Wednesday, November 4, 2020

Amr dalam Konteks Uhsul Fiqih

 

                                

A.    Pengertian Amr

  Amr adalah bahasa arab yang artinya perintah, sedang menurut istilah adalah suatu lafal yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk mengerjakan suatu pekerjaan dari atasan kepada bawahan.
Dari definisi tersebut, dapat difahami bahwa amr itu tidak hanya ditunjuk pada lafal yang memakai shigat amar, tetapi ditunjuk pula oleh semua bentuk kata yang didalamnya mengandung arti perintah, sebab perintah itu terkadang menggunakan kata-kata yang berarti majaz.

 

Amr adalah tuntutan dilakukanya sebuah perbuatan dengan menggunakan ucapan dari orang yang lebih rendah secara wajib. Apabila permintaan ditujukan kepada orang yang sejajar, maka dinamakan iltimas (permintaan). Dan bila ditujukan kepada orang yang lebih tinggi, maka dinamakan su’al (permohonan).Sedangkan permintaan yang disampaikan tidak secara wajib, yakni permintaan atas sesuatu yang boleh ditinggalkan, maka dzahirnya permintaan ini bukanlah amr secara hakikat sekalipun demikian, yang terpenting dari arti amar adalah bahwa didalam kata amar terkandung unsur tuntutan untuk mengerjakan.

 

B.Sighat Amr

Shighot ‘amr digunakan untuk bermacam-macam makna, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan makna yang haqiqi apabila ‘amr tidak ada qarinah atas lafadz ‘amr tersebut.

Ulama bersepakat bahwa shighot ‘amr tidak bermakna haqiqi pada pada semua makna dilalh tersebut, namun ulama berbgeda pendapat apakah asal peletakan ‘amr itu bersifat wujub, nadb ataukah ibahah.

            Umumnya para ulama berpendapat bahwa shighot ‘amr itu diletakkan hanya untuk makna dari ketiganya (wujub, nadb, ibahah) maka selain ketiga tersebut, ‘amr bermakna majazi, ulama berbeda pendapat dalam menentukan makna tersebut.

Amr merupakan lafal yang mengandung pengertian perintah. Sighat amr berbentuk sebagai berikut:
    1. Berbentuk fi’il amr/perintah langsung. Misalnya, firman Allah:

وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِينَ                                                                   
Artinya: “Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk.”(Q.S Al-Baqarah :43)

 

 


    2. Berbentuk mudhari’ yang didahului oleh lam amr. Misalnya, firman Allah:
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ -٢٩
Artinya:“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran (yang ada di badan) mereka, menyempurnakan nazar-nazar mereka dan melakukan thawaf sekeliling rumah tua (Baitullah)”(Q.S Hajj:29)

    3. Dengan menggunakan isim fi’il amr, seperti:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ عَلَيْكُمْ أَنفُسَكُمْ لاَ يَضُرُّكُم مَّن ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعاً فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ -
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu; (karena) orang yang sesat itu tidak akan membahayakanmu apabila kamu telah mendapa tpetunjuk.Hanya kepada Allah kamu semua akan kembali,kemudian Dia akan Menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”(Q.S Al-Maidah:105).


     4. Dengan menggunakan isim mashdar pengganti fi’il, misalnya:
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لاَ تَعْبُدُونَ إِلاَّ اللّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ                                   Artinya:”Dan (ingatlah) ketika Kami Mengambil janji dari Bani Israil, “Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin.”(Q.S Al-Baqarah:83)

      5. Dengan menggunakan kalimat berita (kabar), misalnya:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ -٢٢٨
Artinya:“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali qurū”(Q.S Al-Baqarah:228)
      6. Berbentuk lafal yang searti dengan amar, misalnya:• Lafal kutiba, seperti Al-Baqarah 183
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواْكُتِبَعَلَيْكُمُالصِّيَامُ -١٨٣
Artinya:“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa.”
• Lafal faradla, seperti an-nisa’ 24
فَآتُوهُنَّأُجُورَهُنَّفَرِيضَةً -٢٤
Artinya:“Berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban”.

 

 

 

C. Pengaruh qarinah dalam amar
            Dalam menanggapi persoalan sejauh mana pangaruh qarinah dalam amar, para ahli hukum berbeda pendapat, diantaranya adalah:

1. Ibn Hazm dan kelompok al-Dhahiry berpendapat bahwa semua amar menunjukkan arti wajib,

sekalipun diikuti qarinah, kecuali ditemukan adanya nash lain atau ijma’ yang dapat mengalihkan pengertian amar dari wajib.


