2.1 Definisi Khash
Khash adalah lafal yang menunjukkan satu nama,atau mencakup sebagian kelompok,bukan untuk semuannya.Diantara isim-isim khash adalah isim bilangan,seperti tiga hari,nama orang,seperti zaid dan sa’id,isim jenis yang diberi alif dan lam jika dimaksudkan untuk seseorang atau sesuatu yang sudah diketahui[1].
2.2 Pengertian Mukhashshish
Mukhashshish memiliki dua pengertian yaitu :
1.Orang yang mempergunakan takhshish.
2.Dalil yang dipakai takhshish.[2]
Sedangkan menurut dari artikel internet yaitu, Mukhashshish ialah suatu dalil alasan yang menjadi dasar untuk adanya pengeluaran tersebut.[3]
2.3 MACAM-MACAM MUKHASHSHISH
Mukhashshish terbagi menjadi dua macam yaitu:
1. Mukhashshish muttasil: yaitu yang tidak berdiri sendiri,yakni yang maknanya bersangkutan dengan lafadzh sebelumnya. Misalnya:
ولاتقتلواالنفس التي حرم الله الا بالحق
Artinya:
“Dan janganlah kamu membunuh sesuatu jiwa manusia yang Allah telah haramkan (membunuhnya),kecuali dengan jalan yang dibenarkan”. (QS.Al-An’am ayat 151).
Lafadzh “Dan janganlah kamu membunuh sesuatu jiwa manusia yang Allah telah haramkan (membunuhnya), itu menujukkan lafdzh umum.Artinya tidak boleh membunuh seorangpun,’’ melainkan dengan jalan yang benar” yaitu qishash atau didalam pertempuran.
Keumuman ini,di kecualikan dengan firman-Nya disitu juga dengan lafadzh “kecuali dengan yang dibenarkan”.Yakni yang diizinkan menurut syara.
Pengecualian ini dinamakan khash yaitu pembatas bagi keumuman tadi.Dan muttasil (bersambung ) karena masih adanya dalam satu susunan kalimat Bersama umumnya atau tidak terpisah.
Macam-Macam Mukhashshish Muttasil :
1. istisna[4]
Istisna adalah mengeluarkan sesuatu kata atau kalimat jika dalam memasukan kata.
Contoh :
“Telah datang rombongan kecuali Zaid”, maka hal ini disebut istisna muttasil. Dan kalaulah tidak dikeluarkan Zaid dari rombogan maka itu dimaksudkan untuk masuk dalam kedatangannya.
Dan syarat istisna itu tidak melihat munfasil dari kata mustasna minhu (dari yang dikecualikan), tetapi syarat itu menjadi muttasilnya, maka jika Ia berkata : (“telah datang ahli fikih”) kemudian Ia berkata setelah berikutnya (“kecuali Zaid”) maka hal ini tidak dibenarkan.
Dan dari syaratnya juga itu tidak menjadi dibutuhkan karena waktu yang telah berlalu sebelum dikecualikan, apapun itu maka tidak benar istisnanya, kecuali dengan syarat itu tinggal dari yang dikecualikan sesuatunya.
Contoh :
“Untuknya terhadapku sepuluh kecuali Sembilan”, maka jika berkata :” untuknya terhadapku sepuluh kecuali sepuluh”, maka tidak benar dan harus sepuluh.
Dan dari syarat istisna pengucapannya dengan mendengar dari dekatnya. Dan dari syarat istisna juga maksudnya apapun niatnya dari sebelum pengucapan, maka tidak harus dari itu dimaksudkan istisna sebelum pengucapan dengannya, dan tidak wajib wujud niat dari kata mustasna minhu, tetapi cukup keberadaannya sebelum dihentikan agar lebih tepat.
Dan asli didalam mustasna (dikecualikan) itu menjadi dari jenis kelamin yang dikecualikannya.
Contoh :
“Telah berdiri rombongan kecuali Zaid”, dan dibolehkan istisna dari lainnya dan dia mengubah gendernya.
Contoh :
“Telah datang rombongan kecuali keledai”. Dan ini bukan istisna yang terputus dari ketentuan. Dan masalah didalamnya ada perselisihan maka ini bukan pembilang.
Dan boleh memajukan lafadz mustasna kepada mustasna minhu,
Contoh :
“Dan hartaku kecuali diciptakan alam semesta raya”. Dan demikian boleh memajukan di dalam lafadz syarat atas masyrutnya, dan itu diperuntukan makna dzohir.
