Tuesday, October 6, 2020

Makalah Biografi Imam Syafi'i

 

DUSTUR ILAHI

 

 

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. [QS:Yusuf:111]

 

 

 

 

 

 

 

 

 


KATA PENGANTAR

 

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَسْتَهْدِيْهِ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. أَمَّا بَعْدُ؛

Segala puji hanya milk Allah SWT. Kami memujinya, memohon pertolongannya, dan memohon ampunannya. Kami berlindung kepada Allah dari keburukan diri kami dan dari keburukan perbuatan kami. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan kesabaran dan dedikasinya yang tinggi, beliau berhasil mendakwahkan risalah ilahi kepada seluruh umat manusia.

Ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah memiliki beberapa cabang ilmu, salah satunya cabang fiqih. Dunia Islam mengenal empat madzhab fiqih yang paling besar, yaitu Hanifiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Masing-masing madzhab memiliki karaker dan keistimewaan yang berbeda-beda.

Madzhab Hanfiyah didirikann oleh Nu’man bin Tsabit, alias Imam Abu Hanifah. Abu Hanifah merupakan guru besar fiqih di kawasan Iraq. Madzhab  fiqih beliau kental dengan suasana ra’yu. Sebab,daerah tempat tinggal beliau jauh dari sumber hadits. Hadits-hadits Rasulullah yang sampai di Iraq lebih banyak yang palsu dan dhaif daripada yang shahih.

Berbeda dengan Madzhab Malikiyah yang didirikan oleh Imam Malik bin Anas. Imam Malik tumbuh berkembang di kota Rasulullah, sumber hadits-hadits yang shahih. Maka tidak heran jika fiqihnya kental dengan suasana hadits,  tanpa ada ra’yu. Sebab, di Madinah sangat mudah menemukan hadits-hadits shahih terkait permasalahan yang sedang dihadapi.

Pada tahun 150 H, lahir Muhammad bin Idris yang lebih terkenal dengan nam Imam Asy-Syafi’i. Belia merupakan pelajar dan kritikus yang baik bagi kedua madzhab di atas, hanafiyah dan malikiyah. Beliau berhasil mempelajari kedua dasar madzhab fiqih tersebut. Dan karena beliau mampu memadukan dua metode fiqih, hanafiyah dan malikiyah, maka beliau membentuk undang-undang fiqih nya sendiri, hingga lahirlah madzhab fiqih Syafi’iyah.

 

Adapaun madzhab fiqih yang paling muda adalah hanabilah, didirikan oleh Ahmad bin Hanbal atau lebih dikenal dengan sebutan Imam Ahmad.

Namun pada makalah ini akan dibahas lebih spesifik tentang Biografi Muhammad Idris Syafi’I atau lebih dikenal dengan Imam Syafi’i. Mulai dari nasab, kehidupan, perjalanan panjang menuntut ilmu, pengorbanan hidup, sampai pendapata-pendapat Beliau dalam masalah Fiqih dan Aqidah.

Makalah ini akan mengajak anda menyelam lebih dalam disamudera kehidupan pendiri madzhab syaifi’iyah. Para pembaca dapat memetik banyak hikmah dan pelajaran dari rentetan kehidupan panjang Beliau. Mudah-mudahan dengan makalah ini  dapat memberi manfaat yang sangat luas bagi para pembaca. Tidak ada yang kami inginkan selain kebaikan bagi kita semua.

Ter-realisasikannya makalah ini tidak lepas dari bantuan teman-teman dan buku yang ada. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini saya ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah sirah tabi’in sekaligus kepala prodi Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an Baitul Qur’an, Depok.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih butuh banyak perbaikan dan bimbingan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan sempurnanya makalah ini sehingga dapat bermanfaat bagi para pembaca, Aamiin.

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1 Latar Belakang

Imam empat serangkai adalah imam-imam madzhab fikih dalam islam. Mereka imam-imam bagi madzhab empat yang berkembang dalam Islam. Mereka terkenal sampai kepada seluruh umat di zaman yang silam dan sampai sekarang. Mereka itu adalah :

A. Abu Hanifah Annu’man

B. Malik Bin Anas

C. Muhammad Bin Idris Asy-syafi’i

D. Ahmad Bin Muhammad Bin Hanbal

Karena pengorbanan dan bakti mereka yang besar terhadap Agama Islam yang maha suci, khususnya dalam bidang ilmu fikih mereka telah sampai ke peringkat atau kedudukan yang baik dan tinggi dalam Islam. Peninggalan mereka merupakan amalan ilmu fikih yang besar dan abadi yang menjadi kemegahan bagi agama Islam dan kaum muslimin umumnya.

Karena kesuburan dan kemasyhurannya dalam ilmu fikih di samping usaha mereka yang bermacam-macam terhadap agama Islam nama-nama mereka sangat dikenal pada zaman kejayaannya islam. Mereka bekerja keras untuk menjaga dan menyuburkan ajaran-ajaran Islam kepada seluruh umat lebih-lebih dalam ilmu fikih sejak terbitnya nur Islam.

Dan pada makalah ini akan dibahas lebih  tentang Biografi Muhammad Idris Syafi’i atau lebih dikenal dengan imam Syafi’i. Imam Syafi’i adalah imam yang ketiga menurut susunan tarikh kelahiran. Beliau adalah pendukung terhadap ilmu hadist dan pembaharu dalam agama (mujaddid) dalam abad kedua hijrah.

1.2 Rumusan Masalah

A. Mengenal lebih jauh siapa itu Imam Asy-Syafi’i.

B. Mengetahui sepak terjangnya dalam membuat Madzhabnya.

C. Mengetahui cara Imam Asy-Syafi’i berijtihad.

1.3 Tujuan

A. Mengenal lebih dekat siapa itu Muhammad bin Idris atau lebih mashyur dengan sebutan Imam Asy-Syafii.

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 Pengenalan

Imam Syafi’i adalah salah seorang ulama yang sangat masyhur. Setiap orang yang memperhatikannya akan tertarik untuk mengetahui lebih dalam pribadinya, perilakunya serta peninggalannya yang telah membuat orang yang memperhatikannya menghormati, memuliakan dan mengagungkannya.[1] Ia ulama mujtahid (ahli ijtihad) dibidang Fiqih dan salah seorang dari empat imam madzhab yang terkenal dalam Islam. Ia hidup di masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid, al-Amin dan al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah.[2]

A. Nama

   Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Abdil Muththalib bin Abdi Manaf Al-Quraisyi (berkebangsaan Quraisy) Al-Muttalibi (keturunan Abdul Muthallib) Asy-Syafi’i.[3]

B. Nasab

Beliau anak dari paman Rasulullah SAW dengan garis keturunan bertemu dengan beliau pada kakeknya yang bernama Abdi Manaf. Rasulullah berasal dari keturunan bani Hasyim bin Abdi Manaf sedangkan Imam Asy-Syafi’i berasal dari keturunan Abdul Muthalib bin Abdi Manaf. Imam An-Nawawi berkata, “ Ketahuilah bahwa sesungguhnya Imam Asy-Syafi’i adalah termasuk manusi pilihan yang mempunyai akhlak mulia dan mempunyai peran yang sangat penting dalam sejarah Islam.”[4]

C. Orang Tuanya

Ayahnya bernama Idris bin Abas ibn Utsaman ibn Syafi’i ibn Al-Saib ibn Abdul Manaf sedangkan ibunya bernama Fatimah binti Abdullah ibn Al-Hasan ibn Husain ibn Ali bin Abi Thalib dan garis keturunan ayahnya, Imam Syafi’i bersatu dengan keturunan Nabi Muhammad.[5]

 

D. Kelahiran

Muhammad bin Idris atau akrab dipanggil Iam Asy-Syafi’i Ia dilahirkan di Gaza, sebuah kota kecil di Laut Tengah pada tahun 150 H./767 M.[6] Tahun di mana Imam Abu Hanifah meninggal. Sebagaian sejarawan berpendapat, “ Sesungguhnya beliau dilahirkan pada malam meninggalnya Imam Abu Hanifah. ” Ibunda Muhammad bin Idris ketika mengandung, ia bermimpi melihat bintang keluar dari kemaluannya dan hancur berkeping-keping di Mesir, lalu setiap negri mendapat bagian kepingan bintang tersebut.[7]

Mendengar penuturan sang ibunda, para penakwil mimpi menawkilkan bahwa akan lahir darinya seorang ulama yang ilmunya melingkupi segenap penduduk Mesir, kemudian akan tersebar ke seluruh negeri. Beliau dilahrikan di Gaza, Palestina. Ada juga yang berpendapat, “ Beliau dilahirkan di Asqalan jaraknya tiga farsakh[8] dari Gaza. Dan ada yang berpendapat juga sesungguhnya beliau lahir di Yaman dan tumbuh kecil di Asqalan dan Gaza lalu besar di Makkah.

Adz-Dzahabi berpendapat bahwasannya Imam Syafi’i lahir di Gaza lalu di bawa ibunya saat berusia 2 tahun ke Hijaz dan mempertemukan kaumnya yang berasal dari Yaman, karena ibunya berasal dari bani Azad, lalu ibunya tinggal di antara mereka. Begitu Syafi’i berusia 10 tahun, ibunya khawatir terhadap nasabnya yang mulia, jangan sampai terlupakan dan terabaikan maka ibunya membawa Asy-Syafi’i kecil ke Makkah.[9]

E. Kunyah[10]

Beliau dipanggil denga gelar Abu Abdillah[11]

F. Ciri-Ciri Imam Syafi’i

Imam Syafi’i adalah seorang laki-laki yang berpostur tinggi semamapai seorang penunggang kuda dan berkulit coklat layaknya putra-putra dari sungai Nil. Beliau bermuka cerah dan sumringah. Jenggotnya bersih dan rapi. Beliau mewarnai jenggot dan rambutnya dengan pacar karena mengikuti Sunnah. Gaya bertuturnya dan manis, juga lantang suaranya. Dari kedua matanya terpancar kilatan karena ketulusan kasih sayang kepada orang yang dilihatnya. Kelopa matanya terlihat berat karena bekas begadang-begadang malam, banyak merenung dan berfikir, serta seiring melangang buana dengan ruh dan jasadnya dalam rangka mencari kebenaran syari’at. Baju kasar lagi bersih. Beliau bertelekan pada tongkat yang berat, seakan-akan beliau adalah orang yang behaji wara.[12]

Ibrahim bin Murad berkata, “Imam Asy-Syafi’i itu berbadan tinggi berdarah bangsawan berjiwa besar.” Sedang menurut Az-Za’farani  mengataka bahwa Asy-Syafi’i adalah orang yang berwajah simpatik dan ringan tangan. Dan Al-Muzni berkata, “Aku belum pernah melihat seseorang yang wajahnya lebih tampan melebihi Asy-Syafi’i, ketika dia memegang jenggotnya, maka akau melihat bahwa tidak ada orang yang lebih bagus dari cara dia memegangnya.

2.2 Pertumbuhan dan Perkembangannya

   Asy-Syafi’i merasakan pahitnya hidup tanpa seorang ayah saat dia masih kecil, dan dia tumbuh dalam keluarga yang miskin, bahkan kemiskinannya ini memiliki keterikatan dengan pekerjaan yang dijalaninya dan juga sebab ujian yang menimpanya.[13] Akan tetapi kondisi-kondisi menggapai ilmu sebagaimana bkan menaji titik lemah baginya, akan tetapi dalam suatu riwayat Asy-Syafi’i berkata, “ Aku yatim dalam asuhan ibuku, sementara ibuku tidak memiliki apa-apa untuk diberikan kepada guru, namun guru memperkenankan aku mengikuti pelajarannya saat dia sudah beranjak dari majelisnya.

Di Makkah, Imam Syafi’i mengikuti latihan memanah. Dalam memanah ini, Imam Asy-Syafi’i mempunyai kemampuan di atas rata-rata diantara temannya. Dia memanah sepuluh kali, semuanya tepat sasaran dan hanya satu yang meleset dan itu pun sangat tipis dari jarak sasaran.

