A. Pengertian Amr
Amr adalah bahasa arab
yang artinya perintah, sedang menurut istilah adalah suatu lafal yang
didalamnya menunjukkan tuntutan untuk mengerjakan suatu pekerjaan dari atasan
kepada bawahan.
Dari definisi tersebut, dapat difahami bahwa amr itu tidak hanya ditunjuk pada
lafal yang memakai shigat amar, tetapi ditunjuk pula oleh semua bentuk kata
yang didalamnya mengandung arti perintah, sebab perintah itu terkadang
menggunakan kata-kata yang berarti majaz.
Amr adalah tuntutan
dilakukanya sebuah perbuatan dengan menggunakan ucapan dari orang yang lebih
rendah secara wajib. Apabila permintaan ditujukan kepada orang yang
sejajar, maka dinamakan iltimas (permintaan). Dan bila ditujukan kepada orang
yang lebih tinggi, maka dinamakan su’al (permohonan).Sedangkan permintaan yang
disampaikan tidak secara wajib, yakni permintaan atas sesuatu yang boleh
ditinggalkan, maka dzahirnya permintaan ini bukanlah amr secara hakikat
sekalipun demikian, yang terpenting dari arti amar adalah bahwa didalam kata
amar terkandung unsur tuntutan untuk mengerjakan.
B.Sighat Amr
Shighot ‘amr digunakan untuk
bermacam-macam makna, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan makna yang
haqiqi apabila ‘amr tidak ada qarinah atas lafadz ‘amr tersebut.
Ulama bersepakat bahwa shighot
‘amr tidak bermakna haqiqi pada pada semua makna dilalh tersebut, namun ulama
berbgeda pendapat apakah asal peletakan ‘amr itu bersifat wujub, nadb ataukah
ibahah.
Umumnya
para ulama berpendapat bahwa shighot ‘amr itu diletakkan hanya untuk makna dari
ketiganya (wujub, nadb, ibahah) maka selain ketiga tersebut, ‘amr bermakna
majazi, ulama berbeda pendapat dalam menentukan makna tersebut.
Amr merupakan lafal yang mengandung
pengertian perintah. Sighat amr berbentuk sebagai berikut:
1. Berbentuk
fi’il amr/perintah langsung. Misalnya, firman Allah:
وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ
وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya: “Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta
orang yang rukuk.”(Q.S Al-Baqarah :43)
2. Berbentuk mudhari’ yang didahului
oleh lam amr. Misalnya, firman Allah:
ثُمَّ لْيَقْضُوا
تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ -٢٩
Artinya:“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran (yang ada di
badan) mereka, menyempurnakan nazar-nazar mereka dan melakukan thawaf
sekeliling rumah tua (Baitullah)”(Q.S Hajj:29)
3. Dengan menggunakan isim fi’il amr,
seperti:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ عَلَيْكُمْ أَنفُسَكُمْ لاَ يَضُرُّكُم مَّن ضَلَّ إِذَا
اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعاً فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ
تَعْمَلُونَ -
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu; (karena) orang
yang sesat itu tidak akan membahayakanmu apabila kamu telah mendapa tpetunjuk.Hanya
kepada Allah kamu semua akan kembali,kemudian Dia akan Menerangkan kepadamu apa
yang telah kamu kerjakan.”(Q.S Al-Maidah:105).
4. Dengan menggunakan isim mashdar
pengganti fi’il, misalnya:
وَإِذْ أَخَذْنَا
مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لاَ تَعْبُدُونَ إِلاَّ اللّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَاناً وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ Artinya:”Dan (ingatlah) ketika Kami Mengambil janji
dari Bani Israil, “Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah
kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin.”(Q.S
Al-Baqarah:83)
5. Dengan menggunakan kalimat
berita (kabar), misalnya:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ -٢٢٨
Artinya:“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka
(menunggu) tiga kali qurū”(Q.S Al-Baqarah:228)
6. Berbentuk lafal yang searti
dengan amar, misalnya:• Lafal kutiba, seperti Al-Baqarah 183
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواْكُتِبَعَلَيْكُمُالصِّيَامُ
-١٨٣
Artinya:“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa.”
