A. Pengertian Khabar
Al-Khabar menurut istilah arti bahasa adalah berita (lawan kalimat perintah). Dari segi istilah, khabar identik dengan hadist, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi (baik berupa marfu’, mauquf, dan maqthu’), baik berupa perbuatan, perkataan, persetujuan, dan sifat.[1]
Sedangkan menurut istilah ada beberapa pendapat sebagai berikut:
1. Al- Khabar merupakan sinonim Al- Hadits
2. Al- Khabar ialah segala sesuatu yang datang dari selain Nabi Muhammad SAW, sedangakan Al- Hadits sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu orang yang belajar dan mengajar ilmu hadits disebut Muhaddits, sedangkan orang yang sibuk dengan sejarah (tarikh) dan sebagainya disebut dengan pemberita (informan).
3. Al- Hadits lebih spesifik (khusus) daripada Al Khabar, sebab itu setiap hadits adalah khabar dan tidak sebaliknya.
Mayoritas ulama melihat hadist lebih khusus yang datang dari Nabi SAW, sedangkan khabar sesuatu yang datang darinya dan dari yang lain, termasuk berita-berita umat dahulu, para Nabi, dan lain-lain, Misalnya Nabi Isa berkata: Nabi Ibrahim berkata: ... dan lain-lain, termasuk khabar bukan hadist.
Khabar lebih umum daripada hadist daan dapat dikatakan bahwa setiap hadist adalah khabar tapi setiap khabar belum tentu hadist.
B. Perbedaan Hadist dengan Sunnah, Khabar dan Atsar
Para ulama juga membedakan antara hadits, sunnah, khabar dan atsar sebagai berikut:
a. Hadits dan sunnah: hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, taqrir yang bersumber pada Nabi SAW, sedangkan sunnah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, takrir, tabiat, budi pekerti atau perjalanan hidupnya, baik sebelum di angkat menjadi rasul maupun sesudahnya.
b. Hadits dan khabar: sebagian ulama hadits berpendapat bahwa khabar sebagai suatu yang berasal atau disandarkan kepada selain nabi SAW., hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan pada Nabi SAW.
c. Hadits dan atsar: jumhur ulama berpendapat bahwa atsar sama artinya dengan khabar dan hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan pada Nabi SAW, sahabat dan tabi’in.[2]
C. Pembagian Al-Akhbar dan Hukumnya
Khabar (Hadits) ditinjau dari segi kuantitasnya dibagimenjadi dua yaitu hadits ahad dan hadits mutawatir.
1. Hadis Ahad
a. Pengertian Hadis Ahad
Kata ahad berarti satu, khabar al-wahid adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Menurut istilah ilmu hadis, hadis ahad berarti :
ﻫﻭ ﻤﺎﻠﻡ ﻳﺟﻤﻊ ﺸﺭﻭﻄ ﺍﻠﻤﻭﺍﺘﺭ.
Artinya: Hadis yang tidak memenuhi syarat mutawatir.[3]
Sedangkan pendapat hadis lain, kata ahad bentuk plural (jamak) dari ahad (ﺍﺤﺎﺪﺠﻤﻊﺃﺤﺪ) dengan makna wahid : satu, tunggal atau esa. Hadis atau khabar wahid berarti hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi dengan dipanjangkan bacaan a-haad mempunyai makna satuan. Nilai angka satuan tidak mesti satu, tetapi dari satu sampai sembilan. Dalam bahasa arab khabar ahad (predikat dalam susunan) memasukan bentuk dua (tatsniah) dan bentuk banyak (jamak), karena pengertiannya adalah khabar yang tidak berupa jumlah (kalimat sempurna) dan tidak serupa dengannya.[4]
b. Macam-macam Hadis Ahad
Pembagian hadist ahad ada dua macam, yaitu hadist musnad dan mursal.
