 639.
0 komentar:
Post a Comment