Selain kecenderungannya yang besar terhadap Al Qur’an dan Hadis, beliau juga mempunyai minat yang besar dalam sastra. Beliau berusaha menghindar dari pengaruh bahasa non Arab yang saat itu merebak dan merusak keaslian bahasa Arab. Untuk menjaga serta mempertajam kemampuan bahasa Arabnya, Imam Syafi’i pergi ke daerah pedalaman Arab, dan menetap di tengah-tengah suku Hudzail, suku yang bahasa arabnya tidak terpengaruh oleh bahasa non Arab.beliau menguasai syair-syair orang Hudzail dan kisah-kisahnya. Sampai-sampai Al Asma’i, seorang yang sangat terkenal dalam dunia sastra Arab berkomentar tentang Imam Syafi’i “saya telah mendapat koreksi mengenai syair-syair Hudzail dari seorang pemuda Quraisy yang bernama Muhammad bin Idris”.[14]

2.3 Mengenal Keilmuan

A. Di Makkah

Asy-Syafi’i telah hafal Al-Qur’an pada umur 7 tahun dan sudah mahir dalam berbahasa Arab. Ibunda Asy-Syafi’i sangat bersungguh-sungguh dalam mendidik Asy-Syafi’i dai membawanya kepada orang-orang ‘alim di Mekkah pad asaat itu. Dia sering mendatangi mesjid untuk menghampiri majelis-majelis ulama. Beliau juga menghafal hadits atau permasalah yang dibahas. Rumah beliau berada di Makkah di perkampungan Khaif. Beliau memanfaatkan tulang-belulang sebagai papan tulis. Dalam suatu riwayat Syafi’i berkata, “ Aku pun menulis hadits dan mencatat ilmu lainnya pada tulang tersebut, kami mempunyai kantong kulit yang sudah usang, dan begitu tulang-belulang itu penuh dengan tulisan maka aku akan menaruhnya di dalam kantong kulit tersebut.[15]

Beliau memulai aktivitas keilmuannya dengan belajar sya’ir, sejarah, dan sastra lalu beliau pun menggeluti dunia fiqih. Sebab, ketertarikan Syafi’i terhadap fiqih bermula dari suatu ketika beliau berjalan dengan mengendarai binatang, sedang dibelakangnya kebetulan sekertaris Ubay sedang mengikutinya. Dalam keadaan demikian, beliau melantunkan beberapa bait sya’ir, sehingga sekertaris Ubay memacu kendaraanya agar berjalan lebih cepat lagi untuk menghampirnya. Ketika sudah mendekat dengan Asy-Syafi’i lalu berkata, “Orang sepertimu akan kehilangan muru’ah kalau hanya seperti ini saja. Dimana kemampuanmu dalam bidang fiqih ?”

Dalam riwayat lain pun diceritakan bahwasannya ada seorang (porter) laki-laki yang memukul beliau dari belakang dan berkata, ‘Apakah seorang laki-laki daru bangsa Quraisy dan keturunan Abdul Muttalib merasa cukup dengan agama serta dunianya hanya dengan menjadi guru sya’ir? Belajarlah Fiqih. Maka Allah SWT akan meninggikan derajatmu wahai pemuda.

Berangkat dari inilah beliau akhirnya hatinnya menjadi tergetar dan tegerak untuk mempelajari fiqih di tempat pengajian Ibnu Khalid Az-Zanji yang pada waktu itu bekedudukan sebagai mufti di Makkah. Al-Baihaqi dengan sanadnya dari Abu Bakar Al-Humaidi, dia berkata, “Imam Asy-Syafi’i berkata, “Aku keluar untuk belajar Nahwu dan sastra, dan ketika aku bertumu dengan Muslim bin Khalid, maka Muslim bertanya kepadaku, “Wahai anak muda, dari manakah asalmu? “Aku menjawab, “Aku dari Makkah.” Dia bertanya lagi, “Rumahmu didaerah mana?” Aku menjawab, “Rumahku berada di suku khaif.” Dia bertanya lagi, “Kamu berasal dari kabilah apa?” Aku menjawab, “Aku dari keturunan Abd Manaf.”[16]

Mendengar jawaban ini Musim bin Khalid merasa terkagum-kagum dan berkata, “Hebat! Hebat! Kamu sungguh beruntung sekali, karena Allah telah memuliakanmu di dunia dan di akhirat. Tidakkah kamu gunakan kepandaianmu untuk mendalami fiqih!? Aku rasa itu lebih baik bagimu”

Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah. Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih tersebut.[17]

B. Di Madinah

Muhammad bin Idris melanjutkan kisah di dalam samudera perjalanan hidupnya menuju kota Madinah. Beliau ke Madinah berkisar pada umur 17-24 tahun. Setelah sampai di kota Madinah dalam suatu riwayat di ceritakan, “Kemudian aku sampai di kota Madinah, lalu aku menyampaikan surat dari walikota Makkah kepada walikota Madinah. Setelah selesai membaca surat itu walikota Madinah pun berkata. ‘Wahai pemuda, andai kata walikota Makkah memintaku untuk berjalan kaki dengan bertelanjang kepala dan kaki dari tengah-tengah kota Madinah sampai ke tengah kota Makkah, maka hal itu lebih ringan bagiku dari pada aku diminta datang ke rumah Imam Malik bin Anas, karena aku memandang berdiri di depan pintu rumahnya akan menjadikan kehinaan bagiku.’

Imam Syafi’i berkata dalam suatu riwayat, “Semoga Allah memperbaiki anda wahai pak Wali, jika pak Walikota memanggil beliau, beliau pasti akan datang.’ Walikota Madinah bekrata ‘Mustahil, tapi siapa tahu jika aku pergi bersama orang yang bersamaku dengan naik kendaraan, lalu terkena debu-debu kampung Aqiq, maka siapa tahu kita akan memperoleh sebagian kebutuhan kita. Lalu ia menjanjikan kepadaku untuk berangkat pada waktu Ashar kemudian kita smua berangkat dengan menaiki kendaraan. Demi Allah, kejadiannya persis dengan yang dikatakan sebelumnya kita terkena debu kampung Aqiq.

Sesampainya di rumah Imam Malik, tiba-tiba ada seseorang laki-laki yang mendahului mengetuk pintu rumah beliau, lalu seseorang budak perempuan hitam menemui kita. Walikota Madinah berkata padanya, ‘Sampaikanlah kepada tuanmu bahwa saya ada didepan pintu.’ Budak perempuan itu pun masuk kedalam rumah. Beberapa saat kemudian, ia keluar dan berkata, ‘Sesungguhnya tuan saya menyampaikan salam kepada anda dan berkata, ‘Jika anda memiliki pertanyaan, maka tulislah di atas kerta, niscaya jawabannya akan disampaikan kepada anda. Namun jika untuk mendengarkan hadits, maka anda telah mengetahui hari di majelis, karena itu kemablilah.’

Lantas Walikota Madinah berkta kepada budak tersebut, ‘Sampaikan kepada beliau, ‘Sesungguhnya aku membawa surat dari Walikota Makkah yang sangat penting untuk beliau.’ Budak itu pun masuk, lalu keluar lagi dan mebawa kursi. Ia meletakkanya, dan tidak lama kemudian, Malik bin Anas keluar. Ternyata beliau adalah seorang yang berusia agak lanjut dengan jenggot lebat. Tampak pada dirinya wibawa dan kehebatan. Beliau pun duduk. Walikota Madinah menyerahkan surat dari Walikota Makkah kepada beliau.

Malik bin Anas membaca surat tersebut, dan ketika sampai pada tulisan, ‘Sesungguhnya orang ini adalah seorang yang kondisi dan keadaannya demikian, oleh karena itu, sampaikanlah hadits kepadanya dan lakukanlah. ‘Imam Malik melemparkan surat tersebut dari tangannya dan berkata, ‘Subhanallah, apakah sekarang ini ilmu Rasulullah diambil dengan perantaraan surat-surat?’

Imam Syafi’i berkata, ‘lalu aku melihat Walikota Madinah menjadi segan untuk berbicara kepada beliau.’ Maka aku segera maju kepada beliau, lalu berkata, ‘Semoga Allah memperbaiki anda, sesungguhnya aku adalah seorang laki-laki keturunan Abdul Muttalib, dan diantara keadaan serta kisahku begini dan begitu.

Tatkala Imam Malik mendengar ucapanku, beliau menatapku sejenak. Malik bin Anas adalah seorang yang tajam firasatnya. Lantas ia bertanya kepadaku, Siapa Namamu ?’

Aku menjawab, Muhammad’

Beliau berkata kepadaku, wahai Muhammad, bertakwalah kepada Allah dan jauhilah kemaksiatan, karena dikemudian hari akan terjadi padamu suatu urusan yang agung.’

Imam Syafi’i berkata, ‘Aku telah menyalin Al-Muwatha’ Imam Malik, lalu aku bertanya kepada beliau, ‘wahai Abu Abdullah, bolehkah saya membacakan Al-Muwatha’ di hadapan anda?’

Beliau berkata, ‘Wahai Keponakanku, panggillah seseorang untuk membacakannya, di hadapanku, dan kamu mendengarkannya.’

‘Aku akan membcakannya untuk anda dan anda mendengarkan bacaanku,’ Jawab Imam Syafi’i.

Imam Malik berkata, ‘Backanlah!’

Tatkala ia mendengarkan bacaanku, dan aku membacakan untuknya sampai pada kitab As-Sair, beliau berkata kepadaku, ‘lipatlah lembaran itu, wahai anak saudaraku, pelajarilah fiqih, niscaya derajatmu akan di angkat.’

Dalam suatu riwayat  Imam Malik berkata, “ Sesungguhnya Allah SWT telah menaruh cahaya dalam hatimu, maka jangan padamkan dengan perbuatan maksiat.” Mulailah Syafi’i belajar dari Imam Malik dan senantiasa bersamanya hingga Imam Malik wafat pada tahun 179 H. Selama itu juga ia mengunjungi ibunya di Makkah.[18]

Diantara kehebatan hafalan Muhammad bin Idris adalah jika belliau ingin membaca sebuah kiatab, maka ia menutupi lembaran bagian kiri dengan ujung lengan bajunyaagar supaya tulisan yang ada pada bagian tersebut tidak terhafal lebih dahulu sebelum bagian yang kanan.[19] 

Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”

Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah[20] yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`i, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.[21]

Dalam suatu riwayat  Imam Malik berkata, “ Sesungguhnya Allah SWT telah menaruh cahaya dalam hatimu, maka jangan padamkan dengan perbuatan maksiat.” Mulailah Syafi’i belajar dari Imam Malik dan senantiasa bersamanya hingga Imam Malik wafat pada tahun 179 H. Selama itu juga ia mengunjungi ibunya di Makkah.

C. Di Yaman

 Imam Malik bin Anas meninggal dunia. Imam Syafi’i yang telah beruguru kepadanya merasa telah mendapatkan ilmu dari gurunya itu. Imam Syafi’i  yang merasa telah mendapatkan sediit bekal keilmuan dari Imam Malik, maka jiwanya menginginkan suatu pekerjaan yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, karena beliau adalah seorang yang faqir.

Disaat beliau sedang membutuhkan suatu pekerjaan yang menghasilkan secara kebetulan Walikota Yaman datang ke Hijaz. Maka ada salah seorang keturunan Quraisy yang berbicara kepada wali tersebut agar ia mengajak Syafi’i untuk menemaninya, lalu Walikota Yaman itu pun mengajak imam Syafi’i bersamanya.

Muhammad bin Idris bercerita tentang hal itu, ‘Ketika itu, ibuku tidak memiliki seseuatu yang dapt diberikan kepadaku untuk menjadi bekal kepergianku bersama wali tersebut, maka aku pun menggadaikan rumah kami, sehingga aku dapat berpergian bersamanya. Tatkala kami tiba di Yaman, aku pun bekerja untuknya pada suatu bidang pekerjaan.

Ketika melakukan pekerjaan itulah, berbagai kemampuan, kecerdikan, dan kecerdasan serta kemuliaan nasab Imam Syafi’i tampak, sehingga cerita tentang beliau  sebagai orang yang adil lagi istimewa tersebar ke segala penjuru kota. Orang-orang seantero kota Makkah menyebut-menyebut nama beliau. Hal itu sampai pula kepada para ahli fiqih serta ahli hadits yang mendengar orang-orang atau diberitahu oleh mereka tentang beliau, sehingga mereka pun menunjukkan sikap yang berbeda-beda; diantara mereka ada yang mencela beliau karena masuknya beliau ke dalam pekerjaan tersebut lalu menasihati beliau  untuk meninggalkannya.

Beliau menerima pekerjaan sebagai pemimpin negeri Najran, lalu beliau menegakkan keadilan dan menybarkan nya. Adapun para penduuduk Najran, sebagaimana kondisi mereka pada setiap masa dan negeri, selalu menampakkan sikap kepura-puraan kepada para penguasa dan hakim serta mencari muka di hadapan mereka untuk memperoleh kedekatan dengan mereka. Akan tetapi, orang-orang tersebut mendapati keadilan para diri Imam Syafi’i dan tidak ada jalan bagi mereka untuk memngaruhi beliau dengan sikap kepura-puraan dan mecari muka tersebut.