1) Musnad
Musnad adalah hadits yang bersambung sanadnya dari periwayatnya sampai ke Al-Musthafa dan tidak terputus. Pengertian musnad sendiri adalah “yang disandarkan”. Adapun pengertian hadits musnad adalah, segala hadits yang disandarkan kepada Nabi saw serta sanadnya bersambung. Sementara berita yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dinamakan berita yang marfu‘. Jadi bisa dikatakan juga bahwa hadits musnad adalah hadits yang marfu‘ dan sanadnya bersambung. Pengertian bersambung di sini adalah hadits yang sanadnya bersambung tidak terputus dari yang menceritakan riwayat sampai akhir sanad terus sampai kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Dengan demikian suatu hadits yang beritanya hanya terhenti pada sahabat (tidak menisbatkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam) dan juga rawinya diketahui gugur pada sahabat, tidaklah disebut sebagai hadist musnad. Musnad tidaklah sinonim dengan marfu‘, namun hadits yang musnad disyaratkan marfu‘, demikian juga hadits yang marfu‘ tidak mesti musnad.
Hadits musnad itu memerlukan dua syarat, yaitu bersambungan sanad serta penyandaran kepada Nabi saw. Dalam hadits musnad itu yang dilihat matan (isi/redaksi hadits) berikut sanadnya. Dengan kata lain hadits musnad itu pasti muttashil, dan setiap hadits musnad pasti marfu‘. Oleh karenanya tak boleh terdapat faktor keguguran dalam sanadnya.
Dijelaskan bahwa Hadits musnad adalah hadits yang sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Ada dua syarat bagi hadits musnad:
a) Sanadnya bersambung.
Ujung sanadnya adalah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam alis marfu’.Karenanya menurut definisi Imam Al-Baiquni, semua hadits yang terputus sanadnya secara jelas seperti hadits mu’allaq, mursal, dan mu’dhal, bukanlah hadits musnad karena sanadnya tidak bersambung.
b) Sanadnya teputus.
Demikian halnya hadits yang keterputusan sanadnya tersembunyi, seperti hadits mudallas dan mursal al-khafi, juga bukan musnad -berdasarkan pendapat yang paling kuat di kalangan ulama- karena sanadnya terputus.
Sebagaimana hadits mauquf dan hadits maqthu’ bukanlah hadits musnad karena ujung sanad hadits mauquf adalah sahabat sementara ujung sanad hadits maqthu’ adalah tabi’in atau yang berada di bawahnya sebagaimana yang telah dijelaskan pada edisi yang telah lalu.
Definisi musnad yang beliau sebutkan merupakan pendapat Al-Hakim rahimahullah. Karena beliau berkata dalam Ma’rifah Ulum Al-Hadits (hal. 17-18), “Hadits musnad adalah seorang muhaddits meriwyaatkan hadits dari gurunya yang dia mendengar darinya karena umurnya memungkinkan, demikian halnya gurunya mendengar hadits itu dari gurunya, sampai sanadnya bersambung kepada salah seorang sahabat yang masyhur dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.”
Kemudian beliau berkata selanjutnya, “Kemudian, musnad mempunyai beberapa syarat lain selain dari apa yang telah kami sebutkan. Di antaranya: Haditsnya tidak boleh mauquf, juga tidak boleh mursal, juga tidak boleh mu’dhal, dan dalam riwayatnya tidak boleh ada perawi mudallis.”
Definisi ini juga dipilih oleh Ibnu Al-Atsir dalam Jami’ Al-Ushul (1/107), Ibnu Daqiq Al-Id dalam Al-Iqtirah (hal. 196), Adz-Dzahabi dalam Al-Muqizhah (hal. 30), dan selainnya rahimahumullah.
Contoh hadits musnad:
Hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari no. 167 dimana beliau berkata:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا
Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami dari Malik dari Abu Az-Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian, maka hendaklah dia mencucinya sebanyak tujuh kali.”
Ini adalah hadits yang musnad, karena sanadnya bersambung mulai dari Al-Bukhari rahimahullah sampai kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Dan juga hadits ini marfu’ karena ujung sanadnya adalah Nabi shallallahu alaihi wasallam.
2) Mursal
مَا نَسَبَهُ التَّابِعِي الَّذِيْ سَمِعَ مِنَ الصَّحَابَةِ- إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةٍ
Hadits mursal yang disandarkan oleh para tabi’in -mereka adalah orang yang mendengarkan hadits dari sahabat- kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat.