• Lafal faradla, seperti an-nisa’ 24
فَآتُوهُنَّأُجُورَهُنَّفَرِيضَةً
-٢٤
Artinya:“Berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu
kewajiban”.
C. Pengaruh qarinah dalam
amar
Dalam menanggapi persoalan
sejauh mana pangaruh qarinah dalam amar, para ahli hukum berbeda pendapat,
diantaranya adalah:
1. Ibn Hazm dan kelompok
al-Dhahiry berpendapat bahwa semua amar menunjukkan arti wajib,
sekalipun diikuti qarinah,
kecuali ditemukan adanya nash lain atau ijma’ yang dapat mengalihkan pengertian
amar dari wajib.
2. Jumhur ulama berpendapat bahwa
kata amar yang tanpa ada qarinah tetap menunjukkan wajib. Jika ada qarinah ini
maka apabila qarinah tersebut menunjukan hukum Sunnah, maka ‘amr dihukumi
Sunnah,begitupula ketika qorinah menunjukkan pada Ibahah, maka ‘amr tersebut
dihukumi Ibahah.
Contoh:
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواْإِذَاتَدَايَنتُمبِدَيْنٍإِلَىأَجَلٍمُّسَمًّىفَاكْتُبُوهُوَلْيَكْتُببَّيْنَكُمْكَاتِبٌبِالْعَدْلِ
-٢٨٢
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila
kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya.Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar.(al-Baqarah: 282)
Pada
ayat ini ditemukan adanya kasus tentang hukum pencatatan dan persaksian dalam
kasus utang-piutang, yang tertuang pada kalimat فَاكْتُبُوهُarti yang terkandung dalam
kalimat ini diperselisihkan para ahli ushul, yaitu:
1. Kelompok al-Dhahiry
berpendapat bahwa hukum yang terdapat didalam perintah pencatatan dan penulisan
dalam hutang-piutang adalah wajib, sebab bentuk amar menunjukkan wajib. Dan
arti ini tidak bisa menyimpang dari arti amar secara lahiriyah, kecuali ada
nash atau ijma’ yang mengalihkannya dari wajib.
2. Jumhur ulama berpendapat
bahwa hukum yang dapat diambil dari kata amar adalah nadb, sebab kebanyakan
masyarakat muslim dalam melakukan transaksi kontrak jual-beli yang dilakukan
dengan tidak kontan, tidak dilakukan oleh mereka dengan percatatan dan
penulisan, sehingga ijma’ kaum muslimin tersebut dianggap sebagai indikasi
(qarinah) yang menunjukkan bahwa amar tersebut tidak menunjukkan hukum wajib.
Dengan demikian, untuk menentukan sesuatu
yang dapat dianggap sebagai qarinah, para ahli berbeda-beda, sehingga berakibat
pada terjadinya perbedaan dalam penetapan hukum, misalnya problem muth’ah bagi
wanita yang diceraikan suami dalam surat al-Baqarah: 236 yaitu,
وَمَتِّعُوهُنَّعَلَىالْمُوسِعِقَدَرُهُ
-٢٣٦
Artinya:“Dan hendaklah kamu beri mereka mutah,[1]
bagi yang mampu menurut kemampuannya.”
Dalam menanggapi kasus ayat ini,
kelompok imam syafi’I, hanafiyah, hanabilah menganggap bahwa pemberian muth’ah
kepada wanita telah diceraikan suami adalah wajib, berdasarkan pada kemutlakan
perintah. Begitu juga Ibn ‘Umar (dari keempat sahabat), sa’id bin Musayyab dan
imam Mujahid (dari kelompok Tabi’in).
D. Makna Dilalah Shigot ‘Amr
Imam Ar-Razi berkata didalam
kitabnya Al-Mahsul, bahwa ahli ushul telah sepakat menetapkan bahwa bentuk
if’al dipergunakan dalam 15 macam makna sesuai dengan qarinah yang mempengaruhinya.