2. Jumhur ulama berpendapat bahwa kata amar yang tanpa ada qarinah tetap menunjukkan wajib. Jika ada qarinah ini maka apabila qarinah tersebut menunjukan hukum Sunnah, maka ‘amr dihukumi Sunnah,begitupula ketika qorinah menunjukkan pada Ibahah, maka ‘amr tersebut dihukumi Ibahah.

Contoh:
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواْإِذَاتَدَايَنتُمبِدَيْنٍإِلَىأَجَلٍمُّسَمًّىفَاكْتُبُوهُوَلْيَكْتُببَّيْنَكُمْكَاتِبٌبِالْعَدْلِ -٢٨٢
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.(al-Baqarah: 282)

            Pada ayat ini ditemukan adanya kasus tentang hukum pencatatan dan persaksian dalam kasus utang-piutang, yang tertuang pada kalimat فَاكْتُبُوهُarti yang terkandung dalam kalimat ini diperselisihkan para ahli ushul, yaitu:

1. Kelompok al-Dhahiry berpendapat bahwa hukum yang terdapat didalam perintah pencatatan dan penulisan dalam hutang-piutang adalah wajib, sebab bentuk amar menunjukkan wajib. Dan arti ini tidak bisa menyimpang dari arti amar secara lahiriyah, kecuali ada nash atau ijma’ yang mengalihkannya dari wajib.

2. Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum yang dapat diambil dari kata amar adalah nadb, sebab kebanyakan masyarakat muslim dalam melakukan transaksi kontrak jual-beli yang dilakukan dengan tidak kontan, tidak dilakukan oleh mereka dengan percatatan dan penulisan, sehingga ijma’ kaum muslimin tersebut dianggap sebagai indikasi (qarinah) yang menunjukkan bahwa amar tersebut tidak menunjukkan hukum wajib.

          

 

  Dengan demikian, untuk menentukan sesuatu yang dapat dianggap sebagai qarinah, para ahli berbeda-beda, sehingga berakibat pada terjadinya perbedaan dalam penetapan hukum, misalnya problem muth’ah bagi wanita yang diceraikan suami dalam surat al-Baqarah: 236 yaitu,
وَمَتِّعُوهُنَّعَلَىالْمُوسِعِقَدَرُهُ -٢٣٦
Artinya:“Dan hendaklah kamu beri mereka mutah,[1] bagi yang mampu menurut kemampuannya.”

          Dalam menanggapi kasus ayat ini, kelompok imam syafi’I, hanafiyah, hanabilah menganggap bahwa pemberian muth’ah kepada wanita telah diceraikan suami adalah wajib, berdasarkan pada kemutlakan perintah. Begitu juga Ibn ‘Umar (dari keempat sahabat), sa’id bin Musayyab dan imam Mujahid (dari kelompok Tabi’in).

D. Makna Dilalah Shigot ‘Amr
            Imam Ar-Razi berkata didalam kitabnya Al-Mahsul, bahwa ahli ushul telah sepakat menetapkan bahwa bentuk if’al dipergunakan dalam 15 macam makna sesuai dengan qarinah yang mempengaruhinya.

 

1. Ijab (wajib). Contoh firmannya:
وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِينَ -٤٣
Artinya:“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk”. (al-Baqarah: 43). Ayat ini dihukumi wajib karena ada qorinah yang menghukuminya wajib,kemudian para ulama mengadakan ijma’ tentang hal itu.[2]

2. Untuk menunjukkan nadb (mandub = sunah). Misalnya:
فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْراً -٣٣
Artinya:“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang Dikaruniakan-Nya kepadamu”. (an-Nur: 33)

3. Takdib (adab). Misalnya:
          Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al Anshary Al Badry radhiallahuanhu dia berkata: Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya ungkapan yang telah dikenal orang-orang dari ucapan nabi-nabi terdahulu adalah: Jika engkau tidak malu perbuatlah apa yang engkau suka. (Riwayat Bukhori)

4. Misalnya firman Allah:
وَاسْتَشْهِدُواْ شَهِيدَيْنِ من رِّجَالِكُمْ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ -٢٨٢
Artinya:“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki- laki di antara kamu”. (al-Baqarah: 282)

5. Ibahah (kebolehan). Contoh firman Allah:
وَكُلُواْوَاشْرَبُواْحَتَّىيَتَبَيَّنَلَكُمُالْخَيْطُالأَبْيَضُمِنَالْخَيْطِالأَسْوَدِمِنَالْفَجْرِ -١٨٧
Artinya:“Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar”. (al-Baqarah :87)

6. Tahdid (ancaman), contoh firman Allah:
اعْمَلُوامَاشِئْتُمْإِنَّهُبِمَاتَعْمَلُونَبَصِيرٌ -٤٠
Artinya:“Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (Fushilat: 40)

7. Inzhar (peringatan), contoh firman Allah:
وَجَعَلُواْلِلّهِأَندَاداًلِّيُضِلُّواْعَنسَبِيلِهِقُلْتَمَتَّعُواْفَإِنَّمَصِيرَكُمْإِلَىالنَّارِ -٣٠
Artinya:
“Dan mereka (orang kafir) itu telah menjadikan tandingan bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya Katakanlah (Muhammad),“Bersenang-senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu ke neraka.”