Contoh :“Jika anak-anak Tamim datang kepadamu maka muliakanlah mereka”. Dan hal itu boleh jika diakhirkan.
Contoh :
“Kamu bakal bercerai jika saya memasuki rumahmu”. Dan itu asli.
Contoh is-titsna yang sah mentakhshish ialah seperti :
وَٱلۡعَصۡرِ ١ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (QS. Al-Ashr:1-3)
Keterangan :
Syarat-syarat sahnya istisna:
a. Dalam mengucapkan istisna, antara mustasna dan mustasna minhuharus bertemu. Berbentuk, berhenti sebentar, pertanyaan-peorang
lain dan keadaan lain yang menurut kebiasaan tidak memutuskan pembicaraan, tidak dianggap membatalkan sahnya istisna.
b. Mustasna tidak menghabiskan mustasna minhu. Pengecualian yang
menghabiskan adalah batal. Misalnya “aku punya uang sejuta,kecuali sejuta.”
Istisna dari kalimat ingkar (nafi) menjadi positif. Contoh: tidak adaTuhan, Kecuali Allah. Tidak ada tuhan adalah kalimat ingkar, pengecualiannya (istisna) menetapkan adanya tuhan, yaitu Allah.
Menurut pendapat Imam Syafi’I, Imam Malik, dan Imam Ahmad,
istisna sesudah beberapa jumlah yang bersambung-sambung, istisnaitu kembali kepada semua jumlah.Golongan hanafiyah mengatakan bahwa istisna itu kembali pada jumlah yang terakhir.Menurut Imam Syaukani; kalau tidak adahalangan, baik dari lafazh itu sendiri maupun dari dalil-dalilnya, pengecualian (istisna) itu kembali kepada seluruh jumlah sebelumnya.Contoh dalam surat An-Nur ayat 4-5:
{وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (4) إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (5) }
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang -menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur 4-5).
2. Syarat
Syarat adalah salah satu macam dari beberapa mukhashshish, misalnya :
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
Artinya: “Dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah”.(Al-Baqarah :
228).
Lafadzh “jika mereka para suami menghendaki ishlah” adalah syarat. Lafadz sebelumnya disebut masyrut yang baru dapat diamalkan setelah syarat itu terwujud. Maksud ayat ini, suami yang akan merujuk istrinya yang telah dicerai itu diperbolehkan jika mereka meghendaki hidup bersama dengan baik. Jika syarat ini tidak terdapat, maka suami tersebut tidak perlu rujuk.
Keterangan :
Syarat yang terletak sesudah beberapa jumlah, kembali kepada semua jumlah yang mendahuluinya, misalnya :
اَكْرِمْ بَنِى هَاشِمٍ وَاَحْسِنْ الَى العُلَمَاءِ وَاهْدِ الَى الشُّعْرَاءِ اِنْ جاَؤُكَ
Artinya:“Hormatilah Bani Hasyim dan berbuat baiklah terhadap para ulama,dan sampaikanlah hadiah kepada para penyair,jika mereka datang kepadamu”.
3. Sifat
Sifat adalah salah satu macam dari beberapa mukhashshish.
Misalnya:
فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
Artinya:
“Maka boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki”.
(QS An-Nisa :25).
Lafadzh fatayat adalah lafadzh ‘am dapat meliputi yang beriman dan yang tidak beriman.Dengan adanya sifat ”: almu’minat”,maka menentukan atau membatasi yang boleh dinikahi hanya budak perempauan yang mu’minin saja.Yakni tidak termasuk didalamya budak yang tidak beriman.
Keterangan:
Sifat yang terletak sesudah beberapa jumlah,kembali kepada semua jumlah yang mendahuluinya.
Misalnya:
وَقَفْتُ عَلَى اَوْلاَدِىْ وَاَوْ صَيْتُ لِاِخْوَتِى العَالَمِيْنَ
Artinya:“Saya mewakafkan (sesuatu ) kepada anak-anakku dan aku yang wasiat kepada saudara-saudaraku yang alim-alim”.
4. Ghayah:
Ghayah ialah yang menghabiskan sesuatu yang memastikan tetapnya hukum bagi sebelumya (ghayah )tidak adanya hukum bagi sesudahnya.
Lafadzh ghayah ini ada dua yaitu hatta= sehingga dan ilaa= sampai,contonya sebagai berikut:
وَلاَتَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
Artinya:“Janganlah mendekati mereka ( istri-istri yang sedang haidh ) sehingga mereka suci”.( QS.Al-Baqarah : 222).