1. Ijab (wajib). Contoh
firmannya:
وَأَقِيمُواْ
الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِينَ -٤٣
Artinya:“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta
orang yang rukuk”. (al-Baqarah: 43). Ayat ini dihukumi wajib karena ada
qorinah yang menghukuminya wajib,kemudian para ulama mengadakan ijma’ tentang
hal itu.[2]
2. Untuk menunjukkan nadb
(mandub = sunah). Misalnya:
فَكَاتِبُوهُمْ
إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْراً -٣٣
Artinya:“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang
Dikaruniakan-Nya kepadamu”. (an-Nur: 33)
3. Takdib (adab). Misalnya:
Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr
Al Anshary Al Badry radhiallahuanhu dia berkata: Rasulullah shollallohu ‘alaihi
wa sallam bersabda : Sesungguhnya ungkapan yang telah dikenal orang-orang dari
ucapan nabi-nabi terdahulu adalah: Jika engkau tidak malu perbuatlah apa yang
engkau suka. (Riwayat Bukhori)
4. Misalnya firman Allah:
وَاسْتَشْهِدُواْ
شَهِيدَيْنِ من رِّجَالِكُمْ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ -٢٨٢
Artinya:“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki- laki di antara
kamu”. (al-Baqarah: 282)
5. Ibahah (kebolehan). Contoh
firman Allah:
وَكُلُواْوَاشْرَبُواْحَتَّىيَتَبَيَّنَلَكُمُالْخَيْطُالأَبْيَضُمِنَالْخَيْطِالأَسْوَدِمِنَالْفَجْرِ
-١٨٧
Artinya:“Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang
putih dan benang hitam, yaitu fajar”. (al-Baqarah :87)
6. Tahdid (ancaman), contoh
firman Allah:
اعْمَلُوامَاشِئْتُمْإِنَّهُبِمَاتَعْمَلُونَبَصِيرٌ
-٤٠
Artinya:“Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Melihat
apa yang kamu kerjakan”. (Fushilat: 40)
7. Inzhar (peringatan),
contoh firman Allah:
وَجَعَلُواْلِلّهِأَندَاداًلِّيُضِلُّواْعَنسَبِيلِهِقُلْتَمَتَّعُواْفَإِنَّمَصِيرَكُمْإِلَىالنَّارِ
-٣٠
Artinya:
“Dan mereka (orang kafir) itu telah menjadikan tandingan bagi Allah untuk
menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya Katakanlah (Muhammad),“Bersenang-senanglah
kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu ke neraka.”
8. Ikram (memuliakan)
ادْخُلُوهَابِسَلاَمٍآمِنِينَ
-٤٦
Artinya:(Allah Berfirman), “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera dan aman.”
9. Taqhir (penghinaan)
كُونُواْقِرَدَةًخَاسِئِينَ -٦٥
Artinya: “Jadilah kamu kera yang hina!”
10. Ta’jiz (melemahkan)
وَإِنكُنتُمْفِيرَيْبٍمِّمَّانَزَّلْنَاعَلَىعَبْدِنَافَأْتُواْبِسُورَةٍمِّنمِّثْلِهِوَادْعُواْشُهَدَاءكُممِّندُونِاللّهِإِنْكُنْتُمْصَادِقِينَ
-٢٣
Artinya:“Dan jika kamu meragukan (al-Quran) yang Kami Turunkan kepada hamba
Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah
penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”
11. Taswiyah (mempersamakan)
اصْلَوْهَافَاصْبِرُواأَوْلَاتَصْبِرُواسَوَاء
-١٦
Artinya:“Baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu.”
12. Tamanni (angan-angan),
misalnya Syi’ir arab:
Wahai sang malam!