Muhammad bin Dirsi menuturkan, “Aku memegang pemerintahan negeri Najran, sedangkan di dalamnya ketika itu ada Harits bin Al-Midan dan para penguasa dasi Tsaqif. Adapun kebiasaan penguasa, jika didatangi oleh orang-orang tersebut, ia akan terpngaruh. Lalu mereka punn ingin berbuat seperti itu kepadaku, namun mereka tidak berhasil melakukan hal itu kepadaku.”

Imam Syafi’i telah menutup pintu sikap kepura-puraan dan mencari muka, supaya tidak ada seorang pun yang bisa memengaruhi dirinya. Itulah pintu yang dilalui orang-orang kecil untuk masuk kepada orang-orang besar guna membelokkan jiwa-jiwa para pemimpin dari keadlian da kebenaran.

Muhammad bin Idris atau Imam Syafi’i telah menutup pintu tersebut. Itu berarti beliau telah menjaga diri beliau dari setiap kejelekan dan kezaliman, karena orang-orang besar tidak akan dapat dipengaruhi, kecuali dengan sikap kepura-puraan dan mencari muka yang di tampilka. Akan tetapi, selamanya keadilan ibarat kendaraan yang silut, tidak mampu di kendarai kecuali oleh orang-orang yang memiliki tekad dengan menghadapakan diri mereka kepada kerasnya zaman dan gangguannya. Seperti itulah Imam Asy-Sayfi’i.[22]

D. Di Irak

1). Rihlah Pertama

Imam Syafi’i berangkat ke negeri Iraq pada tahun 184 H dan itu sehabis keluarnya beliau dari negeri Yaman, karena dicurigai bahwasanya ia bersama ‘alawiyyin berusaha untuk keluar dari kekhalifahan ‘Abbasyiah di karena kan dicurigai memihak kepada Ali. Pada saat itu lagi panas-panasnya pertarungan Abbas dan Ali dalam kekhilafahans. Sebelumnya beliau menduduki jabatan di pengadilan di Yaman tepatnya di wilayah Najran selama lima tahun (179-184 H). Setelah imam Syafi’i sampai ke negeri Baghdad yang waktu itu merupakan ibu kotanya kekhalifahan, maka khalifah harun Ar-rasyid memanggilnya dan memerintahkan pengawalnya untuk memenggal lehernya. Akan tetapi imam Syafi’i mengajaknya berdialog supaya bisa menjelaskan seputar masalah yang sedang terjadi sebenarnya atas diri beliau.

Kemudian setelah dialog tadi selesai dan khalifah pun mempertimbangkan alasan beliau dengan hujjah yang begitu akurat, maka khalifah mengurungkan niatnya untuk memenggal lehernya dan meringankan hukumannya dengan penjara. Dan akhirnnya beliau ditahan di Dar Al’ammah . Dan tidak ada seorangpun yang beliau kenal di sana kecuali imam Muhammad Al-hasan As-syaibani dan beliau sangat mengharapkan syafa’atnya disisi khalifah ketika itu. Akhirnya imam Muhammad Al-hasan membawa Imam Syafi’i kerumahnya setelah melakukan dialog panjang dengan khalifah pada kesempatan yang lain dan imam Syafi’i pun bebas dari tahanan yang pada hakikatnya itu merupakan kelaliman orang-orang yang tidak suka dengan kebijakan dan keadilan beliau ketika menjadi qhodi/hakim di Yaman.

Kemudian setelah imam Syafi’i lepas dari tuduhan yang tercela itu, berkat bantuan imam Muhammad Al-hasan beliau tidak langsung pulang ke negeri Yaman atau ke tempat tinggalnya di Madinah, tetapi beliau bermukim di Baghdad. Dan majelis-majelis ilmu yang ada di sana membuat imam Syafi’i terpesona karena Ibukota Baghdad kala itu merupakan sentralnya ilmu pengetahuan dan di dalamnya terdapat para ulama, ahli bahasa, perpustakaan-perpustakaan. Maka beliau merasa tamak untuk mencari ilmu dan mendekati para ulama yang ada di sana untuk mengambil fikih madrasah ahlu ra’yi melalui bimbingan dan ajaran imam Muhammad Al-hasan.[23]

 

2). Rihlah Kedua

Imam Syafi’i tiba di kota Baghdad untuk yang kedua kalinya pada tahun 195 H. Ketika itu, beliau tiba disana dengan membawa metode fiqih yang belum pernah ada sebelumnya. Beliau tidak hanya melihat kepada masalah-masalh furu’ untuk diperinci hukum-hukumnya saja atau masalah-masalah juz’iyyah (parsial) untuk beliau fatwakan. Akan tetapi, beliau banyak membawa banyak kaidah-kaidah kulliyah, pokok dari hal-hal yang pokok dan mengikat masalah-masalah juz’i.  Jika demikian, berarrti beliau datang ke kota Baghdad dengan membawa fiqih sebagai ilmu yang bersifat menyeluruh, dan bukan hanya cabng-cabang saja, juga kaidah-kadiah kulliyah, bukan fatwa dan persoalan-persoalan yang khusus. Itu semua disaksikan oleh kota Baghdad ada pada diri beliau.

Para Ulama dan pelajar ilmu fiqih berbondong-bondong mendatangi beliau unutk mempelajari metode fiqih yang baru itu. Beliau dicari oleh para Ahli Hadits dan Ahli Ray’i  secara bersamaan. Kedatangan beliau ini, para perawi menyebutkan bahwa untuk pertam kalinya beliau menulis kitab Ar-Risalah. Di dalamnya beliau meletakkan asas-asas untuk ilmu Ushul Fiqih.

Disebutkan dalam kitab Manqib Imam Asy-Sayfi’i  karya Ar-Razi telah diriwayatkan bahwasannya Abdurrahman bin Mahdi meminta kepada Syafi’i yang ketika itu masih muda untuk menuliskan sebuah kitab untuknya yangi didalamnya menyebutkan syarat-syarat pengambilan dalil dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, Qiyas, penjelasan nasikh dan masukh serta urutan-urutan masalah yang umum dan yang khusus. Maka Imam Syafi’i pun menulis kitab Ar-Risalah  dan mengerimkannya  kepada Abudurrahman bin Mahdi. Setelah Abdurrahman bin Mahdi membaca kita tersebut, beliau berkomentar, “Saya tidak menyangka kalau Allah telah menciptakan makhluk seperti lelaki ini (Imam Syafi’i).[24]

Kemudian Ar-Razi berkata, “Ketahuilah bahwa Imam Syafi’i mengarang kitab Ar-Risalah sewaktu beliau berada di Baghdad. Setelah beliau kembali ke Mesir. Beliau mengulangi penulisan kitab Ar-Risalah, sedangkan pada masing-masing kitab yang telah beliau tulis terdapat ilmu yang banyak.”

Dengan demikian, berarti Ima Syafi’i telah menulis kitab Ar-Risalah ketika beliau masih berada di Baghdad. Sebagaimana juga yang disebutkan di dalam Tarikh Al-Bagdadi. Akan teapi, inti dari apa yang telah kami nukilkan dari Ar-Razi disebutkan bahwa Ar-Razi meneybtukan bahwa beliau masih muda ketika Ibnu Mahdi memintanya utuk menulis kitab Ar-Risalah. Padahal, kedatangannya waktu itu beliau sudah tua, berumur empah puluh lia tahun, kecuali jika pad ausia seperti ini kita menganggapnya seorang pemuda. Dan seperti itu pula yang di pahami oleh sebagian Manusia. Hal itu mengandung kemungkinan bahwa beliau mengarang kitab Ar-Risalah atas ermintaan Imam Ibnu Mahdi ketika di Makkah, lalu mengirimkan kitab tersebut kepada imam Ibnu Mahdi. Ketika beliau di Irak, beliau menjadi terkenal karenanya.

Imam Syafi’i mulai menyebarkan metode baru yang di buatnya tersebut di Irak. Beliau juga berdebat berdasarkan asasnya serta mengkritisi permasalahn-permasalahn ilmu berdasarkan dasar-dasarnya, juga mengarang kitab, dan menyebar tulisan-tulisan, serta mencetak para tokoh dalam ilmu fiqih.[25]

Dalam kunjungannya tersebut, beliau tinggal di sana selama dua puluh tahun. Setelah itu beliau sempat pergi dan kembali lagi ke negeri tersebut pada tahun 198 H dan tingal di sana dalam beberapa bulan.[26]

E. Di Mesir

Kemudain beliau berniat untuk pergi ke Mesir, lalu beliau berangkat ke sana dan sampai di sana pada tahun 199 H. Beliau memperpendek masa tinggal beliau di Baghdad pada kunjungan terakhirnya ini dan tidak tinggal lama di sana. Padahal Baghdad merupkan tempat berkumpulnya para ulama. Terlebih, di sana beliau telah memliki banyak murid dan ilmu beliau sudah tersebar di setiap penjurunya, sehingga memancar di semua ufuk.

 Pada awal masa kekhalifahan Al-Makmun, datanglah beliau dan hingga di sana Al-Makmun mengetahui akan kapasitas seorang Imam Syafi’i. Diriwayatkan bahwa Al-Makmun pernah menawarkan kepada Imam Syafi’i  menjadi hakim, namun Imam Syafi’i menolak dengan suatu alasan. Hal ini selaras dengan pola pemikiran dan silsilah beliau.

Imam Syafi’i tidak merasa tenang tinggal di kota Baghdad. Ia harus segera pindah dari kota tersebut. Beliau tidak mendapatkan tempat hijrah dan keleluasaan  kecuali Mesir, sebab penguasanya adalah seorang yang berkebangsaan Quraisy, dari bani Hasyim dari keturunan Al-Abbas.

Beliau mengabiskan sisa hidupnya untuk mengabdi di Mesir selama empat tahun lamanya. Beliau memperoleh kecukupan  dan kemenangan dengan tersebarnya ilmu, pendapat-pndapat, dan fiqih beliau, hingga para penduduk Mesir memberinya gelar Hakim Syari’at.Beliau mendirikan mengorisinilkan madzhab barunya yang sebelumnya di Baghadad, Irak itu Qaul Qadim dan di Mesir menuliskan madzhab barunya (Qaul Jadid). Beliau hidup disana hingga akhir hayatnya pada tahun 204 H dikarenakan sakit yang berkelanjutan di pencernaanya.[27]

2.4 Pernak-Pernik Kehidupan Imam Asy-Syafi’i

A. Bertemu Iblis

Pada suatu hari, ketika Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i sedang duduk mengajarkan tentang ilmu fiqih kepada para sahabatnya, tiba-tiba pemimpin penghuni neraka, iblis—laknatullahi ‘alaihi—ikut duduk bersama murid-muridnya dalam wujud seorang laki-laki seperti mereka.

Dalam majelis itu iblis bertanya, “Apa pendapat Anda tentang Zat yang telah menciptakanku sebagaimana yang aku pilih sendiri dan memfungsikanku dalam hal yang aku pilih juga. Lalu setelah itu, jika Dia menghendaki, Dia akan memasukkan aku ke dalam surga dan jika menghendaki juga, Dia bisa memasukanku ke dalam neraka. Apakah dalam hal itu Dia telah berbuat adil atau zalim?”

Dengan cahaya dari Allah, Imam Syafi’i segera mengenali bahwa orang yang bertanya adalah iblis, beliau menjawab, “Wahai kamu, jika Dia menciptakanmu sebagaimana yang kamu mau, berarti Dia telah menzalimimu, namun jika Dia menciptakan kamu sebagaimana keinginan-Nya sendiri, maka Dia tidak ditanya tentang apa yang Dia lakukan.”

Lalu iblis terlaknat tersebut menjawab, “Wahai Syafi’i, demi Allah, dengan pertanyaanku ini, aku telah mengeluarkan tujuh puluh ribu orang dari tempat peribadahan.” Kemudian iblis itu pun menghilang sehingga lenyap dari pandangan.[28]

B. Sang Pembela Sunnah

Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.

Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi’i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya.” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi’i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.” Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.[29]

C. Tiga hal yang Bermanfaat

Suatu hari Imam Syafi'i berkunjung kerumah Imam Ahmad bin Hambal. Imam Ahmad mempunyai seorang putri yang shalihah, kalau malam beribadah, siang berpuasa dan menyukai kisah orang-orang pilihan. Putri beliau ini ingin sekali melihat lmam Syafi'i secara langsung sebab sang ayah sangat menghormatinya. Ketika Imam Syafi'i berkunjung kerumah mereka, sang putri merasa sangat senang dan berharap bisa melihat apa saja yang di kerjakan imam Syafi'i serta mendengar ucapan-ucapannya. Setelah selesai makan malam bersama, Imam Ahmad menuju tempat sholat untuk melakukan sholat dan dzikir, Imam Syafi'i tiduran terlentang, sedangkan sang putri selalu mengawasi Imam Syafi'i sampai fajar.

Di pagi hari, sang putri berkata kepada ayahnya, “wahai ayahku... Apakah benar dia ini Imam Syafi'i yang engkau ceritakan padaku dulu ?”

Imam Ahmad, “benar anakku ..”

Putri, “aku mendengar bahwa engkau menghormati Imam Syafi'i, tapi apa yang aku lihat tadi malam dia...tidak sholat, tidak dzikir tidak pula wirid ? dan aku juga melihat ada 3 hal yg aneh.”

Imam Ahmad, “apa saja 3 hal itu, wahai annaku?”

Putri, “ ketika kita sajikan makanan kepada Imam Syafi'i, dia makan banyak sekali dan ini berbeda dengan yang ku dengar. Ketika masuk kamar, dia tidak beribadah sholat malam. Dan ketika sholat subuh bersama kita, dia sholat tanpa wudlu.”

Ketika agak siang dan mereka berbincang-bincang, Imam Ahmad berkata kepada Imam Syafi'i tentang apa yang dilihat oleh putrinya, lalu Imam Syafi'i berkata, “Wahai Aba Muhammad, aku memang semalam banyak makan karena aku tahu bahwa makananmu adalah halal dan engkau adalah orang mulia sedangkan makan orang mulia adalah obat, kalau makanan orang bakhil adalah penyakit, jadi, aku makan bukan untuk kenyang tapi untuk berobat dengan makananmu.

Adapun semalam aku tidak sholat malam, hal itu dikarenakan ketika aku melatakkan kepalaku untuk tidur, aku melihat seolah-olah Al-Qur'an dan Hadits berada di depanku, kemudian Allah membukakan kepadaku tujuh puluh dua masalah ilmu fiqih yang ku susun untuk kemaslahatan muslimin, maka memikirkan ilmu inilah yang menghalangi antara diriku dan sholat malam.

Adapun ketika sholat subuh bersama kalian aku tidak wudhlu, maka demi Allah tidaklah kedua mataku tertidur hingga aku tidak butuh memperbaharui wudhlu. Semalam suntuk aku terjaga, jadi aku sholat subuh bersama kalian dengan wudhu sholat Isya' .” Kemudian Imam Syafi'i berpamitan dan pulang.

Imam Ahamd berkata kepada putrinya, “yang di kerjakan oleh oleh Imam Syafi'i semalam dalam keadaan tiduran, lebih utama daripada apa yang kukerjakan sambil sholat malam.”[30]

D. Mimpi Muhammad bin Hasan

Muhammad bin Hasan Al-Balkhi bercerita, “ Dalam suatu malam aku tidur dan bermimpin bertemu Rasulullah, maka aku berkata, “Bagaimana menurut anda dengan pendapat Imam Malik dan para Ulama di Irak ?”

Rasulullah bersabda, ‘Tidak sesuai Sunnahku kecuali yang sesuai dgan Sunnaku.’

Aku bertanya lagi, ‘bagaimana menurut anda dengan pendapat Abu Hanifah ?’

Lagi-lagi Rasulullah menjawab, ‘Tidak termasuk Sunnahku kecuali yang sesuai Sunnahku.’

Dan aku bertanya lagi, ‘Bagaimana menurut anda dnegan pendapat Asy-Syafi’i ?’

Beliau menjawab, ‘Tidak termasuk Sunnahku kecuali yang sesuai dengan Sunnahku, akan tetapi dia meluruskan para pelaku ahlul bid’ah.[31]

E. Tipu Daya Seorang Wanita

Muhammad bin Idris berkata, “Ada seseorang laki-laki yang menikah untuk kedua kalinya dengan seorang prempuan Arab, sedangkan ia telah memiliki seorang istri. Suatu ketika, istri barunya tersebut lewat di depan pintu rumah istri yang lama, lalu istri yang baru bersenandung :

“Tidaklah sama antara dua buah kaki; yang satu sehat sedangkan yang satunya sudah termakan waktu sehingga lumpuh.’

Beberapa hari kemudin, si istri muda itu lewat lagi di depan rumah istri tua dan berucap

‘Tidaklah sama anatara dua baju; baju yang satu telah lusuh, sedangkan baju lainnya baru di pegang oleh pedagang.’

Kemudian si istri tua keluar dari dalam rumah lalu berkata :

Pindahkanlah hatimu sesukamu.

Tidaklah kecintaan itu diberikan kecuali kepada kisah pertama.

Berapa banyak rumah di muka bumi ini yang di tinggali oleh seorang pemuda

Akan tetapi yang selamanya menjadi kecintaannya adalah rumah yang pertama.[32]

 

 

F. Dalil Sang Pencipta

Pada suatu dhuha, ada sorang lelaki yang bertanya kepada Imam Asy-Syafi’i, “Wahai Abu Abdullah, apa dalil anda tentang keberadaan sang pencipta ?”

Imam Syaf’i menjawab, “Daun pohon murbei[33].”

Laki-laki itu bertanya, “Apa yang anda maksudkan ?”

Imam Syafi’i berkata, “Rasa, warna, bau, dan karakternya satu. Akan tetapi, ketika dimakan ulat sutra, maka ulat sutra tersebut megeluarkan sutera. Ketika dimakan lebah, maka yang dia keluarkan adalah madu. Ketika dimakan domba dan dia akan tumbuh besar, maka ia mengeluarkan susu, dan ketika di maka oleh Antelop[34] dan menjadi nutrisinya, lalu muncul bau Kesturi. Maka siapakah yang telah menjadikan berbagai macam produksi ini, padahal makanannya sama ? Dia lah Allah.”[35]

G. Istri dan Anak Imam Syafi’i

Istri Imam Syafi’i radliyallahu ‘anhu adalah Hamidah binti Nafi’ bin Abasah bin bin Amr bin Ustman bin Affan dan diantara puteranya dari hasil pernikahan dengannya adalah Abu Utsman Muhammad bin Muhammad bin Idris dan ia adalah putera tertua yang menjadi penghulu di Madinah. Beliau juga memilik putera yang lain yang diberi nama Al-Hasan bin Muhammad bin Idris yang meninggal saat masih kecil dari budak yang dijadikan istri. Imam Syafi’i juga memiliki istri yang berkebangsaan Utsmaniyah dan memiliki 2 orang puteri yaitu Fatimah dan Zainab[36]

2.5 Mereka Berkata tentang Syafi’i

Begitulah keadaan para Imam Ahlus Sunnah, mereka menapaki kehidupan ini dengan menempatkan ridha Allah di hadapan mata mereka, meski harus dibenci oleh manusia. Namun keridhaan Allah akan mendatangkan berkah dan manfaat yang banyak. Imam Asy-Syafi`i yang berjalan dengan lurus di jalan-Nya, menuai pujian dan sanjungan dari orang-orang yang utama. Karena keutamaan hanyalah diketahui oleh orang-orang yang punya keutamaan pula.

Ø  Qutaibah bin Sa`id berkata, “Asy-Syafi`i adalah seorang Imam.” Beliau juga berkata, “Imam Ats-Tsauri wafat maka hilanglah wara’, Imam Asy-Syafi`i wafat maka matilah Sunnah dan apa bila Imam Ahmad bin Hambal wafat maka nampaklah kebid`ahan.”

Ø  Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Asy-Syafi`i adalah manusia yang paling fasih di zamannya.”

Ø  Ishaq bin Rahawaih berkata, “Tidak ada seorangpun yang berbicara dengan pendapatnya kemudian beliau menyebutkan Ats-Tsauri, Al-Auzai, Malik, dan Abu Hanifah, melainkan Imam Asy-Syafi`i adalah yang paling besar ittiba`nya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, dan paling sedikit kesalahannya.”

Ø  Abu Daud As-Sijistani berkata, “Aku tidak mengetahui pada Asy-Syafi`i satu ucapanpun yang salah.”

Ø  Ibrahim bin Abdul Thalib Al-Hafidz berkata, “Aku bertanya kepada Abu Qudamah As-Sarkhasi tentang Asy-Syafi`i, Ahmad, Abu Ubaid, dan Ibnu Ruhawaih. Maka ia berkata, “Asy-Syafi`i adalah yang paling faqih di antara mereka.”

Ø  Abu Ubaid berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih fasih, berakal, dan wara melebih Imam Sayfi’i.”

Ø  Yahya bin Ma’in berkata, “Syafi’i adalah seorang yang sangat jujur. Seandainya dusta di perbolehkan tentulah kewibawaannya mencegah untuk berbuat dusta.”

Ø  Ibnu Abi Hatim berkata, “Imam Sayfi’i adalah orang yang badannya faham fiqih dan lisannya sangat jujur.”

Ø  Abu Zur’ah berkata, “Pada diri Imam Sayfi’i tiadak hadits yang keliru.”

Ø  Abu Tsaur berkata, “ Aku tidak pernah melihat orang seperti Imam Syafi’i dan tidak pernah mendengar pendapat seperti pendaptnya.”

Ø  Daud bin Ali Azh-Zhahiri berkata, “Syafi’i memiliki keutamaan-keutamaan yang tidak terkumpul pada selainnya berupa kemuliaan nasab, kelurusan agama, dan aqidah; kedermawanan; pengetahuan tentang keshaihan hadits dan kecacatannya; nasikh dan masukhnya; hafal Al-Qur’an, As-Sunnah, dan perjalan hidup para khalifah; memiliki gaya penulisan yang baik, dan memiliki sahabat-sahabat dan murid yang hebat, seperti Ahmad bin Hambal di dalam kezuhudan, kewa’an, dan penegakkannya dalam sunnah.”[37]

2.6 Syair dan Perkataan Sang Imam

Banyak sekali perkataan-perkataan beliau yang ditulis oleh beliau ataupun oleh ulama-ulama yang lain dan disini kami mangambil sedikit dari perkataannya, di antaranya ialah:

Ø  “Ilmu itu tidaklah indah kecuali dengan tiga perkara, yaitu: takwa kepada Allah, sesuai dengan sunnah, dan rasa takut.”

Ø  “Apabila kalian menjumpai dalam kitabku hal yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berpendapatlah kalian dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkan apa yang aku katakan.” (Dalam riwayat yang lain, “Maka ikutilah sunnah tersebut, dan janganlah kalian hiraukan pendapat seorang pun.”)

Ø  “Setiap permasalahan yang berkenaan dengannya ada hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menurut para ahli periwayatan (hadits), dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku menarik kembali perkataanku, baik ketika aku masih hidup maupun setelah aku mati.”

Ø  Beliau berkata dalam bait syairnya:

Hakikat seorang yang faqih (paham agama) itu dengan perbuatannya

Bukan dengan ucapan dan kata-katanya

Seorang pemimpin adalah diukur dengan akhlaknya

Bukan dengan kaum dan jumlah masanya

Demikian pula orang yang kaya itu kaya dengan keadaan jiwanya

Bukan kaya dengan kekuasaan dan hartanya

Ø  Pesan Imam Syafi’i    

“Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling banyak benarnya.”

2.7 Metode Imam Syafi’i dalam Madzhab-nya

Imam Syafi'i tidak sekedar mendasarkan sunnah pada Al-Qur'an, tetapi juga berupaya meletakkan asumsi dasar bahwa sunnah adalah bagian organik dalam struktur Al-Qur'an ditinjau dari pengertian semantiknya. Karena Al-Qur'an dan Sunnah menjadi struktur organik semantik, maka Imam Syafi’i pun dapat membangun Ijma' atas dasar struktur tersebut hingga menjadi teks tasyri' yang memperleh signifikasinya dari pengertian teks yang tersusun dari Al-Qur'an dan Sunnah. Sumber ke empat dalam fiqih Imam Syafi'i adalah Qiyas yang juga diambil dari teks yang tersusun dari ke tiga dasar sebelumnya.

