Wednesday, November 4, 2020

IJMA' dalam Ushul Fiqih

 

 

A.   Pengertian Ijma’

Secara etimalogi, ijma’ terbagi kepada dua pegertian, yaitu:

1.    Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus, misalnya perkataan:

جمع القوم على كذالك اذا التفقوا عليه

Artinya:  Suatu kaum telah berijma’ begini, jika mereka telah sepakat begini.

Pengertian tersebut juga dapat ditemukan didalam surah Yusuf ayat 15, yaitu:

فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَةِ الْجُبِّ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَذَا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ

Artinya : Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya kedalam sumur (lalu mereka memasukkan dia)…” (QS. Yusuf: 15).

2.    Ijma berarti tekad atau niat yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Pengertian ini dapat dilihat pada surat Yunus ayat 71:

...فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلَا تُنْظِرُونِ...

Artinya:  “ Karena itu bulatkanlah keputusan dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku).” (QS. Yunus: 71).

Adapun pengertian ijma’ secara terminologi, para ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikannya:

a.    Pengarang kitab Fushulul Bada’I berpendapat bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan semua ulama mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’.

b.    Pengarang kitab Tahrir, Al-Kamal bin Hamam berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad SAW. terhadap masalah syara’.

c.    Sedangkan menurut terjemahan Al-Waroqot, ijma’ adalah kesepakatan ulama yang sejaman atas hukum suatu kasus. Persetujuan orang-orang awam kepada mereka (para ulama) itu tidak dianggap sebagai ijma.[1]

 

B.   Syarat dan Rukun Ijma’

Dapat diketahui bahwa ijma’ itu dapat terjadi bila telah memenuhi empat macam kriteria dibawah ini:

1.  Adanya sebilang para mujtahid pada waktu terjadinya suatu peristiwa, karena kesepakatan itu tidak dapat dicapai kecuali dengan beberapa pendapat, yang masing-masing diantaranya sesuai dengan yang lainnya.

2.  Adanya kesepakatan semua mujtahid umat Islam atas suatu hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada waktu terjadinya, tanpa memandang negeri mereka, kebangsaannya atau kelompoknya.

3.  Adanya kesepakatan mereka itu dengan menampilkan pendapat masing-masing  mereka mengenai suatu kejadian dengan jelas, baik berbentuk (qauli), misalnya dengan memberi fatwa mengenai suatu kejadian, atau berbentuk perbuatan (fi’li) misalnya suatu keputusan mengenai suatu hal atau kejadian. Atau menampilkan pendapat menjatuhkan itu secara menyendiri, dan ketika telah dikumpulkan beberapa pendapat tampak jelas kesepakatannya.

4.  Dapat direalisir kesepakatan dari semua mujtahid atas suatu hukum. Seandainya para sebagian mereka telah terjadi kesepakatan, maka tidaklah terjadi ijma’ atas dasar kesepakatan sebagian besar. Ketika jumlah penentang itu sedikit dan jumlah yang mufakat itu lebih banyak berarti masih terdapat pula kemungkinan benar bagi suatu pihak dan kemungkinan salah bagi pihak lainnya. Jadi, kesepakatan mayoritas itu tidak menjadi hujjah syar’iyyah secara pasti dan apalagi dikukuhkan.

Syarat terbentuknya ijma’ yaitu sebagai berikut :

1.    Yang bersepakat adalah para Mujtahid. Secara umum mujtahid itu diartikan sebagai            ulama yang mempunyai kemampuan dalam meng-istinbaht hukum dari hukum-hukum syara’. Dalam kitab Jam’ul Jawami disebutkan bahwa yang disebut dengan mujtahid ialah orang yang faqih. Ada juga yang memandang mujtahid sebagai ahlu ahli wal aqdi, hal ini berdasarkan pendapat Al-Wadih dalam kitab Isbath, bahwa mujtahid yang diterima fatwanya ialah ahlu al-halli wal aqdi.

Pendapat-pendapat tersebut sebenarnya memiliki kesamaan, yakni bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu meng-istinbath hukum dari sumbernya. Jika dalam suatu masa tidak ada seorang pun yang mencapai derajat mujtahid, maka tidak bisa dikatakan ijma’. Mekipun ada, tetapi hanya satu orang, itu pun tetap tidak dikatakan ijma’, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya sendiri.

2.    Para mujtahid harus umat Muhammad SAW. ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan umat Muhammad adalah orang-orang mukallaf dari golongan ahl al-halli wa al-aqdi. Ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang mukallaf dari golonan Muhammad. Tidak bisa dikatakan ijma’ jka kesepakiatan itu dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW. karena ijma’ umat Muhammad SAW. itu telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin bersepakat atau berijma’ untuk melakukan suatu kesalahan.

