Saturday, November 7, 2020

Taqlid dalam Ushul Fikih

 

 


      A.          Taqlid

Taqlid adalah: menerima ucapan (fatwa) orang yang memberi fatwa,tanpa      mengetahui hujjah atau dalil

Taqlid menurut sebagian ulama’ adalah: menerima ucapan (fatwa) orang yang memberi fatwa,sedangkan ia tidak mengetahui sumber atau dasar fatwa tersebut.[1]

Para ulama bagdad melarang taqlidnya orang awam kepada orang alim di dalam masalah furu’ussyariah. Mereka berkata “tidak boleh bagi orang ‘awam mengambil pendapat para ulama kecuali sudah di jelaskan hujjahnya.

Menurut Qadhi AlQudhot pada syarah Abi Ali beliau membolehkan taqlidnya orang ‘awam kepada orang ‘alim dalam masalah furu’ul ijtihad, tidak pada masalah ijtihad.Sedangkan pendapat mushonif, bahwa yang benar adalah boleh taqlid pada keduanya. Dalil yang melandasi pendapat itu adalah kesepakatan umat sebelum adanya ikhtilaf. Sesungguhnya para sahabat dan para ulama sesudahnya, berfatwa kepada orang-orang awam,  Ulama memberikan fatwa kepada mereka atas masalah-masalah yang belum terjadi.

Dikutip dari buku Ushul Fiqh Prof. H. Amir Syarifudin, beliau menyuguhkan dua ayat yang saling bertentangan yang petama (Surat Luqman ayat 21) dan yang kedua (Surat An Nahl ayat 43.) Ayat pertama menunjukan larangan orang-orang islam ikut-ikutan dalam menjalankan agama dan ayat yang ke dua menunjukan anjuran untuk bertanya pada orang yang lebih tahu.

Dari dua ayat ini beliau memaparkan beberapa kesimpulan dan pendapat ulama tentang kesimpulan tersebut, yaitupetama, apakah taqlid itu menghasilkan ilmu yang biasa menghatarkan keyakinan. Pendapat imam Ghozali, taqlid itu bukanlah cara untuk mendapatkan ilmu yang meyakinkan baik masalah furuiyah maupun ushuliyah. Sedangkan pendapat Golongan Hasyawiyah dan Ta’limiyah taqlid bahwa untuk mendapatkan kebenaran hanyalah taqlid dan haram hukumnya berijtihad dengan nalarnya sendiri.Kedua, apakah boleh taqlid pada hal-hal yang bersifat ushuluddin. Masalah ini ada 3 pendapat yang dipaparkan beliau.

1.      Kebanyakan ulama berpendapat tidak boleh bertaqlid pada masalah ushuluddin.Halini dikuatkan oleh imam Al-Rozi, ketidak bolehan bertaqlid ini berlakupagi para mujtahid dan tidak berlaku bagi orang awam. Dengan dalil surat Muhammad ayat 47 menunjukan wajib mengetahui Allah sampai pada ‘ilmul yaqiin. Hal tersebut berlaku juga untuk kita karena kita di suruh untuk mengikuti jejak nabi.

2.      Pendapat Al Anburi dan yang mengikutinya, bahwa boleh bertaqlid pada masalah ushuluddin dan tidak boleh bertaqlid. Al Anburi memberi alasan bahwa dalam masalah ushuluddin atau ‘aqidah itu cukup dengan ‘aqad atau ‘aqduljaziim (ikatan yang pasti).

3.      Haram berijtihad dalam bidang ushuluddin. Dinukil dari Al Asy’ari bahwa imannya seseorang yang tidak bertaqlid tidak sah. Pendapat ini mendapat tanggapan pro dan kontra, oleh karenanya imam As Subki perlu mentahqiq pandangan Al Asy’ari, beliau mengatakan taqlidnya muqolid yang masi ada keraguan atau praduga itu tidak cukum imman nya. Tapi apabila seseorang bertaqlid da nada kepastian di dalam hatinya maka immannya cukup.



[1]Jalaludin Al- Mahalli.’Terjemah Syarah Al- Waroqot, Hal. 143.

 

0 komentar:

Post a Comment