Syafi'i meletakkan Sunnah sejajar dengan Al-Qur'an dalam hal sebagai hujjah karena sunnah juga berasal dari wahyu. Syafi'i tidak menyamakan Al-Qur'an dan Sunnah dalam segala aspek, menurutnya perbedaannya paling tidak bahwa Al-Qur'an mutawatir dan merupakan ibadah bagi yang membacanya sedangkan kebanyakan Sunnah tidak mutawatir juga membacanya tidak dinilai pahala. Kedua, Al-Qur'an adalah kalam Allah, sedangkan Sunnah adalah perkataan Nabi Muhammad. Syafi'i juga menjelaskan bahwa sSnnah tidak semartabat dengan Al-Qur'an dalam masalah aqidah.

A.    Al Qur'an

Syafi'i tidak memberikan batasan definitif bagi Al-Qur'an, berdasarkan berbagai uraiannya, para pengikutnyalah yang memberikan definisi terhadap Al-Qur'an. Misalnya definisi yang diungkapkan Taj Al Din Al Subki, bahwa Al-Qur'an adalah lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai mu'jizat dan membacanya merupakan ibadah.

Menurut Syafi'i Al-Qur'an itu makna dan lafdz. Seluruh Al-Qur'an terdiri atas bahasa Arab, tidak satu katapun di dalamnya yang bukan bahasa Arab. Maka sejalan dengan itu ia mengatakan bahwa setiap umat Islam diharuskan mempelajari bahasa Arab sedapat mungkin (Mabalagahu juhduh) sehingga ia dapat mengucapkan syahadat, membaca Al-Qur'an, dan mengucapkan dzikir. Tuntutan itu merupakan fardhu ‘ain yang berlaku secara umum, sedangkan penguasaan bahasa Arab secara mendalam diwajibkan secara terbatas (fardhu kifayah) atas para ulama'. Syafi'i menekankan pentingnya penguasaan bahasa Arab karena tidak mungkin bisa memahami kandungan Al-Qur'an tanpa penguasaan terhadap bahasa Arab.[38]

B.     Sunnah

Meskipun Syafi'i tidak mengemukakan rumusan dalam bentuk definisi dan batasan Sunnah, dapat diketahui dengan jelas sunnah menurut Syafi'i yaitu perkataan, perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada Nabi Muhammad. Secara umum, batasan seperti ini diterima oleh para ulama' yang datang kemudian. Seorang pembaca kitab-kitab Imam Syafi'i hampir dapat memastikan bahwa penegakkan Sunnah sebagai sumber hukum merupakan obsesi agenda pemikirannya, bahkan yang paling asasi. Karena itu kita tidak boleh lupa dengan signifikasi historis dari pemberian gelar Nashir Hadits kepadanya.

Syafi'i menegaskan bahwa Sunnah merupakan hujjah yang wajib diikuti sama halnya dengan Al-Qur'an. Untuk mendukungnya dia mengajukan beberapa dalil, baik dalil naqli maupun dalil aqli. Sejalan dengan pandangan tentang kokohnya kedudukan sunnah, Syafi'i menegaskan bila telah ada hadits yang shohih (tsabit) dari Nabi Muhammad, maka dalil dalil berupa perkataan orang lain tidak diperlukan lagi. Jadi bila seseorang telah menemukan hadits shahih, ia tidak lagi mempunyai pilihan kecuali menerima dan dan mengikutinya. Syafi'i mengatakan “Tidak benar, kalau sesuatu (dalam hal Sunnah) suatu saat dianggap sebagai hujjah tetapi pada kali lainnya tidak.”

Tentang hubungan antara Sunnah dengan Al-Qur'an, Syafi'i mengemukakan bahwa fungsi Sunnah sebagai berikut:

1. Sebagai penguat dalil dalil dalam Al-Qur'an

2. Sebagai penjelas dari ayat ayat Al-Qur'an yang masih global (mujmal)

3. Sebagai tambahan; artinya mengatur hukum yang belum diatur dalam Al-Qur'an

Bahwa sunnah tidak dapat menaskh Al-Qur’an. Fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an hanyalah mengikuti apa yang diturunkan sebagai naskh,dan menafsirkan apa yang diturunkan secara global (mujmal) Dan firman Allah, “Tidak ada sepatutnya bagiku untuk mengantinya dari diriku sendiri” [QS: Yunus : 15] merupakan penjelasan dari apa yang telah dikemukakan, bahwa Al-Qur’an kitab hanya bias dinaskhkan oleh Al-Qur’an. Allah mengawaliturunnya kewajiban, maka Dialah yang menghilangkan apa yang Ia kehendaki. Hal itu tidak selayaknya dilakukan oleh siapapun diantara makhluk-Nya.

1). Syarat syarat penerimaan sunnah

Syafi'i membagi hadits menjadi dua, hadits mutawatir dan khadits ahad. Ia memandang hadits mutawatir itu pasti, sehingga hadits tersebut mutlak harus diterima sebagai dalil. Akan tetapi hadits ahad hanya wajib diamalkan apabila hadits tersebut shohih. Pada pokoknya, persyaratan yang ditetapkan oleh Syafi'i agar suatu hadits dapat diamalkan sama dengan yang dikemukakan oleh para ahli hadits dan ahli ushul fiqh pada masa kemudian, yakni menyangkut tsiqoh dan dhobithyang harus terpenuhi pada setiap perawi dan kesinambungan sanad yang diriwayatkannya serta tidak adanya cacat atau kelainan dalam hadits tersebut.[39]

C.    Ijma’

"Ijma' adalah hujjah atas segala sesuatu karena Ijma' itu tidak mungkin salah"-Syafi'i. Syafi'i menyepakati bahwa Ijma' merupakan hujjah agama. Ijma' menurut Syafi'i adalah kesepakatan para ulama' pada suatu masa tentang hukum syara'. Kedudukan Ijma' sebagai hujjah adalah setelah Al-Qur'an dan Sunnah. Sehingga Ijma' diakhirkan dari pada Al-Qur'an dan Sunnah. Oleh karena itu, Ijma' yang menyelisihi Al-Qur'an dan Sunnah bukan merupakan hujjah dan dalam kenyataannya tidak mungkin ada Ijma' yang menyelisihi Al-Qur'an dan Sunnah. Apabila terjadi suatu peristiwa, maka peristiwa itu dikemukakan kepada semua Mujtahid diwaktu terjadinya. Para Mujtahid itu sepakat memutuskan/menentukan hukumnya.

Ijma' umat terbagi menjadi dua:

1.    Ijma' Qauli, yaitu suatu Ijma' di mana para ulama' mengeluarkan pendapatnya dengan lisan ataupun tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya.

2.    Ijma' Sukuti, yaitu suatu Ijma' di mana para ulama' diam, tidak mengatakan pendapatnya. Diam di sini dianggap menyetujui.

Menurut Imam Hanafi kedua macam Ijma' tersebut adalah Ijma' yang sebenarnya. Menurut Imam Syafi'i hanya ijma' yang pertama saja yang disebut Ijma' yang sebenarnya.

Selain Ijma' umat tersebut masih ada macam-macam Ijma' yang lain, yaitu:

Ø  Ijma' sahabat

Ø  Ijma' Khalifah yang empat

Ø  Ijma' Abu Bakar dan Umar

Ø  Ijma' ulama Madinah

Ø  Ijma' ulama Kufah dan Basrah

Ø  Ijma' itrah (golongan Syiah)

 

1). Sandaran Ijma’

Ijma' tidak dipandang sah, kecuali apabila ada sandaran, sebab Ijma' bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Sandaran tersebut dapat berupa dalil qath'i yaitu Qur'an dan Hadits mutawatir, juga dapat berupa dalil zhanni yaitu Hadits ahad dan Qiyas.Rumusan Syafi'i berbeda dengan rumusan Imam Malik yang menganggap kesepakatan penduduk Madinah sebagai Ijma' dan rumusan madzhab Zahiri yang membatasinya hanya pada kesepakatan para sahabat. Ijma' yang mula-mula mendapat i'tibar dari Imam Syafi'i ialah ijma sahabat dan ia menerima Ijma' sebagai hujjah di tempat tak ada nash. Kemudian yang perlu di ingatkan bahwa Imam Syafi'i tidak menerima Ijma' sukuti.

Sedangkan menurut Dr. Muh Zuhri yang dimaksud Ijma menurut Imam Syafi’ri adalah kesepakatan seluruh ulama dalam kurun waktu yang sama, disana tidak boleh ada seorang pun menyatakan perselisihan pendapatnya dalam kasus yang dicarikan kesepakatannya. Teori Ijma’ Imam Syafi’i tentunya sulit diwujudkan kalau hendak dikatakan tidak mungkin. Namun tampaknya ide Ijma’ sebagai sumber hukum ini merupakan upaya antisipasif agar masyarakat Islam tetap terpelihara dalam persatuan. Ulama fiqih termasuk Imam Syafi’i melihat pertikaian politik dalam pemerintahan Islam yang melibatkan semua masyarakat Islam sudah sampai pada titik yang membahayakan. Perpecahan ummat yang disebabkan perbedaan inilah yang dirasa membahayakan persatuan. Lembaga Ijma’ dimaksudkan untuk menyatukan pandangan di kalangan para ulama. Dengan kesatuan ulama maka akan terwujudlah persatuan ummat islam.[40]

D.    Qiyas

Imam Syafi'i adalah mujtahid yang mula-mula menguraikan dasar Qiyas. Para fuqaha sebelumnya membahas tentang Ar-Ra'yu tanpa menentukan batas-batasnya dan dasar-dasar penggunaannya, tanpa menentukan norma-norma Ra'yu yang shahih dan yang tidak shahih.

Imam Syafi'i membuat kaedah kaedah yang harus dipegangi dalam menentukan mana ra'yu yang shahih dan yang tidak shahih. Ia membuat kriteria bagi istinbath-istinbath yang salah. Ia menentukan batas-batas Qiyas, martabat-martabatnya, dan kekutan hukum yang ditetapkan dengan Qiyas. Juga diterangkan syarat-syarat yang harus sempurna pada Qiyas. Sesudah itu diterangkan pula perbedaan antara Qiyas dengan macam-macam istinbath yang lain yang dipandang, kecuali Qiyas. Dengan demikian Imam Syafi'i adalah orang pertama dalam menerangkan hakekat Qiyas. Imam Syafi'i sendiri tidak membuat ta'rif Qiyas. Akan tetapi penjelasan penjelasannya, contoh-contoh, bagian-bagian dan syarat-syarat menjelaskan hakekat Qiyas, yang kemudian dibuat ta'rifnya oleh ulama' ushul.

Biarpun ulama' ushul berbeda pendapat dalam merumuskan definisi Qiyas, namun secara implisit mereka mempunyai kesepakatan terhadap rukun rukun Qiyas. Hal ini karena definisi yang berbeda tersebut tetap menekankan pada empat unsur pembentuk Qiyas, yaitu kasus yang ditetapkan oleh nash (ashl), kasus yang baru akan ditentukan hukumnya (far'u), sebab hkum ('illat), dan hukum yang telah ditentukan oleh nash (hukm ashl). Ulama' ushul kemudian memberikan syarat syarat terhadap masing masing unsur Qiyas tersebut.[41]

2.8 Pendapat dan Perinsip Imam Syafi’i

Prinsip keyakinan (Manhaj)[42] Al-Imam Asy-Syafi’i sesuai dengan prinsip keyakinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Untuk lebih jelasnya, simaklah keterangan berikut ini:

A.  Pengagungan Al-Imam Asy-Syafi’i terhadap Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Al-Imam Asy-Syafi’i adalah seorang ulama yang selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta berpegang teguh dengan keduanya. Cukuplah karya monumental beliau, kitab Al-Umm (terkhusus pada Kitab Jima’ul Ilmi dan Kitab Ibthalul Istihsan) dan juga kitab Ar-Risalah menjadi bukti atas semua itu. Demikian pula beliau melarang dari taklid buta. Sebagaimana dalam wasiat beliau berikut ini,

“Jika kalian mendapati sesuatu pada karya tulisku yang menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ambillah Sunnah RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dan tinggalkan perkataanku.”

“Jika apa yang aku katakan menyelisihi hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lah yang lebih utama, dan jangan kalian taklid kepadaku.”

Al-Imam Al-Muzani rahimahullahu (salah seorang murid senior Al-Imam Asy-Syafi’i) di awal kitab Mukhtashar-nya berkata, “Aku ringkaskan kitab ini dari ilmu Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu serta dari kandungan ucapannya untuk memudahkan siapa saja yang menghendakinya, seiring dengan adanya peringatan dari beliau agar tidak bertaklid kepada beliau maupun kepada yang lainnya. Hal itu agar seseorang dapat melihat dengan jernih apa yang terbaik bagi agamanya dan lebih berhati-hati bagi dirinya.”