3.    Dilakukan setelah wafatnya Nabi. Hal itu karena ketika Nabi masih hidup, Nabi-lah yang menjadi sumber hukum dari setiap permasalah yang terjadi.

Adapun rukun ijma’ adalah sebagai berikut:

1.    Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada diantara mereka yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’.

2.     Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.

3.    Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatanya.

4.    Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah Al-Qur’an dan atau hadits Rasulullah SAW.[2]

 

C.   Pembagian Ijma’

Ijma’ umat itu dibagi menjadi dua secara umum yaitu:

1.    Ijma’ qauli dan fi’li (ucapan dan perbuatan)

Yaitu ijma’ dengan cara para ulama ijtihad menetapkan pendapatnya dan kesamaan perbuatannya, baik lisan maupun tulisan yang menerangkan persetujuan atas pendapat mujtahid lain pada masanya. Ijma’ ini disebut juga ijma qath’i

2.    Ijma’ sukuti (diam)

Ialah ijma’ dengab cara para ulama ijtihad tidak mengeluarkan pendapat atas mujtahid lain. Ini disebut juga ijma dzanni. Sebagian ulama berpendapat bahwa sesuatu penetapan, jika yang menetapkan hakim yang berkuasa dan didiamkan oleh para ulama, maka belum dapat dijadikan hujjah. Akan tetapi, sesuatu pendapat yang ditetapkan oleh seorang faqih, lalu didiamkan para ulama lain, maka dapat dipandang ijma’.

Macam-macam ijma’ ditinjau dari segi masanya, tempat terjadinya, atau orang yang melaksanakannya dapat dibagi menjadi beberapa yaitu:

a.    Ijma sahabat, yaitu ijma yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW yang dimaksud adalah zaman khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Utsman bin Affan, Umar bin Khattab, dan Ali bin Abi Thalib.mereka ini jelas dapat dijadikan hujjah tanpa diperselisihkan orang lain sebab Rasulullah SAW sendiri yang memerintahkan.

b.    Ijma syaikhan, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab.

c.    Ijma ahli Madinah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Madzhab Maliki menjadikan ijma’ ahli Madinah sebagai salah satu sumber hukum Islam.

d.    Ijma’ ulama Kuffah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Kuffah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma’ ulama Kuffah sebagai salah satu sumber hukum Islam. Ijma’ dipandang tidak sah, kecuali bila mempunyai sandaran. Sebab ijma’ bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. selain itu fatwa dalam masalah agama tanpa sandaran adalah tidak sah   

D.   Hujjah Ijma’

Ijma’ itu menjadi hujjah dengan sendirinya di tempat yang tidak didapati dalil (nash), yakni Al-Qur’an dan Hadist. Dan tidak menjadi ijma’, kecuali telah disepakati oleh semua ulama Islam dan selama tidak menyalahi nash yang qath’i (kitabullah dan hadist mutawatir).

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa nilai kehujjahan ijma’ ialah dzanni, bukan qath’i. oleh karena itu ijma itu dzanni, maka ijma’ itu dapat dijadikan hujjah dalam urusan amal, bukan dalam urusan I’tiqad. Sebab urusan I’tiqad itu mesti dengan dalil yang qath’i.

Kehujjahan ijma’ itu berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist sebagai berikut.

Menurut Al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…”(Q.S An-Nisaa’: 59)

Menurut Hadist:

إِنَّ أُمَّتِى لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ

Artinya:  “Sesungguhnya umatku tidak akan mungkin bersepakat dalam kesesatan.” (HR. Ibnu Majah no. 3950. Sanad hadits ini dha’if jiddan).

E.   Masa Berlaku Kehujjahan Ijma’

 

Ijma’ menjadi hujjah secara baku sejak generasi kedua, yaitu generasi tabi’in dan generasi sesudahnya sepanjang zaman. Ijma’ itu bisa terjadi dikalangan para sahabat dan lainnya. Menurut pendapat yang tepat (shahih), kehujjahan ijma’ disyaratkan habisnya masa (kematian) orang-orang yang membuat ijma’, karena pakar dalil kehujjahan ijma’ tidak membicarakan ini (hal masa berlakunya kehujjahan ijma’).