Contoh Hadits Mursal
Bentuk ungkapan hadits mursal; seorang tabi’in mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda demikian”, “Melakukan demikian”, “Dilakukan hal demikian di hadapan beliau”, atau “Beliau memiliki sifat demikian” seraya memberitakan tentang salah satu sifat beliau saw.
Contoh: Abdur Razaq mengemukakan riwayat di dalam kitabnya Al Mushannaf (5281)
عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَعِدَ الْمِنْبَرَ أَقْبَلَ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ،
فَقَالَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
Dari Ibnu Juraij, dari Atha’, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam apabila naik ke mimbar beliau menghadapkan wajah beliau ke orang-orang lalu mengucap, “Assalamu’alaikum.”
Atha’ dalam hadits di atas adalah Atha’ bin Abi Rabah, seorang tabi’in besar, ia mendengarkan hadits dari sejumlah shahabat, tetapi riwayatnya dari Rasulullah adalah mursal.
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا حُجَيْنُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّه ِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْمُزَابَنَةِ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rafi’ telah menceritakan kepada kami Hujain bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Al Laits dari ‘Uqail dari Ibnu Syihab dari Sa’id bin Musayyab “bahwasannya Rasulullah Shallallu ‘alaihi wa sallam melarang transaksi dengan sistem muzabanah (menjual anggur dengan anggur atau kurma dengan kurma yang masih berada di pohon atau menjual ruthab (kurma yang masih basah) dengan kurma yang sudah kering). (HR. Muslim)
Sa’id bin Musayyab adalah seorang tabi’in senior, meriwayatkan hadits dari Nabi Saw tanpa menyebutkan perantara antara dia dengan Nabi Saw. maka telah gugur akhir dari sanad hadits ini, yakni setelah tabi’in, dalam hal ini telah gugur seorang sahabat, dan ada kemungkinan telah gugur bersamanya selain sahabat yakni tabi’in, misalnya.
Hukum Berargumen dengan Hadits Mursal
Hadits mursal menurut kebanyakan ulama’ adalah merupakan bagian dari hadits dha’if. Imam Muslim di dalam Muqaddimah Ash Shahih (1/30) berkata, “Riwayat yang mursal menurut pendapat kami dan pendapat ahli hadits tidak dapat menjadi hujjah”. Hanya saja, kedha’ifan hadits mursal adalah ringan, ia akan hilang apabila diikuti dengan riwayat yang setara kedha’ifannya atau lebih shahih darinya. selama riwayat tabi’nya ini tidak mursal dari thabaqah (tingkat) yang sama dengan riwayat yang pertama.
Sebagian Riwayat Mursal Lebih Shahih dari Riwayat yang Lain.Hadits yang diirsalkan oleh Sa’id bin Musayyib adalah mursal yang paling shahih, karena kebanyakan riwayatnya diperoleh dari shahabat secara langsung. Maka apabila ia mengirsalkan suatu riwayat, artinya ia menirsalkannya dari seorang shahabat.
Adapun irsalnya az-Zuhri dan Qatadah termasuk mursal yang diragukan, karena dalam irsal mereka berarti hilangnya lebih dari seorang rawi antara mereka dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka kebanyakan hadits mursal dari mereka sesungguhnya adalah mu’dhol.
1) Pendapat Ulama tentang Hadis Ahad dan Macamnya
Para ahli hadis berbeda pendapat tentang hadis ahad, pendapat tersebut adalah :
a. Segolongan ulama seperti Al-Qasayani, sebagai ulama dhahiriyah dan Ibn Daud, mengatakan bahwa kita tidak wajib beramal dengan hadis ahad.
b. Jumhur Ulama Ushul menetapkan bahwa hadis ahad memberikan faedah dzan. Oleh karena itu, hadis ahad wajib diamalkan sesudah diakui kesahihannya
c. Sebagian ulama menetapkan bahwa hadis ahad diamalkan dalam segala bidang.
d. Sebahagian muhaqqiqih menetapkan bahwa hadis ahad hanya wajib diamalkan dalam urusan amaliyah (furu’), ibadah, kaffarat dan hudud, namun tidak digunakan dalam urusan aqidah.