B.  Hadits ahad dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu

Menurut Al-Imam Asy-Syafi’i dan para Ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah lainnya, tak ada perbedaan antara hadits mutawatir dan hadits ahad dalam hal hujjah, selama derajatnya shahih. Bahkan dalam kitab Ar-Risalah, Al-Imam Asy-Syafi’i menjelaskan secara panjang lebar bahwa hadits ahad adalah hujjah dalam segenap sendi agama. Lebih dari itu beliau membantah orang-orang yang mengingkarinya dengan dalil-dalil yang sangat kuat. Sehingga patutlah bila beliau dijuluki Nashirul Hadits[43]

C.  Tauhid dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu

Al-Imam Asy- Syafi’i merupakan sosok yang kokoh tauhidnya. Sangat mendalam pengetahuannya tentang tauhid dan jenis-jenisnya, baik tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah maupun tauhid asma’ wash shifat. Bahkan kitab-kitab beliau merupakan contoh dari cerminan tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Di antaranya apa yang terdapat dalam mukadimah kitab Ar-Risalah berikut ini, “Segala puji hanya milik Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan sesuatu dengan Rabb mereka. Segala puji hanya milik Allah yang tidaklah mungkin satu nikmat dari nikmat-nikmat-Nya disyukuri melainkan dengan nikmat dari-Nya pula. Yang mengharuskan seseorang kala mensyukuri kenikmatan-Nya yang lampau untuk mensyukuri kenikmatan-Nya yang baru. Siapa pun tak akan mampu menyifati hakikat keagungan-Nya. Dia sebagaimana yang disifati oleh diri-Nya sendiri dan di atas apa yang disifati oleh para makhluk-Nya. Aku memuji-Nya dengan pujian yang selaras dengan kemuliaan wajah-Nya dan keperkasaan ketinggian-Nya. Aku memohon pertolongan dari-Nya, suatu pertolongan dari Dzat yang tidak ada daya dan upaya melainkan dari-Nya. Aku memohon petunjuk dari-Nya, Dzat yang dengan petunjuk-Nya tidak akan tersesat siapa pun yang ditunjuki-Nya. Aku pun memohon ampunan-Nya atas segala dosa yang telah lalu maupun yang akan datang, permohonan seorang hamba yang meyakini bahwa tiada yang berhak diibadahi melainkan Dia, seorang hamba yang mengetahui dengan pasti bahwa tiada yang dapat mengampuni dosanya dan menyelamatkannya dari dosa tersebut kecuali Dia. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia semata, dan aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya…”

Al-Imam Asy-Syafi’i sangat berupaya untuk menjaga kemurnian tauhid. Oleh karena itu, beliau sangat keras terhadap segala perbuatan yang dapat mengantarkan kepada syirik akbar, seperti mendirikan bangunan di atas kubur dan menjadikannya sebagai tempat ibadah, bersumpah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan sebagainya.

Penting untuk disebutkan pula bahwa prinsip Al-Imam Asy-Syafi’i dalam hal tauhid asma’ wash shifat sesuai dengan prinsip Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum serta menyelisihi prinsip kelompok Asy’ariyyah[44] ataupun Maturidiyyah.[45] Yaitu menetapkan semua nama dan sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Menetapkannya tanpa menyerupakan dengan sesuatu pun, dan mensucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa meniadakan (ta’thil) nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sebagaimana yang dikandung firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan lagi Maha melihat.” [QS: Asy-Syura: 11][46]

Jauh dari sikap membayangkan bagaimana hakikat sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala(takyif) dan jauh pula dari sikap memalingkan makna sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sebenarnya kepada makna yang tidak dimaukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya (tahrif). Demikianlah prinsip yang senantiasa ditanamkan Al-Imam Asy-Syafi’i kepada murid-muridnya.

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata, “Telah diriwayatkan dari Ar-Rabi’ dan yang lainnya, dari para pembesar murid-murid Asy-Syafi’i, apa yang menunjukkan bahwa ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut dimaknai sesuai dengan makna zhahirnya, tanpa dibayangkan bagaimana hakikat sifat tersebut (takyif), tanpa diserupakan dengan sifat makhluk-Nya (tasybih), tanpa ditiadakan (ta’thil), dan tanpa dipalingkan dari makna sebenarnya yang dimaukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam (tahrif).”

D.  Permasalahan iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu

Iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i mencakup ucapan, perbuatan, dan niat. Ia bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang dengan kemaksiatan. Adapun sikap beliau terhadap pelaku dosa besar yang meninggal dunia dalam keadaan belum bertaubat darinya, maka selaras dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dan menyelisihi prinsip ahlul bid’ah, dari kalangan Khawarij, Mu’tazilah, maupun Murji’ah. Yaitu tergantung kepada kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak untuk diampuni maka terampunilah dosanya, dan jika Allah Subhanahu wa Ta’alaberkehendak untuk diazab maka akan diazab terlebih dahulu dalam Neraka, namun tidak kekal di dalamnya.

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata, “Sesungguhnya kehendak para hamba tergantung kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidaklah mereka berkehendak kecuali atas kehendak Allah Rabb semesta alam. Manusia tidaklah menciptakan amal perbuatannya sendiri. Amal perbuatan mereka adalah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya takdir baik dan takdir buruk semuanya dari Allah ‘Azza wa jalla. Sesungguhnya azab kubur benar adanya, pertanyaan malaikat kepada penghuni kubur benar adanya, hari kebangkitan benar adanya, penghitungan amal di hari kiamat benar adanya, Al-Jannah dan An-Nar benar adanya, dan hal lainnya yang disebutkan dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta disampaikan melalui lisan para ulama di segenap negeri kaum muslimin (benar pula adanya).”

Ketika ditanya tentang dilihatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala (ru’yatullah) di hari kiamat, maka Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Demi Allah, jika Muhammad bin Idris tidak meyakini akan dilihatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, niscaya dia tidak akan beribadah kepada-Nya di dunia.”

E.  Penghormatan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Al-Imam Asy-Syafi’i sangat menghormati para sahabat Nabi. Hal ini sebagaimana tercermin dalam kata-kata beliau berikut ini, “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Al-Qur’an, Taurat, dan Injil. Keutamaan itu pun sungguh telah terukir melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu keutamaan yang belum pernah diraih oleh siapa pun setelah mereka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka dan menganugerahkan kepada mereka tempat tertinggi di sisi para shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Merekalah para penyampai ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita. Mereka pula para saksi atas turunnya wahyu kepada RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, mereka sangat mengetahui apa yang dimaukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait dengan hal-hal yang bersifat umum maupun khusus, serta yang bersifat keharusan maupun anjuran. Mereka mengetahui Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik yang kita ketahui ataupun yang tidak kita ketahui. Mereka di atas kita dalam hal ilmu, ijtihad, wara’, ketajaman berpikir dan menyimpulkan suatu permasalahan berdasarkan ilmu. Pendapat mereka lebih baik dan lebih utama bagi diri kita daripada pendapat kita sendiri. Wallahu a’lam.”

Demikian pula beliau sangat benci terhadap kaum Syi’ah Rafidhah yang menjadikan kebencian terhadap mayoritas para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamsebagai prinsip dalam beragama. Hal ini sebagaimana penuturan Yunus bin Abdul A’la, “Aku mendengar celaan yang dahsyat dari Asy-Syafi’i -jika menyebut Syi’ah Rafidhah seraya mengatakan, ‘Mereka adalah sejelek-jelek kelompok’.”

F.   Sikap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap kelompok-kelompok sesat

Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu berkata, “Adalah Asy-Syafi’i seorang yang bersikap keras terhadap ahlul ilhad[47] dan ahlul bid’ah. Beliau tampakkan kebencian dan pemboikotan tersebut kepada mereka.”

Al-Imam Al-Buwaithi rahimahullahu berkata, “Aku bertanya kepada Asy-Syafi’i, ‘Apakah aku boleh shalat di belakang seorang yang berakidah Syi’ah Rafidhah?’ Maka beliau menjawab, ‘Jangan shalat di belakang seorang yang berakidah Syi’ah Rafidhah, seorang yang berakidah Qadariyyah[48], dan seorang yang berakidah Murjiah[49]’.”

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata, “Tidaklah seorang sufi bisa menjadi sufi tulen hingga mempunyai empat karakter: pemalas, suka makan, suka tidur, dan selalu ingin tahu urusan orang lain.” [50]

 

2.9 Guru Imam Syafi’i

 

A. Beliau mengawali mengambil ilmu dari ulama-ulama yang berada di negerinya, di antara mereka adalah:

1. Muslim bin Khalid Az-Zanji mufti Makkah

2. Muhammad bin Syafi’ paman beliau sendiri

3. Abbas kakeknya Imam Asy-Syafi`i

4. Sufyan bin Uyainah

5. Fudhail bin Iyadl, serta beberapa ulama yang lain.

B. Demikian juga beliau mengambil ilmu dari ulama-ulama Madinah di antara mereka adalah:

1. Malik bin Anas

2. Ibrahim bin Abu Yahya Al Aslamy Al Madany

3.Abdul Aziz Ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far dan Ibrahim bin Sa’ad serta para ulama yang berada pada tingkatannya

C. Beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama negeri Yaman di antaranya;

1.Mutharrif bin Mazin

2.Hisyam bin Yusuf Al Qadhi, dan sejumlah ulama lainnya.

D. Dan di Baghdad beliau mengambil ilmu dari:

1.Muhammad bin Al Hasan, ulamanya bangsa Irak, beliau bermulazamah bersama ulama tersebut, dan mengambil darinya ilmu yang banyak.

2.Ismail bin Ulayah.

3.Abdulwahab Ats-Tsaqafy, serta yang lainnya.[51]

 

2.10 Murid Imam Syafi’i

Imam Syafi’i mempunyai beberapa murid-murid yang telah menukil madzhab fiqihnya di setiap fase dari tiga fase yang telah kita terangkan sebelumnya. Beliau memilki murid-murid yang mengambil ilmu fiqihnya di Makkah, juga muird- murid yang mengambil ilmu fiqihya pada saat kedatangannya yang kdua di Baghdad, serta murid-murid yang mengambil ilmu fiqihnya di Mesir.

Diantara muridnya ialah :

A.    Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan Imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin.

B.     Abu Bakar Al-Humaidi. Dia adalah seorang ahli fiqih sekaligus ahli hadits yang tsiqh lagi hafizh[52]. Wafat pada 219 H di Makkah. Beliau telah menyertai Imam Syafi’i ke Mesir, kemudian kembali lagi ke Makkah setelah meninggalnya Imam Syafi’i

C.     Abu Ishaq, Ibrahim bin Muhammad Al-‘Abbasi bin Utsman bin Syafi’i Al-Muttalibi. Beliau adalah seorang yang hafizh lagi tsiqah. Akan tetapi ia tidak menukil fiqih dari Imam Syafi’i. Abu Ishaq tumbuh di Makkah dan meninggal pada 237 H.

D.    Abu Bakar Muhammad bin Idris, Ibnu Abdil Barr berkata tentangnya, “ia telah menyertai Imam Syafi’i dan saya tidak tahu pada tahun berapa ia meninggal. Ia juga mengambil ilmu dari Imam Syaif’i ketika di Makkah.

E.     Abu Walid bin Abil Jarud. Beliau juga telah menyertai Imam Syafi’i menulis kitab-kitab beliau, memahami fiqih dari beliau, dan mengambil perkataan-perkataan beliau sebelum beliau pergi ke Baghdad.

Mereka semua adalah sebagian Ulama yang memahami fiqih dari beliau di Makkah. Mereka juga tercantum di dalam buku biografi sahabat-sahabat Imam Syafi’i[53]

2.11 Karya-karya Beliau

A.  Kitab Ar-Risalah

Salah satu karangannya adalah “Ar risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqih ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al-Quran dan As-Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”.

Thasy Kubri mengatakan di Miftahus Sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), adalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,”

Dalam kitab ini disusun oleh beliau secara sistematis, dimana didalamnya membahas tentang beberapa ketentuan yang nada di dalam dua nash, baik itu terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Hadits, masalah-masalah yang berkaitan dengan adanya Nasikh-Mansukh, syarat-syarat penerimaan sanad dari para perowi tunggal, masalah-masalah yang berkaitan dengan Ijma’, Ijtihad, Istihsan dan al-Qiyas. Kitab ini diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al-Murady.