 

Menurut pendapat yang lain, kehujjahan ijma’ itu disyaratkan habisnya masa (kematian) orang-orang yang membuat ijma’, karena terdapat kemungkinan terjadinya sesuatu alasan yang menyebabkan menyalahi ijtihadnya, sehingga dia mencabut ijtihadnya tersebut. Perlu di tegaskan bahwa mencabut ijma’ ulama atas suatu hukum itu tidak boleh.

 

Apabila kita berpendapat bahwa, habisnya masa para pembuat ijma’ itu merupakan suatu syarat, maha haruslah diperhitungkan demi syahnya ijma’ pendapat orang-orang yang lahir pada masa orang-orang yang membuat ijma yang mendalami fiqih dan menjadi mujtahid. Menurut pendapat kedua ini berarti para penyelenggara ijam’ tidak boleh mencabut kembali hukum yang telah mereka putuskan melalui ijma’ mereka.

 

F.    Hukum Membatalkan Ijma’

Mencabut ijma atau membatalkan ijma itu tidak boleh atas suatu hukum yang dipermasalahkan sebagaiamana yang di ungkapkan dalam kitab syarah waroqot.[3]

Menolak hukum ijma’ itu adalah dosa besar bahkan beberapa ulama mengatakan kafir. Karena bagaimana pun ijma’ termasuk sandaran hukum Islam yang wajib kita ikuti berdasarkan kesepakatan ulama dalam menyepakati masalah yang tidak terdapat di Al-Qur’an dan Hadist.

G.   Cara Penggunaan Ijma’

Mayoritas ulama ushul fiqh mengatakan bahwa landasan ijma’ itu bisa berasal dari dalil yang qath’i, yaitu Al-Quran, sunnah mutawatir serta bisa juga berdasarkan dalil dzanni, seperti hadits ahad. Sedangkan ulama dzahiriyyah, syi’ah, dan Ibnu Jarir Al-Thabari mengatakan bahwa landasan ijma’ itu harus dalil yang qath’i. Menurut mereka, ijma’ itu dalil yang qath’i. Suatu dalil yang qath’i, tidak mungkin didasarkan kepada dalil dzanni. Disamping itu, seorang mujtahid boleh menolak ijtihad mujtahid lain yang didasarkan kepada qiyas.

Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan maslahah mursalah sebagai landasan ijma”. Para ulama yang menerima maslahah mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung oleh nash yang rinci, tidak pula ditolakmoleh nash, tetapi didukung oleh sejumlah makna nash) sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum menyatakan bahwa ijma’ bisa didasarkan pada maslahah mursalah, dengan syarat apabila kemaslahatan itu berubah, maka ijma pun bisa berubah. Alasan mereka adalah para ahli fiqh madinah ber[endapat bahwa penetapan harga (al-taksir al-jabari) hukumnya bleh, sedangkan para sahabat sebelumnya tidak memberlakukan penetapan harga. Landasan kesepakatan ini adalah maslahah mursalah.

Demikian juga kesepakatan ulama tentang larangan orang yang ada hubungan kekerabatan dan suami istri menjadi saksi dalam kasus istri atau suaminya, atau sebaliknya. Landasan kesepakatan ulama ini adalah maslahah mursalah.

Zakiyuddin Sya’ban, ahli ushul fiqh Mesir, mengatakan bahwa ijma yang didasarkan kepada maslahah mursalah tidak bersifat tetap dan abadi, tetapi bisa berubah sesuai dengan perkembangan kemaslahatan itu sendiri. Karenanya jika terjadi perubahan kemaslahatan, maka ijma’ tersebut boleh dilanggar dan ditentukan hukum lain yang lebih mendatangkan kemaslahatan.

Dengan demikian setiap ijma; yang dapat dijadikan sumber fiqih adalah ijma’ yang mempunyai sandaran qath’i seperti ayat Al-Qur’an atau sunnah yang mutawatir. Maka kalau sandarannya itu dzanni seperti hadits ahad atau qiyas masih dianggap sebagai ijma’, para fuqaha berbeda pendapat. Jumhurul fuqaha memberikan contohnya seperti ijma’ tentang haram memakan lemak babi yang diqiaskan dengan daging babi, dan wajib membuang minyak lampu yang didalamnya terdapat bangkai tikus.[4]



[1] Lih: terjemahan syarah Al-Waroqot hal. 111

[2] Prof. Dr. Abdul Wahab Kallaf. Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) hal. 63-64

[3] Lih: terjemahan Al-Waroqot, hal. 113

[4]Drs. Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh I. (Jakarta: Departemen Agama, 1985). Hal. 105-106


Lokasi: Magelang Magelang, Magelang City, Central Java, Indonesia

0 komentar:

Post a Comment