2) Imam Syafi’I berpendapat bahwa hadis ahad tidak menghapuskan suatu hukum dari hukum-hukum Al Quran.
3) Ahlu Zhahir (Pengikut Daud Ibn Ali al-Zhahiri) tidak membolehkan mentakhsiskan umum ayat-ayat Al Quran dengan hadis ahad.[5]
2. Hadis Mutawatir
a. Pengertian Hadis Mutawatir
Mutawatir secara kebahasaan adalah isim fail dari kata al-tawatur, yang berarti at tatabuk, yaitu berturut-turut. Menurut istilah ulama hadis, mutawatir berarti :
ﻤﺎﺭﺍﻩ ﻋﺪﺪ ﻜﺜﻴﺭ ﺗﺤﻴﻞ ﺍﻟﻌﺎﺪﺓ ﺗﻮﺍﻄﺆﻫﻢ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻜﺬﺏ.
Artinya :
Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang mustahil menurut adat bahwa mereka bersepakat untuk berbuat dusta.”
Ibnu al-Sahal mendefinisikan hadis mutawatir sebagai :
ﻔﺄﻧﻪ ﻋﺑﺎﺭﺓ ﻋﻦ ﺍﻠﺨﺒﺭ ﺍﻠﺬﻱ ﻴﻨﻘﻟﻪ ﻤﻦ ﻴﺤﺼﻞ ﺍﻠﻌﻟﻡ ﺒﺼﺪﻘﻪ ﺿﺭﻮﺭﺓ. ﻭﻻ ﺒﺪ ﻔﻰ ﺍﺴﻨﺎﺪﻩ ﻤﻦ ﺍﺴﺗﻤﺭﺍﺭ ﻫﺬ ﺍﻠﺸﺭﻄ ﻔﻰ
ﺭﻭﺍﺗﻪ ﻤﻦ ﺍﻭﻠﻪ ﺍﻠﻰ ﻤﻨﺗﻬﺎﻩ.
Artinya :
Sesungguhnya mutawatir itu adalah ungkapan tentang kabar yang dinukilkan (diriwayatkan) oleh orang yang menghasilkan ilmu dengan kebenarannya secara pasti. Dan persyaratan ini harus terdapat secara berkelanjutan pada setiap tingkatan perawi dari awal sampai akhir.
M. ‘Ajjaj al-Khatib memilih defenisi sebagai berikut :
ﻮﻫﻮ ﻤﺎ ﺭﻮﺍﻩ ﺠﻤﻊ ﺘﺤﻴﻞ ﺍﻟﻌﺎﺪﺓ ﺘﻮﺍﻄﺅﻫﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻌﺫﺐ ﻋﻥ ﻤﺛﻠﻬﻢ ﻤﻥ ﺍﻮﻞ ﺍﻠﺴﻨﺪ ﺍﻠﻰ ﻤﺘﺗﻬﺎﻩ ﺍﻠﻰ ﺍﻥ ﻻ ﻴﺣﺗﻝ
ﻫﺬﺍ ﺍﻠﺟﻤﻊ ﻔﻰ ﺍﻱ ﻄﺑﻘﺔ ﻤﻦ ﻄﺑﻘﺎﺖ ﺍﻠﺴﻧﺩ.
Artinya :
Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang mustahil secara adat mereka akan bersepakat untuk melakukan dusta (yang diterimanya) dari sejumlah perawi yang sama dengan mereka, dari awal sanad sampai kepada akhir sanad, dengan syarat tidak rusak (kurang) perawi tersebut pada seluruh tingkatan sanad.