Ayat ini menyatakan bahwa mengumpuli istri-istri yang sedang haidh itu hukumnysa haram,sehingga mereka teklah suci.Artinya kalau sudah suci maka boleh dikumpuli lagi.
ثُمَ اَتِمُواالصِّيَامَ الَى الَّيْلِ
Artinya:“Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam”.
Ayat ini menyatakan,bahwa kita diperintahkan menyempurnakan puasa samapai kepada batas datangnya waktu malam.yakni jika malam telah tiba,maka habislah kewajiban kita untuk berpuasa pada hari itu.
5.Badal ba’dlu min kullin
Yang dimaksud badal ba’dlu min kullin,ialah yang kedua itu sebagian dari kata yang kata yang pertama.Ini juga termasuk mukhashshish muttasil,seperti:
أَكْرِمِ النَّاسَ العُلَمَاءَ
Artinya:“Hormatilah manusia yang pandai/alim”.
“Annas =manusia adalah kull (keseluruhan manusia ) artinya siapapun juga terkena perintah untuk di hormati.”al-ulama=yang alim” adalah sebagian dari keseluruhan manusia,dan menggantikan lafadzh annas ( kull ).Maka penggantian ini,berarti tidak setiap manusia harus di hormati,melainkan hanya yang cendekiawan/alim saja.
Contoh lain dalam Al-Qur’an:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
Artinya:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah,yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan,kepadanya”.( Ali-Imran : 97).
Annas adalah ( keseluruhan ). Manis-tatha’a=yang mampu adalah ba’dlu/sebagian dari manusia dan menggantikan lafadzh manusia ( kull ).Maka dengan perggantian ini,tidak setiap manusia kewajiban haji,melainkan hanya yang mampu saja.
Tegasnya dengan adanya badal min kullin ini,maka keumuman yang terdapat dalam lafadzh annas itu berubah menjadi khash
6. Haal
“haal” adalah sebagian daripada beberapa mukhashshish;
Hal ini menurut maknanya seperti sifat,misalanya:
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا
Artinya:”Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong”.( QS. Al-isra : 37).
2. Mukhashshish munfasil: yaitu berdiri sendiri,terpisah dari dalil yang memberikan pengertian umum. Misalnya:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا
Artinya: “Dan makan serta minumlah,tetapi jangan berlebih-lebihan”.(QS.Al-Ar’af : 31)
Lafadzh “makanlah…” itu menujukkan umum,yakni kitab oleh makan apa saja yang kita kehendaki.Tetapi keumuman ini telah di batasi oleh Allah dengan firman-Nya juga,sebagai berikut:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
Artinya:“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah”.( QS.Al-Baqarah :173)
Ayat ini membatasi keumuman ayat Al-A’raf :31,dan menentukan bahwa yang haram itu hanya 4 macam makanan tersebut diatas.Pembatasan ini tidak disatu ayat dalam QS.Al-A’raf:31 melainkan terpisah atau disebut dengan munfasil.
Macam-Macam Mukhashshish Munfasil :
Mukhashshish munfasil yaitu berdiri sendiri,terpisah dari dalil yang memberiakan pengertian umum.
Munfasil artinya terpisah; jadi ‘amnya merupakan dalil tersendiri dan mukhashshishnya merupakan dalil tersendiri juga.
Yang masuk mukhashshish munfasil ialah:
1. Mentakhshish
AL-Qur’an dengan Al-Qur’an:
seperti firman Allah SWT:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Artinya:“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'’’.( Al-Baqarah : 228).
Ayat ini memberikan pengertian umum,meliputi semua wanita yang dicerai,tetapi wanita-wanita yang sedang hamil ditakhsis oleh ayat lain sebagai berikut.
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya:
“Wanita-wanita yang sedang mengandung ‘iddahnya ialah melahirkan kandungan mereka”.( At-Talaq : 4).
Begitu pula wanita wanita yang belum bergaul,takhsis dengan ayat sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya”.( AL-Ahzab 49).
2.Mentakhsis Al-Qur’an dengan Hadits:
Seperti firman Allah swt:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
Artinya:Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk ) anak-anakmu,yaitu bahagian seoarang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang orang anak perempuan”.( An-Nisa : 11).
