Thursday, November 5, 2020

Sunnah dalam Konteks Ushul Fiqih

 



A.  Pengertian Sunnah 

a.    Secara etimologi

Makna kata sunnah adalah perbuatan yang semula belum pernah dilakukan kemudian diikuti oleh orang lain, baik perbuatan yang terpuji maupun yang tercela.

Sabda Rasulullah SAW:

مَنْ سَنَّ فِى الاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرَهُ وَ اَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ .

 

Artinya: “Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik didalam Islam, maka ia menerima pahalannya dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya”. (H.R. Muslim)

b.    Secara terminologi

Pengertian sunnah bisa dilihat dari tiga disiplin ilmu:

1.    Ilmu hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.

2.    Ilmu ushul fiqhi adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.

3.    Ilmu fiqhi adalah salah satu hukum takhlifi, yang berarti suatu perbuatan yang akan mendapatkan pahala bila dikerjakan dan tidak berdosa apabila ditinggalkan.

Para ulama islam mengutip kata Sunnah dari al-Qur’an dan bahasa Arab yang mereka gunakan dalam arti khusus yaitu: cara yang biasa dilakukan dalam pengamalan agama”.

Sunnah dalam istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan   dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun pengakuan dan sifat Nabi”. Sedangkan sunnah dalam istilah ulama fiqh adalah: “sifat hukum bagi suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti” dengan pengertian diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak berdosa orang yang tidak melakukannya.[1]

 

Perbedaan ahli ushul dengan ahli fiqh dalam memberikan arti pada Sunnah sebagaimana disebutkan diatas adalah karena mereka berbeda dalam segi peninjauannya. Ulama ushul menempatkan Sunnah sebagai salah satu sumber atau dalil hukum fiqh. Maksudnya adalah “Hukum ini ditetapkan berdasarkan Sunnah”.

Sedangkan ulama fiqh menempatkan Sunnah itu sebagai salah satu dari hukum syara’.[2]

Dikalangan ulama ada yang membedakan Sunnah dan Hadits, terutama karena dari segi etimologi kedua kata itu memang berbeda. Kata Hadits lebih banyak mengarah kepada ucapan-ucapan Nabi; sedangkan Sunnah lebih banyak mengarah kepada perbuatan dan tindakan Nabi yang sudah menjadi tradisi yang hidup dalam pengamalan agama.

 

B.  Macam-macam Sunnah

Pembagian sunnah dari segi bentuknya:

a.    Sunnah Qauliyyah

Adalah ucapan lisan dari Nabi Muhammad SAW yang didengar oleh sahabat beliau dan disampaikannya kepada orang lain.

Contoh sunnah qauliyyah:                               

عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Artinya: Dari Annas ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda: Belum beriman salah seorang dari kamu, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya”.

b.    Sunnah Fi’liyah

Adalah semua perbuatan dan tingkah laku Nabi Muhammad SAW yang dilihat atau diketahui atau diperhatikan oleh sahabat, kemudian disampaikan kepada orang lain dengan ucapannya.

Contoh sunnah fi’liyah:                                                              

عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيْمٍ عَنْ عَمِّهِ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَرَجَ يَسْتَسْقِيي قَالَ: فَحَوَّلَ إِلَى النَّاسِ ظَهْرَهُ وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ يَدْعُو ثُمَّ حَوَّلَ رِدَاءَهُ تُمَّ صَلَّى لَنَا رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيْهِمَا بِالْقِرَاءَةِ

Artinya: Dari ubbad bin tamim, dari pamannya, ia berkata: “Saya melihat Rasullah SAW pada hari beliau keluar untuk melaksanakan shalat gerhana matahari, katanya: “Maka beliau membalikkan tubuhnya membelakangi jama’ah menghadap kiblat dan berdoa, kemudian beliau membalikkan selendangnya, kemudian beliau shalat bersama kami dua rekaat dengan menjaharkan bacaannya pada kedua rekaat itu”        .  

c.    Sunnah Taqririyah

Adalah perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak ditanggapi atau dicegah oleh Nabi, namun Nabi diam, maka hal ini merupakan pengakuan dari Nabi. Keadaan diamnya Nabi itu dapat dibedakan pada dua bentuk:

1). Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi. Dalam hal ini kadang-kadang Nabi mengetahui bahwa si pelaku berketerusan melakukan perbuatan yang pernah dibenci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini tidaklah menunjukkan bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukannya. Diamnyan Nabi dalam bentuk ini menunjukkan pencabutan larangan sebelumnya.

2). Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui pula haramnya. Diamya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah ibahah atau meniadakan keberatan untuk diperbuat. Karena seandainya perbuatan itu dilarang, tetapi Nabi mendiamkannya padahal ia mampu untuk mencegahnya, berarti Nabi berbuat kesalahan; sedangkan Nabi bersifat ma’shum (terhindar dari kesalahan).

 Contoh sunnah taririyyah:

عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيْدِ قَالَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِضَبٍّ مَشْوِيٍّ فَأَهْوَى إِلَيْهِ لِيَأْكُلَ فَقِيْلَ لَهُ إِنَّهُ ضَبٌّ فَأَمْسَكَ يَدَهُ فَقَالَ خَالِدٌ أَحَرَامٌ هُوَ قَالَ لاَ وَلَكِنَّهُ لاَ يَكُنونُ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ فَأَكَلَ خَالِدٌ وَرَسُولُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ

Artinya: Dari Khalid bin Walid ra katanya: “Kepada Nabi SAW dihidangkan makanan dhabb (sejenis biawak) yang dipanggang untuk dimakan beliau. Kemudian ada yang berkata kepada beliau: “Itu adalah dhabb”, maka beliau menahan tangannya, maka Khalid berkata: “Apakah haram memakannya?”  Beliau menjawab: “Tidak,tetapi binatang jenis itu tidak biasa ditemukan didaerah saya, maka saya tidak suka dan menghindarinya”. Maka Khalid memakannya, sedang Rasulullah memandanginya.

 

 

 

 

 

C.  Jenis-jenis sunnah ada dua jenis

Perbuatan dari pemilik (penyampai) syariat, yakni Nabi Muhammad saw tidak lepas adakalanya dilakukan sebagai pendekatan diri dan ketaatan, atau tanpa ada unsur semacam ini.

فَاِنْ كَانَ عَلَى وَجْهِ الْقُرْبَةِ وَالطَّاعَةِ فَاِنْ دَلَّ دَلِيْلٌ عَلَى الإِخْتِصَاصِ بِهِ يُحْمَلُ عَلىَ الإِخْتِصَاصِ كَزِيَادَتِهِ فِى النِّكَاحِ عَلَى أَرْبَعَةِ نِسْوَةٍ (وَاِنْ لَمْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ لاَ يَخْتَصُّ بِهِ لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فَيُحْمَلُ عَلَى الْوُجُوْبِ عِنْدَ بَعْضِ أَصْحَابِنَا) فِى حَقِّهِ وَحَقِّنَا لِأَنَّهُ اْلأَحْوَطُ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ يُحْمَلُ عَلىَ النَّدْبِ لِأَنَّهُ الْمُحَقَّقِ بَعْدَ الطَّلَبِ (وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ يُتَوَقَّفُ فِيْهِ) لِتَعَارُضِ الْأَدِلَّةِ فِى ذَلِكَ
فَاِنْ كَانَ عَلَى وَجْهِ غَيْرِ وَجْهِ اْلقُرْبَةِ وَالطَّاعَةِ فَيُحْمَلُ عَلَى اْلإِبَاحَةِ) كَالْأَكْلِ وَالشُّرْبِ فِى حَقِّهِ وَحَقَّنَا

Jika perbuatan tersebut sebagai pendekatan diri dan ketaatan, manakala ditemukan dalil yang mengkhususkan bagi Nabi, maka diarahkan khusus bagi Nabi Seperti Nabi saw menikahi lebih dari empat istri, Dan apabila dalil tersebut tidak ada, maka perbuatan tersebut tidak dikhususkan bagi Nabi SAW Sebab Allah swt telah berfirman, QS. Al-Ahzab; 21: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu” Kemudian perbuatan tersebut diarahkan pada wajib menurut sebagian Ashhab Syafi’iyyah, baik bagi Nabi maupun bagi kita, karena hal ini lebih berhati-hati ,Sebagian Ashhab ada yang menyatakan, diarahkan pada sunnah, karena hal ini lebih diyakini setelah adanya tuntutan, Sebagian Ashhab yang lain menyatakan ditangguhkan, karena dalil-dalil yang menjelaskan wajib dan sunnah saling bertentangan. Apabila perbuatan tersebut memiliki unsur selain sebagai pendekatan diri dan ketaatan, maka diarahkan pada mubah (boleh dilakukan), seperti makan dan minum, baik bagi nabi maupun bagi kita.[3]