Dari berbagai defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadis mutawatir adalah hadis yang memiliki sanad yang pada setiap tingkatannya terdiri atas perawi yang banyak dengan jumlah yang menurut hukum adat atau akal tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kebohongan terhadap hadis yang mereka riwayatkan tersebut.[6]
ﻤﺎ ﻜﺎﻦ ﻋﻦ ﻤﺤﺴﻭﺲ ﺍﺨﺒﺮﺑﻪ ﺠﻤﺎﻋﺔ ﺑﻠﻐﻮ ﻔﻰ ﺍﻠﻜﺜﺮﺓ ﻤﺒﻟﻐﺎ ﺘﺣﻴﻞ ﺍﻠﻌﺎﺪﺓ ﺘﻮﺍﻄﺆﻫﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻜﺬﺏ.
Artinya :
Khabar yang didasarkan kepada panca indera, yang diberitakan oleh sejumlah orang, yang jumlah tersebut menurut adat kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat (lebih dahulu) atas dusta (dalam perbuatannya itu).[7]
2. Kriteria Hadis Mutawatir
Berdasarkan defenisi mengenai hadis mutawatir diatas, para ulama hadis selanjutnya menetapkan bahwa suatu hadis dapat dinyatakan sebagai mutawatir apabila telah memenuhi kriteria tertentu. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut [8] :
1) Jumlah perawinya harus banyak. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan jumlah minimalnya dan menurut pendapat yang terpilih minimalnya sepuluh perawi.
2) Perawi yang banyak ini harus terpaut dalam semua thabaqat (generasi) sanad.
3) Secara rasional dan menurut kebiasaan (adat) para perawi-perawi tersebut mustahil sepakat untuk berdusta.
4) Sandaran beritanya adalah panca indera dan itu ditandai dengan kata-kata yang digunakan dalam meriwayatkan sebuah hadis, seperti kata ﺴﻤﻌﻧﺎ (kami telah mendengar), ﺮﺍﻴﻧﺎ (kami telah melihat), ﻟﻤﺴﻧﺎ (kami telah menyentuh) dan lain sebagainya. Adapun jika sandaran beritanya adalah akal semata, seperti pendapat tentang alam semesta yang bersifat hudus (baharu), maka hadis tersebut tidak dinamakan mutawatir.[9]
Sedangkan syarat yang lain seperti jumlah perawinya harus banyak, perawinya harus sama-sama thabaqat dan secara rasional mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ini merupakan kriteria yang tidak berkaitan keabsahannya dengan panca indera.
Dengan demikian kriteria yang digunakan untuk menilai bahwa hadis itu mutawatir, harus menggunakan panca indera. Sebab dengan panca indera dapat dengan jelas dan mudah untuk dipastikan kebenarannya, sebagai contoh : ﺮﺍﻴﻨﺎ (kami melihat), berarti orang-orang itu sama-sama melihat terjadinya peristiwa itu. Begitu juga dengan ﺴﻤﻌﻨﺎ (kami mendengar), berarti mereka sama-sama mendengar perkataan/ ucapan yang sama. Dengan demikian lebih mudah meneliti kebenarannya.
Ada juga pendapat lain yang menyebutkan bahwa syarat yang harus dipenuhi untuk dapat disebut hadis mutawatir, yaitu :
a. Isi hadis itu harus hal-hal yang dapat dicapai dengan panca indera.
b. Orang yang menceritakannya harus sejumlah orang yang menurut adat kebiasaan tidak mungkin untuk berdusta, sifatnya Qath’iy.
c. Pemberita-pemberita itu terdapat pada semua generasi yang sama.[10]
3. Macam-macam Hadis Mutawatir
Hadis mutawatir terbagi kepada dua, yaitu : mutawatir lafzi dan mutawatir ma’nawi.