8. Ikram (memuliakan)
ادْخُلُوهَابِسَلاَمٍآمِنِينَ -٤٦
Artinya:(Allah Berfirman), “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera dan aman.”

9. Taqhir (penghinaan)

كُونُواْقِرَدَةًخَاسِئِينَ -٦٥
Artinya: “Jadilah kamu kera yang hina!”

10. Ta’jiz (melemahkan)
وَإِنكُنتُمْفِيرَيْبٍمِّمَّانَزَّلْنَاعَلَىعَبْدِنَافَأْتُواْبِسُورَةٍمِّنمِّثْلِهِوَادْعُواْشُهَدَاءكُممِّندُونِاللّهِإِنْكُنْتُمْصَادِقِينَ -٢٣
Artinya:“Dan jika kamu meragukan (al-Quran) yang Kami Turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”

11. Taswiyah (mempersamakan)
اصْلَوْهَافَاصْبِرُواأَوْلَاتَصْبِرُواسَوَاء -١٦
Artinya:“Baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu.”

12. Tamanni (angan-angan), misalnya Syi’ir arab:
Wahai sang malam!
Wahai kantuk, menghilanglah
Wahai waktu subuh! Berhentilah dahulu
Jangan segera datang
(Syi’ir Ummul Qais)

13. Doa (berdoa)
قَالَرَبِّاغْفِرْلِيوَهَبْلِيمُلْكاًلَّايَنبَغِيلِأَحَدٍمِّنْبَعْدِيإِنَّكَأَنتَالْوَهَّابُ -٣٥
Artinya:Dia berkata, “Ya Tuhan-ku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh siapa pun setelahku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Pemberi.
 

14. Ihanah (meremehkan)
ذُقْإِنَّكَأَنتَالْعَزِيزُالْكَرِيمُ -٤٩
Artinya:“Rasakanlah, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang perkasa lagi mulia.”

15. Imtinan(anugrah)
فَكُلُواْمِمَّارَزَقَكُمُاللّهُحَلالاًطَيِّباًوَاشْكُرُواْنِعْمَتَاللّهِإِنكُنتُمْإِيَّاهُتَعْبُدُونَ -١١٤
Artinya:“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah Diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.”

E. Kaidah-kaidah amar
          Kaidah-kaidah Amr yaitu ketentuan-ketentuan yang dipakai para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum. Ulama’ Ushul merumuskan kaidah-kaidah Amr dalam empat bentuk, yaitu :

1. Perintah setelah larangan menunjukkan kepada kebolehan.
            Yang dimaksud kaidah diatas yaitu apabila ada perbuatan-perbuatan yang sebelumnya dilarang, lalu datang perintah mengerjakan, maka perintah tersebut bukan perintah wajib tetapi hanya bersifat membolehkan.

2. Pada dasarnya perintah itu menghendaki segera dilaksanakan.
             Perintah yang adakalanya ditentukan waktunya dan adakalanya tidak. Jika suatu perintah disertai waktu tertentu, misalnya tentang haji, seperti dalam surat Al-Hajj 27 :
وأذنفيالناسبالحجيأتوكرجالاوعلىكلضامريأتينمنكلفجعميق -٢٧
Artinya : “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji”.
            Jumhur ulama’ sepakat bahwa perintah mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan waktu harus dikerjakan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan tidak boleh diluar waktu. Bila diluar waktu, tanpa sebab yang dibenarkan oleh syara’ maka akan berdosa.

3. Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki pengulangan (berkali-kali mengerjakan perintah).
 Contohnya perintah menunaikan haji, yaitu hanya satu kali seumur hidup.Maka seandainya ada orang yang berpendapat perintah haji tersebut dimaksudkan pengulangan (berkali-kali), maka orang tersebut harus mampu menunjukkan qarinah atau kalimat yang menunjukkan kepada pengulangan.

Menurut Ulama’ Qarinah dikelompokkan menjadi tiga :
• Perintah itu dikaitkan dengan syarat, seperti wajib mandi junub.
• Perintah itu dikaitkan dengan illat.
• Perintah itu dikaitkan dengan sifat atau keadaan yang berlaku sebagai illat, seperti kewajiban shalat setiap kali masuk waktu.
            Dari paparan diatas tampak jelas, bahwa berulangnya kewajibannya itu dihubungkan dengan berulangnya sebab.Dalam kaitannya dengan masalah ini Ulama’ menetapkan kaidah.