Dengan demikian jenis-jenis sunnah ada 2 jenis:

A.   Memiliki unsur pendekatan diri dan ketaatan, diperinci:

1.    Ada dalil yang mengkhususkan bagi nabi, maka diarahkan khusus bagi nabi. Seperti nabi yang memiliki lebih dari empat istri dalam pernikahan.

2.    Tidak ada dalil (yang mengkhususkan bagi nabi), maka tidak dikhususkan bagi nabi. Dan diarahkan pada wajib menurut sebagian Ashhab Syafi’iyyah, bagi Nabi dan bagi kita. Sebagian Ashhab menyatakan, diarahkan pada sunnah. Ashhab yang lain menyatakan ditangguhkan.

 

B.   Memiliki unsur selain pendekatan diri dan ketaatan, maka diarahkan pada mubah (boleh dilakukan), seperti makan dan minum, bagi Nabi maupun bagi kita.[4]

 

D.  Fungsi Sunnah

Dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari Sunnah. Dengan demikian fungsi Sunnah yang utama adalah untuk menjelaskan al-Qur’an.

Dengan demikian apabila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka Sunnah disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut:

1.    Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Sunnah hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam al-Qur’an.

Contohnya firman Allah dalam surat al-baqarah (2): 110:

وَ أَقيموا الصلاة واتوا الز كاة ....

“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat....”

2.    Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam al-Qur’an dalam hal:

·           Menjelaskan arti yang masih samar dalam al-Qur’an

·           Merinci apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara garis besar

·           Membatasi apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara umum

·           Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al-Qur’an

 

3.    Menetapkan sesuatu hukum dalam Sunnah yang secara jelas tidak terdapat dalam al-Qur’an.  Dengan demikian kelihatan bahwa Sunnah menetapkan sendiri hukum yang tidak ditetapkan dalam al-Qur’an. Fungsi Sunnah dalam bentuk ini disebut “itsbat” atau “insya”.

Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan Sunnah itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan al-Qur’an secara terbatas.

 

 

 

 

 

E.   Penjelasaan Sunnah terhadap Hukum dalam Al-Qur’an.

Pada dasarnya Sunnah Nabi berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam al-Qur’an dalam segala bentuknya. Allah SWT menetapkan hukum dalam al-Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam pengamalan itulah terletak tujuan yang digariskan. Tetapi pengamalan hukum Allah itu dalam bentuk tertentu tidak akan terlaksana menurut apa adanya sebelum diberi penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian penjelasan Nabi itu bertujuan supaya hukum-hukum yang ditetapkan Allah dalam al-Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat.

Penjelasan Nabi terhadap hukum dalam al-Qur’an memiliki beberapa bentuk:

1. Nabi memberi penjelasan dengan cara dan bahasa yang mudah ditangkap oleh umat sesuai dengan kemampuan akal mereka pada waktu itu. Cara seperti ini sesuai dengan pesan Allah. Karena umat Islam yang menerima penjelasan waktu itu masih sederhana cara berfikirnya, maka penjelasan Nabi terlihat begitu sederhana sehingga mudah dipahami dan cepat dilaksanakan oleh umat.

2. Nabi memberikan penjelasan dengan cara-cara dan contoh-contoh yang secara nyata terdapat disekitar lingkungan kehidupan waktu itu.

Dengan demikian hukum yang ditetapkan dalam al-Qur’an mudah diterima dan dijalankan oleh umat. Penjelasan yang melampaui dari hal itu atau yang tidak ada pada waktu itu tentu tidak akan dapat dipahami oleh umat.  



[1] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, 2010, Jakarta: Amzah.

 

[2] Abd Rahman. Op.Cit., Hal: 60

[3]Syekh Imam Mahalli as-Syafi’i, Syarah Al-Waroqot,1999

[4] Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, Qowaid Asasiyyah Fi Ushul fiqh, Hal: 51-52


Lokasi: Magelang Magelang, Magelang City, Central Java, Indonesia

0 komentar:

Post a Comment