a) Mutawatir Lafzi
Mutawatir Lafzi adalah hadis mutawatir yang berkaitan dengan lafal perkataan Nabi. Artinya perkataan Nabi diriwayatkan oleh orang banyak kepada orang banyak, seperti hadis Nabi saw. :
ﻮﺤﺩﺜﻨﺎ ﻤﺤﻤﺩ ﺑﻦ ﻋﺑﻴﺩ ﺍﻠﻐﺑﺮﻱ ﺤﺩﺜﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻋﻮﺍﻨﺔ ﻋﻦ ﺃﺑﻰ ﺤﺻﻴﻦ ﻋﻦ ﺃﺑﻰ ﺻﺎﻟﺢ ﻋﻦ ﺃﺑﻰ ﻫﺮﻴﺮﺓ ﻘﺎﻞ ﻘﺎﻞ ﺮﺴﻮﻞ ﺍﷲ
ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺴﻠﻢ ﻤﻦ ﻜﺬﺏ ﻋﻟﻲ ﻤﺘﻌﻤﺪﺍ ﻔﻠﻴﺘﺑﺮﺃ ﻤﻘﻌﺪﻩ ﻤﻦ ﺍﻠﻨﺎﺭ. ﴿ﻤﺴﻠﻢ﴾
Artinya :
Berbicara kepada kami Muhammad bin Ubaid Al-Gabary diceritakan lagi oleh Abu Awanah dari Abi Hasin dari Abi Salih dari Abi Hurairah berkata, berkata Rasulullah saw: Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah bersiap-siap untuk mengambil tempat di neraka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).[11]
Suatu mutawatir dikatakan lafziah, bila redaksi dan kandungan sunnah yang disampaikan oleh sekian banyak perawi tersebut adalah sama benar.[12]
Pendapat yang lain menjelaskan bahwa pengertian dari hadis mutawatir lafzi adalah :
ﻤﺎ ﺍﺘﻘﺖ ﺍﻠﻔﺎﻈ ﺍﻠﺭﻭﺍﺓ ﻔﻴﻪ ﻭﻠﻭ ﺤﻜﻤﺎ ﻭﻔﻲ ﻤﻌﻧﺎﻩ.
Artinya :
Hadis yang lafaz-lafaz para perawi itu sama, baik hukum maupun maksudnya.
Menurut Ibnu Hibban dan al-Hasyimi berpendapat bahwa hadis mutawatir sebagai mana definisi tersebut diatas tidak ada wujudnya. Sedang menurut pendapat Ibnu Salahah yang pendapatnya diikuti oleh Imam An-Nawawi, bahwa hadis mutawatir lafzi sedikit sekali dan sulit diberikan contohnya, kecuali hadist :
ﺤﺪﺜﻨﺎ ﻤﻭﺴﻰ ﻘﺎﻝ ﺤﺪﺜﻨﺎ ﺍﺒﻭ ﻋﻭﺍﻨﺔ ﻋﻦ ﺍﺒﻰ ﺼﺎﻠﺢ ﻋﻦ ﺍﺒﻰ ﺤﺮﻳﺮﺓ ﻋﻦ ﺍﻠﻨﺒﻰ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻳﻪ ﻮﺴﻠﻢ ﺘﺴﻤﻮﺍ ﺒﺄﺴﻤﻲ
ﻮﻻ ﺘﻜﺘﻧﻮﺍ ﺒﻜﻧﻳﺘﻰ ﻮﻤﻦ ﺮﺍﻧﻰ ﻔﻰ ﺍﻟﻤﻧﺎﻤﻰ ﻔﻘﺪ ﺮﺍﻧﻰ ﻔﺄﻦ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻦ ﻻﻴﺗﻤﺛﻞ ﻔﻰ ﺻﻭﺭﺗﻰ ﻭﻤﻦ ﻜﺬﺐ ﻋﻠﻰ ﻤﻌﻤﺪﺍ
ﻔﻟﻴﺗﺒﻮﺃ ﻤﻘﻌﺪﻩ ﻤﻦ ﺍﻠﻧﺎﺮ. ﴿ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺒﺨﺎﺮﻯ﴾
Artinya :
Menceritakan kepada Musa dia berkata menceritakan kepada Abu Uwanah diperoleh dari Abi Husain dari Abi Salih dari Abi Hurairah dari Nabi saw., jadikan nama kamu sesuai dengan namaku, dan jangan kamu melekatkan keburukan dengan yang aku anggap itu buruk. Siapa yang diantara kamu melihatku di dalam tidurnya, maka ia benar-benar telah melihatku. Sesungghnya Setan tidak bisa menyerupai bentukku dan siapa yang berdusta dengan sengaja, maka ia telah menyediakan tempatnya di dalam neraka.” (HR Bukhari)[13]