Ayat ini memberikan pengertian umum,baik islam maupun kafir,tetapi keumuman lafadzh “auladikum=anak-anakmu” itu ditakhshish dengan sebuah hadist yang menyatakan sebagai berikut:
لاَيَرِثُ للمُسْلِمُ الكَافِرَوَلاَيَرِثُ الكَافِرُالمُسْلِمَ ( رواه البخرى ومسلم )
Artinya:
“orang islam itu tidak dapat menerima waris dari orang kafir dan orang kafir tidak menerima waris dari orang islam”.
3.Mentakhshish Hadits dengan AL-QURAN :
Seperti sabda Nabi Muhammad SAW:
لاَيَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ اَحَدِكُم اِذَا اَحدَثَ حَتّي تَوَضَّأَ (رواه البخارى و مسلم)
Artinya : “Allah tidak akan menerima shalat salah seorang dari kamu apabila berhadats sehingga berwudhu”. (HR Bukhari dan muslim)
Hadits ini memberikan pengertian umum, baik yang tidak udzur menggunakan wudhu, maupun yang udzur, baik disebabkan dalam perjalanan maupun dalam keadaan sakit.
Kemudian keumuman itu ditakhshish dengan firman Allah swt. Sebagai berikut :
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Artinya:
“ Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”.( QS. An-Nisa : 43).
Menurut hadits tersebut diatas, dalam keadaan bagaimanapun juga. Sahnya shalat harus dengan wudhu, artinya bersuci dengan air. Dan ketentuan ini berlaku untuk seluruh orang yang akan shalat. Kemudian hadits tersebut ditakhshish dengan Al-Qur’an , ayat 43 An-nissa yang membolehkan tayammum dalam keadaan tidak mendapat air.
4.Mentakhshish hadits dengan hadits :
Seperti hadits Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad saw. Bersabda :
فِىمَا سَقَتِ السَّمَاءُ العُشرُ. (رواه البخاري و مسلم)
Artinya : “Bagi tanam-tanaman yang kurang 5 wasaq, tidak dikenakan zakat”. (HR Bukhari dan Muslim)
Keterangan : 5 wasaq kurang-lebih 1.000 kg.
5. Mentakhshish Al-Quran dengan ijma’ :
Seperti firman Allah swt. Sebagai berikut :
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Artinya :
“Apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli”.( QS. Al-Jumu’ah : 9).
Ayat ini berlaku untuk siapapun juga, artinya semua manusia terkena kewajiban shalat jum’at. Tetapi para ulama telah sepakat (ijma’). Bahwa orang-orang perempuan dan budak-budak tidak berkewajiban shalat juma’t. jadi keumuman ayat tersebut ditakhshish dengan ijma’ artinya ijma’ ini, membatasi berlakunya kewajiban shalat jum’at hanya kepada yang bukan perempuan dan budak.
6. Mentakhshish dengan qiyas :
Yang dimaksud disini ialah mentakhshish Al-Qur’an atau hadits yang menunjukkan pengertian umum, dengan qiyas yang membatasi keumuman itu. Misalnya :
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
Artinya :”Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera”.( QS. An-Nur : 2).
Ayat ini berlaku untuk umum, meliputi orang-orang yang merdeka dan budak. Tetapi bagi budak perempuan kita dapati ayat Al-Qur’an yang berlaku bagi perempuan merdeka, sebagaimana firman Allah swt. :
فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ
Artinya:
“Apabila mereka (budak perempuan) melakukan zina, maka kepada mereka (dikenakan siksa) separuh dari siksa perempuan yang merdeka”( QS. An-Nisa : 25)
Ayat ini menerangkan hanya kepada budak-budak perempuan. Sedangkan kepada budak-budak laki-laki hukumnya dipersamakan (diqiyaskan) dengan budak perempuan, yaitu lima puluh dera, yakni separuh dari siksa orang yang merdeka. Jadi mentakhshiskan ayat 2 An-Nur itu tentang budak laki-laki, bukan dengan ayat Al-Qur’an atau hadits, melainkan dengan qiyas terhadap budak perempuan yang sudah ada ketentuan hukumnya sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an, ayat 25 surat An-Nisa
[1]Drs. Muhammad Sulaiman AL-ASYQAR, Ushul fiqih tingkat dasar, UMMUL QURA.
[2]Drs. H. MOH. RIFAI, Ushul fiqih edisi 1993, Wicaksana.
[3]https://text-id.123dok.com/document/ozl1gxply-khas-takhshish-dan-mukhashshish.html
[4] Qowaid Assasiyah Fii Ushul Fiqih, Muhammad Alawii Al-Maliki, Hal.39
0 komentar:
Post a Comment