B.  Kitab Al-Umm

Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya, ”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”pembahasan dalam kitab ini, terdiri dari masalah-masalah yang berkaitan ‘Ibadah, Muamalah, masalah pidana da Munakahat. Bahkan dalam kitab ini dijelaskan tentang adanya bantahan Muhammad bin Hasan al-Syaibaniy terhadap aliran Madinah dalam bentuk perselisihan pandangan antara Imam Abu Hanifah dengan Abi Laits. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa kitab Al-Umm ini, merupakan hasil dari penggabungan beberapa kitab dalam berbagai pandangan Mujtahid.

“Kebaikan ada pada lima hal; kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk selamat dari perkataan manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal yang bermanfaat bagimu”.

"Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling banyak benarnya.”

Beliau berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.”

Beliau berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi shalallahu a’laihi wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku.”

Beliau mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam maka ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.”

C.  Kitab “Ikhtilaf Malik Wa Syafi’I”

Yaitu kitab yang membahas masalah terjadinya ikhtilaf antara Ali dan Ibu Mas’ud dan antara Imam Syafi’I dengan Abu Hanifah.

D.  Madzhab Syafi'i

Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah Nashirussunnah (pembela sunnah),”

Muhammad bin Daud berkata, “Pada masa Imam Asy-Syafi`i, tidak pernah terdengar sedikitpun beliau bicara tentang hawa, tidak juga dinisbatkan kepadanya dan tidakdikenal darinya, bahkan beliau benci kepada Ahlil Kalam dan Ahlil Bid’ah.” Beliau bicara tentang Ahlil Bid’ah, seorang tokoh Jahmiyah, Ibrahim bin ‘Ulayyah, “Sesungguhnya Ibrahim bin ‘Ulayyah sesat.” Imam Asy-Syafi`i juga mengatakan, “Menurutku, hukuman ahlil kalam dipukul dengan pelepah pohon kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak keliling kampung seraya diteriaki, “Ini balasan orang yang meninggalkan kitab dan sunnah, dan beralih kepada ilmu kalam.”

Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah. Beliau tidak meyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk, juga tidak menyepadankan, tidak menghilangkannya dan juga tidak mentakwilnya. Tapi beliau mengatakan dalam masalah ini, bahwa Allah memiliki nama dan sifat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada umatnya. Tidak boleh bagi seorang pun untuk menolaknya, karena Al-Qur’an telah turun dengannya (nama dan sifat Allah) dan juga telah ada riwayat yang shahih tentang hal itu. Jika ada yang menyelisihi demikian setelah tegaknya hujjah padanya maka dia kafir. Adapun jika belum tegak hujjah, maka dia dimaafkan dengan bodohnya. Karena ilmu tentang Asma dan Sifat Allah tidak dapat digapai dengan akal, teori dan pikiran. “Kami menetapkan sifat-sifat Allah dan kami meniadakan penyerupaan darinya sebagaimana Allah meniadakan dari diri-Nya. Allah berfirman,

Beliau mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang diwariskan oleh para nabi, yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu beliau banyak diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan tersimpan rapi dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan beliau pelopor dalam menulis di bidang ilmu Ushul Fiqih, dengan karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam bidang fiqih, beliau menulis kitab Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya. Juga beliau menulis kitab Jima’ul Ilmi.[54]

E.  Al-Hujjah

Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’i.

Dalam masalah Al-Qur’an, beliau Imam Asy-Syafi`i mengatakan, “Al-Qur’an adalah Kalamullah, barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk maka dia telah kafir.”[55]

2.12 Qaul Qadim Qaul Jadid

Qaul Qadim dan Qaull Jadid merupakan produk hukum yang bernuansa sosisal-politik dan sosial-kultur adalah dua fatwa Imam Syafi’i yang dilakukan di dua daerah yang berbeda sosial-kultur dan sosial-politiknya yaitu :

A.    Qaul Qadim : dimana situasi Baghdad saat itu merupakan daerah yang sangat sederhana dan boleh dikatakan sangat terbelakang disbanding dengan daerah lain.

B.     Qaul Jaded : dimana daerah Mesir saat itu merupakan daerah Metropolis yang mengharuskan untuk berinteraksi dengan memodifikasi terhadap putusan-putusan atau fatwa-fatwa yang sudah pernah diputuskan, sehingga prinsip Maslahah menjadi pertimbangan yang sangat penting dalam setiap mengambil keputusan, sebab keputusan yang diambil dalam wujud Qaul Jadid merupakan pertimbangan terhadap Qaul Qadim. 

Secara umum bisa di katakan bahwa yang dianggap pendapat Madzhab adalah ‘Qaul Jadid’ seperti yang di katakan Imam Syafi’i, “tidak dibenarkan menganggap Qaul Qadim sebagai pendapat madzhab” , dan ini sesuai dengan Qoidah Ushuliyah, ‘Jika seorang mujtahid berpendapat, kemudian setelah itu dia berpendapat lain, maka yang kedua dianggap Ruju’/ralat bagi yang pertama.’

Tetapi Ulama Syafi’iyah merinci lebih jelas lagi :

1). Qaul Jadid yang harus di pakai, sedang Qaul Qadim harus ditinggalkan, kecuali beberapa masalah yang berkisar antara 14 sampai dengan 30 masalah.

2). Qaul Jadid tidak bisa dianggap pendapat madzhab kecuali dengan jelas Imam Syafi’i mengatakan bahwa dia sudah meralat Qaul Qadim. Sedang bilamana tidak ada penjelasan dari Imam Syafi’i, maka dianggap ada dua pendapat dalam madzhab.

3). Qaul Jadid secara mutlak dianggap sebagai pendapat madzhab.

Dan pendapat ketiga inilah yang lebih medekati kebenaran, mengingat ulama Syafi’iyyah setelah meneliti dengan seksama, menyimpulkan bahwa masalah-masalah yang tersebut dalam Qaul Qadim ternyata semuanya tersebut dalam Qaul Jadid, kalaupun ada ulama Syafi’iyyah yang memakai dan berfatwa dengan Qaul Qadim, pada hakikatnya beliau berijtihad dan ternyata sesuai dengan Qaul Qadim, seperti yang disampaikan Imam Nawawi( 676 H).

Sedangkan pendapat yang kedua, ditolak oleh mayoritas ulama, sebagaimana dikatakan Abu Ishaq Al-Syiroozi ( 476 H) dan Imam Nawawi, “Pendapat ini jelas salah, sebab antara Qaul Qadim dan Qaul Jadid seperti dua nash yang bertentangan, apabila tidak mungkin dipadukan, maka yang terakhir yang harus dipakai sedang yang pertama di buang.

Sementara itu ada yang membandingkan dengan madzhab Hanafi, yang bertentangan dengan madzhab Hanafi adalah dianggap sebagai pendapat madzhab bukan yang sejalan, sebab tidak mungkin Imam Syafi’i berbeda pendapat kecuali ada dalil yang lebih kuat, dan itu adalah pilihan Syekh Abu Hamid Al-Ashfarooiniy; Tapi menurut Al-Qoffal Al-Syasyi ( 365 H ) justru sebaliknya.[56]

2.13 Wafatnya Al-Imam Asy-Syafi’i

Al-Muzni mengkisahkan tentangnya, Aku berkunjung pada Imam Syafi'i saat beliau sedang sakit yang mengantarkan pada kematiannya, aku tanyakan padanya,

“Wahai Abu Abdillah, bagaimana kabarmu?”

Beliau mengangkat kepala lalu berkata,

“Kabarku yang akan segara meninggalkan dunia, dan berpisah dengan para sahabatku, bertemu dengan amal jelek yang aku perbuat, dan kepada Allah aku akan kembali. Sedang diriku tidak tahu kemana ruhku dibawa, apakah kesurga maka ku ucapkan selamat padanya atau ke nereka maka aku pun bersedih dengannya.”[57]

Kemudian beliau menangis tersedu-sedu, lalu berkata dalam bait syair, “Tatkala hatiku keras dan terasa sempit keyakinanku  Aku jadikan rasa harap pada Allah sebagai tanggaku Betapa besar dosa yang ku perbuat, namun ketika aku bandingkan Dengan ampunan Rabbku, sungguh ampunan -Nya lebih besar Senantiasa Engkau Maha Pengampun atas segala dosa Penyayang lagi mengampuni, menganugerahi serta memuliakan.”

Beliau meninggal di Mesir, tepatnya pada hari kamis, ada yang mengatakan, hari jum'at pada akhir bulan Rajab tahun 204 H, dengan usia lima puluh empat tahun. Begitu mulia kedudukannya dan semoga surga sebagai tempat kembalinya.

Berkata Rabi bin Sulaiman, “Aku melihat Imam Syafi'i setelah kematian beliau dalam mimpiku, aku pun bertanya padanya, “Wahai Abu Abdillah, apa yang diperbuat Allah Shubhanahu wa ta’alla denganmu? Dia menjawab, “Mendudukan diriku diatas kursi yang terbuat dari emas dan menaburkan disekelilingku permata yang halus.”[58]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Imam Syafi’i bernama lengkap Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi'i, nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada kakeknya Abdul Manaf. Imam Syafi'i lahir pada bulan Rajab pada tahun 150 H. di Gaza. Tahun kelahiran beliau tepat dengan tahun wafatnya imam Hanafi. Beliau berguru fikih pada beberapa ulama di Jazirah Arab, baik di Baghdad, Mesir, Kufah, dan Madinah.

Beliau banyak melahirkan murid-murid yang secara langsung menyebarkan mazhab Syafi’i di dunia ini seperti ar-Rabi' Ibn Sulaiman al-Marawi, 'Abdullah Ibn Zubair al-Hamidi. Abu Ibrahim, Yunus Ibn Abdul a'la as-Sadafi, Ahmad Ibn Sibti, Yahyah Ibn Wazir al-Misri, Harmalah Ibn Yahya Abdullah at-Tujaidi, Ahmad Ibn Hanbal, Hasan Ibn 'Ali al-Karabisi, Abu Saur Ibrahim Ibn Khalid Yamani al-Kalbi serta Hasan Ibn Ibrahim Ibn Muhammad as-Sahab az-Za'farani, Abu Ibrahim Ismail Ibn Yahya al-Muzani al-Misri atau dikenal dengan nama al-Muzani, dan Abu Ya'qub Yusuf Ibn Yahya al-Buwaiti.

Beliau Wafat di Mesir, tepatnya pada hari kamis, ada yang mengatakan, hari jum'at pada akhir bulan Rajab tahun 204 H, dengan usia lima puluh empat tahun. Begitu mulia kedudukannya dan semoga surga sebagai tempat kembalinya.

Secara singkat, metode Istinat Hukum Imam Syafi’i antara lain:

1.      Nash (Alquran dan sunnah);

2.      Ijmak;

3.      Pendapat para sahabat yang bersepakat;

4.      Pendapat para sahabat yang berselisih;

5.      Menggunakan Qiyas dan Takhyir apabila terjadi perbedaan pendapat (ikhtilaf).

Berdasarkan uraian contoh-contoh produk istinbath Imam Syafi’i, maka beliau dapat dikategorikan sebagai ulama yang fundamentalis, sebab Imam syafi’i selain sebagai ulama masa permulaan pertumbuhan dari ilmu Ushul Fiqh dan Fiqih, fatwa-fatwa beliau dapat dikatakan sangat keras. Namun begitu, bukan berarti pendapat-pendapat Imam Syafi’i terlalu kaku. Sebaliknya, pendapat Imam Syafi’i sangat fleksibel seperti yang dicontohkan beliau dalam Qaul Qadim dan Qaul Jadid.

Dalam pembahasan diatas maka dapat disimpulkan tentang  riwayat hidup Imam Syafi’i, guru-guru beliau, karya-karya beliau, murid-murid beliau,  cara ijtihad, dan juga disertai dengan pendapat-pendapatnya mengenai Qaul Qadim dan Qaul Jadid.

Yang menjadi sorotan terbesar bagi Imam Syafi’i adalah Qaul Qadim dan Qaul Qadidnya. Qaul Qadim adalah pendapat-pendapat imam Syafi’i ketika masih berada di Irak yang menggunakan ra’yu. Sedangkan Qaul Jadid adalah pendapat-pendapat Imam Syafi’i ketika sudah hijrah ke Mesir yaitu merevisi Qaul Qadimnya yang semula menggunakan ra’yu, kemudian digganti dengan pendapat-pendapat yang di dasarkan pada hadits.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahan

Muhammad Asy-Syak’ah. 2010. Islam bi laa Madzaahibi. Biarut. Dar Al-Nahdah Al-Arab’iyyah.