4. Memerintahkan mengerjakan sesuatu berarti memrintahkan pula segala wasilahnya.Kaidah ini menjelaskan bahwa perbuatan yang diperintahkan itu tidak bisa terwujud tanpa disertai dengan sesuatu yang lain yang dapat mewujudkan perbuatan yang diperintah itu, misalnya kewajiban melaksanakan shalat. Shalat ini tidak dapat dikerjakan tanpa suci terlebih dahulu. Karena itu, perintah shalat berarti juga perintah bersuci.                                         

F. Dilalah dan tuntutan Amr
  1. Menunjukkan wajib, seperti dijelaskan oleh Dr. Zakaria Al- Bardisy bahwa:
“Jumhur sepakat menyatakan bahwa amar menunjukkan tidak wajibnya suatu tuntutan yang secara mutlak selama tidak ada qarinah (hubungan sesuatu) dari ketentuan amar tersebut”
Juga berdasarkan kaidah:
“arti yang makna haqiqi amar ialah menunjukkan wajib (wajibnya perbuatan yang diperintahkannya).
Contoh, firman Allah:
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلاَّ تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَاْ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ -١٢
Artinya:(Allah) Berfirman, “Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak bersujud (kepada Adam) ketika Aku Menyuruhmu?” (Iblis) menjawab, “Aku lebih baik daripada dia. Engkau Ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau Ciptakan dari tanah.”

          Ayat pertama bukan ditunjukkan untuk bertanya, tetapi merupakan pencelaan terhadap iblis karena enggan bersujud kepada Adam tanpa alasan, ketika iblis diperintah sujud.Bentuk perintah amr dalam ayat kedua yaitu, perkataan sujudlah (usjuduu) dengan tidak disertai qarianah menunjukkan kemestian/keharusan.Kalau tidak demikian, Allah tidak mencela iblis karena kedurhakaannya itu.

Artinya:“Bahwa rasulullah SAW telah bersabda: Seandainya tidak akan memberatkan bagi umatku, tentulah aku perintahkan mereka bersiwak pada tiap-tiap hendak shalat”. (Al-hadits)

              Hadits tersebut diatas mengandung pengertian bahwa karena adanya masyaqah (kesulitan), maka tidak wajib bersiwak.Padahal ulama telah menyepakati bersama bahwa siwak tetap disunahkan (nadab), namun nadab disini bukanlah yang pokok, tetapi hanyalah karena adanya qarinah, yaitu masyaqah.
             Perlu diketahui bahwa suatu perintah yang tidak ada qarinahnya dengan sesuatu hal yang lain menunjukkan arti kemestian (wajib).

2. Menunjukkan anjuran (nadab) berdasarkan kaidah:
   Arti yang pokok dalam amr/suruhan itu ialah menunukkan anjuran (nadab).”
     
Perintah itu memang adakalanya untuk suruhan (wajib), seperti: shalat lima waktu, adakalanya untuk anjuran (nadab), seperti shalat dhuha. Diantara kemestian dan anjuran yang paling diyakini adalah anjuran.
              Kesimpulannya, antara amr tetap mengandung arti wajib, kecuali apabila amr tadi sudah tidak mutlak lagi.Atau terdapat qarinah yang dapat mengubah ketentuan tersebut, sehingga amr itu berubah pula, yakni tidak menunjukkan wajib, tetapi menjadi bentuk yang menunjukkan hukum sunah atau mubah dan sebagainya sesuai dengan qarinah yang mempengaruhinya.



[1]              Ialah sesuatu yang diberikan oleh suami kepada istri yang diceraikan sebagai penghibur,selain nafkah sesuai kemampuannya

 

[2]               Kemudian dari ayat-ayat ini terbentuklah ijma’ ulama’ terkait hukum wajib zakat. (Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarh Ibnu Qasim al-‘Ubadi, Beirut, Dar al-Fikr, cetakan kedua, 2002, jilid II, halaman: 270 - 271)

 Kesimpulan

Amr adalah bahasa arab yang artinya perintah, sedang menurut istilah adalah suatu lafal yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk mengerjakan suatu pekerjaan dari atasan kepada bawahan. Dari definisi tersebut, dapat difahami bahwa amr itu tidak hanya ditunjuk pada lafal yang memakai shigat amar, tetapi ditunjuk pula oleh semua bentuk kata yang didalamnya mengandung arti perintah, sebab perintah itu terkadang menggunakan kata-kata yang berarti majaz.
Sekalipun demikian, yang terpenting dari arti amar adalah bahwa didalam kata amar terkandung unsur tuntutan untuk mengerjakan.

0 komentar:

Post a Comment