Wahai kantuk, menghilanglah
Wahai waktu subuh! Berhentilah dahulu
Jangan segera datang
(Syi’ir Ummul Qais)
13. Doa (berdoa)
قَالَرَبِّاغْفِرْلِيوَهَبْلِيمُلْكاًلَّايَنبَغِيلِأَحَدٍمِّنْبَعْدِيإِنَّكَأَنتَالْوَهَّابُ
-٣٥
Artinya:Dia berkata, “Ya Tuhan-ku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku
kerajaan yang tidak dimiliki oleh siapa pun setelahku. Sungguh, Engkaulah Yang
Maha Pemberi.
14. Ihanah (meremehkan)
ذُقْإِنَّكَأَنتَالْعَزِيزُالْكَرِيمُ
-٤٩
Artinya:“Rasakanlah, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang perkasa lagi
mulia.”
15. Imtinan(anugrah)
فَكُلُواْمِمَّارَزَقَكُمُاللّهُحَلالاًطَيِّباًوَاشْكُرُواْنِعْمَتَاللّهِإِنكُنتُمْإِيَّاهُتَعْبُدُونَ
-١١٤
Artinya:“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah Diberikan
Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya menyembah
kepada-Nya.”
E. Kaidah-kaidah amar
Kaidah-kaidah Amr yaitu
ketentuan-ketentuan yang dipakai para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum.
Ulama’ Ushul merumuskan kaidah-kaidah Amr dalam empat bentuk, yaitu :
1. Perintah setelah larangan
menunjukkan kepada kebolehan.
Yang dimaksud kaidah diatas
yaitu apabila ada perbuatan-perbuatan yang sebelumnya dilarang, lalu datang
perintah mengerjakan, maka perintah tersebut bukan perintah wajib tetapi hanya
bersifat membolehkan.
2. Pada dasarnya perintah itu
menghendaki segera dilaksanakan.
Perintah yang adakalanya
ditentukan waktunya dan adakalanya tidak. Jika suatu perintah disertai waktu
tertentu, misalnya tentang haji, seperti dalam surat Al-Hajj 27 :
وأذنفيالناسبالحجيأتوكرجالاوعلىكلضامريأتينمنكلفجعميق
-٢٧
Artinya : “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji”.
Jumhur ulama’ sepakat bahwa
perintah mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan waktu harus dikerjakan
sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan tidak boleh diluar waktu. Bila
diluar waktu, tanpa sebab yang dibenarkan oleh syara’ maka akan berdosa.
3. Pada dasarnya perintah itu
tidak menghendaki pengulangan (berkali-kali mengerjakan perintah).
Contohnya perintah menunaikan haji,
yaitu hanya satu kali seumur hidup.Maka seandainya ada orang yang
berpendapat perintah haji tersebut dimaksudkan pengulangan (berkali-kali), maka
orang tersebut harus mampu menunjukkan qarinah atau kalimat yang menunjukkan
kepada pengulangan.
Menurut Ulama’ Qarinah dikelompokkan menjadi tiga :
• Perintah itu dikaitkan dengan syarat, seperti wajib mandi junub.
• Perintah itu dikaitkan dengan illat.
• Perintah itu dikaitkan dengan sifat atau keadaan yang berlaku sebagai illat,
seperti kewajiban shalat setiap kali masuk waktu.
Dari paparan diatas tampak
jelas, bahwa berulangnya kewajibannya itu dihubungkan dengan
berulangnya sebab.Dalam kaitannya dengan masalah ini Ulama’
menetapkan kaidah.
4. Memerintahkan mengerjakan
sesuatu berarti memrintahkan pula segala wasilahnya.Kaidah ini menjelaskan
bahwa perbuatan yang diperintahkan itu tidak bisa terwujud tanpa disertai
dengan sesuatu yang lain yang dapat mewujudkan perbuatan yang diperintah itu,
misalnya kewajiban melaksanakan shalat. Shalat ini tidak dapat dikerjakan tanpa
suci terlebih dahulu. Karena itu, perintah shalat berarti juga perintah
bersuci.