Depag RI. 2014. Ensiklopedia Islam. Jakarta. Depag

Aziz Asy-Syinawi, Abdul. 2016. Biogarfi Empat Imam Madzhab. Jakarta. Beirut Publishing.

Farid, Ahamd. 2006. 60 Biografi Ulama Salaf. Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.

Chalil, Moenawar. 1996. Biografi Serangkai Empat Imam Madzhab. Jakarta. Bulan Bintang.

Abdurrahman. 1993. Kodifikasi Hukum Islam. Jakarta. Rinekcita.

Abu Zaid Al-‘Ajmi, Abu Yazid. 2016. Aqidah Menurut Empat Madzhab. Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.

Jawad Mughniyah, Muhammad. 2000. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta. Lentera Basrimata.

Nurhikmah. 2014. Moderasi Imam Syafi’i Antara Ahlu Ra’yi dan Ahlul Hadits. Skripsi. Makassar: UIN Alauddin.

Oktaviani, Khoirunnisa. 2014. Biografi Imam Syafi’i. Makalah.

Asy-Asyurbasi, Ahmad. (Penterjemah). 2003. Al-Aimmah Al-Arba’ah. Jakarta. Pustaka Qalami.

Hanafiah, Muhammad. 2017. Perjalanan Imam Syafi’i di Negeri Seribu Malam. Kabarwashiliyah.com. (11 November 2019).

Rizaldi, Muhammad. 2014. Sejarah Imam Syafi’i. Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim.

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. 2001. Ensiklopedia Islam. Jakarta. PT Ichtiar Van Hoeve.

Abdullah Asy-Syaqawi, Amin. 2015. Sejarah Singkat Imam Asy-Syafi’i. Jakarta. Islam House.

Abdul Halim Al-Jundi. 1996. Al-Imam Asy-Syafi’i. Kairo. Dar Al-Qalam.

Abdul Wahab, Muhammad. 2013. Aqidah Al-Imam Asy-Syafi’i. Jakarta. Pustaka Imam Syafi’i.

Razaq, Muhammad. 2015. Kisah Imam Asy-Syafi’i dan Putri Imam Ahmad Bin Hambal yang Menakjubkan. dutaislam.com. (20 November 2019).

Dzauli. 2006. Ilmu Fiqih. Jakarta. Kencana.

Yasir, Muhammad bin Abdul Muthalib. 2007. Ringkasan Kitab Al-Umm, Juz 1. Jakarta. Pustaka Azzam.

Indra, Muhammad. 2015. Biografi Imam Syafi’i. alkhoir.net. (20 November 2019).

Nasution, Lahmuddin. 2001. Pembaharuan Hukum Islam dalam Madzhab Syafi’i. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

Mubarak, Da’i. 2002. Modifikasi Hukum Islam; Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid. Jakarta. PT Raja Grafindo.

Hasan Ali, Muhammad. 2003. Berbagai Macam Fiqih. Jakarta. PT Raja Grafindo.



[1]              Mustofa Muhammad Asy-Syak’ah, Islam bi Laa Madzaahib, Biarut: Dar Al-Nahdah al-‘Arabiyyah, hal  349.

[2]              Dirjen Lembaga Islam Depag RI, Ensiklopedi Islam, Depag RI, Jakarta, hal 326.

[3]              Abdul Aziz Asy-Syinawi, BIOGRAFI EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut Publishing, Jakarta, 2016, hal 386.

[4]              Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Putaka Kautsar, Jakarta, 2006, hal 355.

[5]              Moenawar Chalil, Biografi Serangkai Empat Imam Mazhab, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, hal 231.

[6]              Abdur Rahman, “Kodifikasi Hukum Islam”, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal 159.

[7]              Abdul Aziz Asy-Syinawi, BIOGRAFI EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut Publishing, Jakarta, 2016, hal 385.

[8]              1 farsakh adalah 5.541 m, atau sekitar 5,5 km

[9]              Abu Yazid Abu Zaid Al-‘Ajmi, Akidah Menurut Empat Madzhab, Pustaka Kautsar, Jakarta, 2016, hal 318.

[10]             Kunyah adalah ama yang diawali dengan kata ”Abu” jika yang diberi kunyah adalah seorang laki-laki, atau dengan kata “Ummu” jika yang diberika kunyah adalah seorang perempuan—edt.

[11]             Ibid, hal 387.

[12]             Abdul Aziz Asy-Syinawi, BIOGRAFI EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut Publishing, Jakarta, 2016, hal 387.

[13]             Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, Lentera Basritama, Jakarta, 2000, hal 142.

[14]             Nurhikmah, Skirpsi, : ”MODERASI IMAM SYAFI’I ANTARA AHLUL RA’YI DAN AHLUL HADITS” (Makassar : UIN Alauddin, 2014), hal 22.

[15]             Abu Yazid Abu Zaid Al-‘Ajmi, Akidah Menurut Empat Madzhab, Pustaka Kautsar, Jakarta, 2016, hal 318.

[16]             Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Putaka Kautsar, Jakarta, 2006, hal 358.

[17]             Khoirunisa Oktafiani, Makalah, : “ BIOGRAFI IMAM SYAFI’I” (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, 2014), hal 21.

[18]             Ahmad Asy-Syurbasi, Al-Aimmah Al-Arba’ah, Futuhul Arifin, Terjemahan 4 Mutiara Zaman, Pustaka Qalami, Jakarta, 2003, hal 131-133.

[19]             Abdul Aziz Asy-Syinawi, BIOGRAFI EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut Publishing, Jakarta, 2016, hal 392-394.

[20]             Qadariyah (bahasa Arab: قدرية) adalah sebuah ideologi dan sekte bid'ah di dalam akidah Islam yang muncul pada pertengahan abad pertama Hijriah di Basrah, Irak. Kelompok ini memiliki keyakinan mengingkari takdir, yaitu bahwasanya perbuatan makhluk berada di luar kehendak Allah dan juga bukan ciptaan Allah.

[21]             Khoirunisa Oktafiani, Makalah, : “ BIOGRAFI IMAM SYAFI’I” (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, 2014), hal 22-23.

[22]             Abdul Aziz Asy-Syinawi, BIOGRAFI EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut Publishing, Jakarta, 2016, hal 392-395-397.

 

[23]             Muhammad Hanafiah, Perjalanan Imam Syafi’i di Negeri Seribu Malam, kabarwashliyah.com, 19 November 19, 21:40

[24]             Muhammad Rizaldi, Makalah, :“ Sejarah Imam Syafi’i” (Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim, 2014), hal 18.

[25]             Dewan Redaksi Ensikloedia Islam, Ensiklopedia Islam, PT Ichtiar Van Hoeve, Jakarta 2001, hal 326.

[26]             Abdul Aziz Asy-Syinawi, BIOGRAFI EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut Publishing, Jakarta, 2016, hal 392-464-465.

 

[27]             Syaikh  Amin bin Abdullah Asy-Syaqawi, Sejarah Singkat Imam Asy-Syafi’i, Islam House, Jakarta, 2015, hal 18.

[28]             Al-Jundi Abdulhalim, Al-Imam Asy-Sayfi’i, Dar Al-Qolam, Kairo, 1996, hal 51.

[29]             Muhammad bin Abdul Wahab, Aqidah Al-Imam Asy-Syafi’i, Pustaka Imam Syafi’i, 2013,Jakarta, hal 76-77.

[30]             Razaq, “Kisah Imam Syafi’i dan Putri Imam Ahmad bin Hambal, dutaislam.com, 20 November 19, 22:30

[31]             Abdul Aziz Asy-Syinawi, BIOGRAFI EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut Publishing, Jakarta, 2016, hal 392-405.

 

[32]             Dzauli, ILMU FIQIH, Kencana, Jakarta, 2006, hal 130.

[33]             Murbei atau Bebesaran (Latin: Morus) adalah sebuah genus yang terdiri dari 10–16 spesies pohon tertentu yang asli berasal dari daerah panas sedang dan subtropis di Asia, Afrika dan Amerika. Daun bebesaran merupakan daun sederhana berbentuk cuping dan menggergaji di bagian tepi.

[34]             Antelop adalah mamalia yang bentuknya menyerupai kambing dengan tanduk tegak lurus ke atas. Binatang ini mirip kijang tetapi bukan kijang. Ia termasuk jenis sapi. Hewan ini merupakan anggota dari famili bovidae dan termasuk hewan yang terancam punah. Antelop tersebar di Afrika, Asia, dan Timur Tengah. 

[35]             Muhammad Yasir bin Abdul Muthalib, Ringkasan Kitab Al-Umm, Juz 1, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007, hal 35.

[36]             Muhammad Indra, Biografi Imam Syafi’i, alkhoir.net, 20 November 19, 23:00

[37]             Abdul Aziz Asy-Syinawi, BIOGRAFI EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut Publishing, Jakarta, 2016, hal 424-425.

 

[38]             Abdul Aziz Asy-Syinawi, BIOGRAFI EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut Publishing, Jakarta, 2016, hal 562.

 

[39] Abdul Aziz Asy-Syinawi, BIOGRAFI EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut Publishing, Jakarta, 2016, hal 573.

 

[40] Abdul Aziz Asy-Syinawi, BIOGRAFI EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut Publishing, Jakarta, 2016, hal 621.

 

[41]             Khoirunisa Oktafiani, Makalah, : “ BIOGRAFI IMAM SYAFI’I” (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, 2014), hal 20.

[42]             Manhaj ialah kaidah-kaidah & ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi setiap pelajaran-pelajaran ilmiyyah, seperi kaidah-kaidah bahasa arab, ushul ‘aqidah, ushul fiqih, & ushul tafsir di mana dengan ilmu-ilmu ini pembelajaran dalam islam beserta pokok-pokoknya menjadi teratur & benar. Dan manhaj yang benar adalah jalan hidup yang lurus & terang dalam beragama menurut pemahaman para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[43]     Pembela hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

 

[44]             Asy'ariyah adalah mazhab teologi yang disandarkan kepada Imam Abul Hasan al-Asy'ari. Asy'ariyah mengambil dasar keyakinannya dari Kullabiyah, yaitu pemikiran dari Abu Muhammad bin Kullab dalam meyakini sifat-sifat Allah. Kemudian mengedepankan akal di atas tekstual ayat dalam memahami Al-Qur'an dan Hadits.

[45]             Dalam agama Islam, seorang Maturidi adalah seseorang yang mengikuti ajaran tauhid Abu Mansur Al Maturidi yang merupakan jenis terdekat dari ajaran Asy'ari. Para Maturidi, Asy'ari dan Atsari adalah bagian dari Islam Sunni, yang membentuk sebagian besar umat Islam.

[46]             Al-Quran dan Terjemahan

[47]             Orang-orang yang menyimpang dalam agama

[48]             Qadariyah adalah sebuah ideologi dan sekte bid'ah di dalam akidah Islam yang muncul pada pertengahan abad pertama Hijriah di Basrah, Irak. Kelompok ini memiliki keyakinan mengingkari takdir, yaitu bahwasanya perbuatan makhluk berada di luar kehendak Allah dan juga bukan ciptaan Allah.

[49]             Aliran Murji'ah adalah golongan yang terdapat dalam Islam yang muncul dari golongan yang tak sepaham dengan Khawarij. Ini tercermin dari ajarannya yang bertolak belakang dengan Khawarij.

[50]             Khoirunisa Oktafiani, Makalah, : “ BIOGRAFI IMAM SYAFI’I” (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, 2014), hal 27-30.

[51]             Khoirunisa Oktafiani, Makalah, : “ BIOGRAFI IMAM SYAFI’I” (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, 2014), hal 24-25.

[52]             Hafidz adalah hafal seratus ribu hadits beserta sanadnya—pent

[53]             Abdul Aziz Asy-Syinawi, BIOGRAFI EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut Publishing, Jakarta, 2016, hal 511.

[54]             Da’i Mubarak, Modifikasi Hukum Islami; Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid, PT Raja Grafindo, Jakarta, hal 78.

[55]             Muhammad Ali Hasan, Berbagai Maca Fiqih, PT Raja Grafindo, 2003, Jakarta, hal 34.

[56] Khoirunisa Oktafiani, Makalah, : “ BIOGRAFI IMAM SYAFI’I” (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, 2014), hal 20.

[57]             Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, hal 43.

[58]             Abdul Aziz Asy-Syinawi, BIOGRAFI EMPAT IMAM MADZHAB, Beirut Publishing, Jakarta, 2016, hal 639.

0 komentar:

Post a Comment