F. Dilalah dan tuntutan Amr
1. Menunjukkan
wajib, seperti dijelaskan oleh Dr. Zakaria Al- Bardisy bahwa:
“Jumhur sepakat menyatakan bahwa amar menunjukkan tidak wajibnya suatu tuntutan
yang secara mutlak selama tidak ada qarinah (hubungan sesuatu) dari ketentuan
amar tersebut”
Juga berdasarkan kaidah:
“arti yang makna haqiqi amar ialah menunjukkan wajib (wajibnya perbuatan yang
diperintahkannya).
Contoh, firman Allah:
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلاَّ تَسْجُدَ
إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَاْ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ
مِن طِينٍ -١٢
Artinya:(Allah) Berfirman, “Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak
bersujud (kepada Adam) ketika Aku Menyuruhmu?” (Iblis) menjawab, “Aku lebih
baik daripada dia. Engkau Ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau Ciptakan
dari tanah.”
Ayat pertama bukan ditunjukkan untuk bertanya, tetapi merupakan pencelaan terhadap iblis karena enggan bersujud kepada Adam tanpa alasan, ketika iblis diperintah sujud.Bentuk perintah amr dalam ayat kedua yaitu, perkataan sujudlah (usjuduu) dengan tidak disertai qarianah menunjukkan kemestian/keharusan.Kalau tidak demikian, Allah tidak mencela iblis karena kedurhakaannya itu.
Artinya:“Bahwa rasulullah SAW telah bersabda: Seandainya tidak akan
memberatkan bagi umatku, tentulah aku perintahkan mereka bersiwak pada
tiap-tiap hendak shalat”. (Al-hadits)
Hadits tersebut diatas mengandung
pengertian bahwa karena adanya masyaqah (kesulitan), maka tidak wajib
bersiwak.Padahal ulama telah menyepakati bersama bahwa siwak tetap disunahkan
(nadab), namun nadab disini bukanlah yang pokok, tetapi hanyalah karena adanya
qarinah, yaitu masyaqah.
Perlu diketahui bahwa suatu
perintah yang tidak ada qarinahnya dengan sesuatu hal yang lain menunjukkan
arti kemestian (wajib).
2. Menunjukkan anjuran
(nadab) berdasarkan kaidah:
“Arti yang pokok dalam amr/suruhan
itu ialah menunukkan anjuran (nadab).”
Perintah itu memang adakalanya untuk
suruhan (wajib), seperti: shalat lima waktu, adakalanya untuk anjuran (nadab),
seperti shalat dhuha. Diantara kemestian dan anjuran yang paling diyakini
adalah anjuran.
Kesimpulannya, antara amr
tetap mengandung arti wajib, kecuali apabila amr tadi sudah tidak
mutlak lagi.Atau terdapat qarinah yang dapat mengubah ketentuan
tersebut, sehingga amr itu berubah pula, yakni tidak menunjukkan wajib, tetapi
menjadi bentuk yang menunjukkan hukum sunah atau mubah dan sebagainya sesuai
dengan qarinah yang mempengaruhinya.
[1] Ialah sesuatu yang diberikan oleh suami kepada istri yang diceraikan
sebagai penghibur,selain nafkah sesuai kemampuannya
[2]
Kemudian dari ayat-ayat ini terbentuklah
ijma’ ulama’ terkait hukum wajib zakat. (Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri
‘ala Syarh Ibnu Qasim al-‘Ubadi, Beirut, Dar al-Fikr, cetakan kedua, 2002,
jilid II, halaman: 270 - 271)
Amr adalah bahasa
arab yang artinya perintah, sedang menurut istilah adalah suatu lafal yang
didalamnya menunjukkan tuntutan untuk mengerjakan suatu pekerjaan dari atasan
kepada bawahan. Dari definisi tersebut, dapat difahami bahwa amr itu tidak
hanya ditunjuk pada lafal yang memakai shigat amar, tetapi ditunjuk pula oleh
semua bentuk kata yang didalamnya mengandung arti perintah, sebab perintah itu
terkadang menggunakan kata-kata yang berarti majaz.
Sekalipun demikian, yang terpenting dari arti amar adalah bahwa didalam kata
amar terkandung unsur tuntutan untuk mengerjakan.
0 komentar:
Post a Comment