Dan ternyata hadis tersebut pun juga terdapat lafaz yang lain yang hampir sama bunyinya, seperti hadis yang berbunyi :
ﺤﺩﺜﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺭ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺸﻴﺑﺔ ﺤﺪﺜﻨﺎ ﻤﺤﻤﺩ ﺑﻦ ﺑﺸﺭ ﻋﻦ ﻤﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻤﺭﻮ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﺴﻠﻤﺔ ﻋﻦ ﺃﺑﻰ ﻫﺮﻴﺮﺓ ﻘﺎﻞ
ﻘﺎﻞ ﺮﺴﻮﻞ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺴﻠﻢ ﻤﻦ ﺗﻘﻮﻞ ﻋﻠﻲ ﻤﺎﻠﻢ ﺃﻘﻞ ﻔﻠﻴﺘﺑﺮﺃ ﻤﻘﻌﺪﻩ ﻤﻦ ﺍﻠﻨﺎﺭ. ﴿ﺇﺑﻦ ﻤﺎﺠﻪ﴾
Menurut Imam an-Nawawi hadis tersebut diriwayatkan oleh 200 sahabat.[14] Lafaz hadis ini (ﻤﻦ ﻜﺬﺐ ﻋﻠﻲ ﻤﺘﻌﻤﺩﺍ ) diriwayatkan lebih dari 70 sahabat, tetapi yang semakna dalam hadis ini benar diriwayatkan oleh 200 orang sahabat sebagaimana dikatakan oleh Imam an-Nawawi. Jadi, dapat dikatakan hadis mutawatir lafzi ialah hadis mutawatir yang lafaz-lafaz hadisnya sama atau hampir bersamaan.[15]
2) Mutawatir Ma’nawi
Mutawatir Ma’nawi adalah hadis tentang perbuatan Nabi saw. yang mengangkat tangan pada waktu berdoa. Hadis tersebut diriwayatkan sebanyak lebih kurang 100 macam hadis dengan redaksi yang berbeda. Kendati pun hadis-hadis itu berbeda redaksinya, namun karena semua pesan yang terkandung masih mempunyai qadar musytarak (titik persamaan), yakni keadaan Nabi mengangkat tangan pada waktu berdoa, maka hadis-hadis itu disebut hadis mutawatir ma’nawi.
ﻤﺎﺍﺤﺘﻠﻔﻮﺍ ﻔﻰ ﻠﻔﻈﻪ ﻮﻤﻌﻧﺎﻩ ﻤﻊ ﺮﺠﻮﻋﻪ ﻠﻤﻌﻧﻰ ﻜﻠﻲ.
Artinya :
Hadis yang berlainan bunyi dan maknanya, tapi dapat diambil diambil makna umum.
Contoh hadis mutawatir ma’nawi adalah :
ﻜﺎﻦ ﺍﻠﻧﺑﻲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺳﻟﻡ ﻻﻴﺭﻔﻊ ﻴﺪﻴﻪ ﻔﻰ ﺷﻴﺊ ﻤﻦ ﺪﻋﺎﺌﻪ ﺍﻻ ﻔﻰ ﺍﻹﺴﺗﺷﻘﺎﺀ ﻭﺇﻧﻪ ﻴﺭﻔﻊ ﺤﺗﻰ ﻴﺭﻯ ﺑﻴﺎﺾ ﺇﺑﻄﻴﻪ.
(ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺑﺨﺎﺭﻯ(
Artinya :
Nabi saw. tidak mengangkat kedua tangannya dalam doa-doa beliau, kecuali dalam shalat Istisqa’ dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya.” (HR Bukhari).[16]
Hadis mengangkat tangan dalam berdoa, dalam penelitian As-Suyuti terdapat 100 periwayatan yang menjelaskan bahwa Nabi mengangkat kedua tanganya ketika berdoa dalam beberapa kondisi yang berbeda, seperti dalam shalat Istisqa’, pada saat ada hujan angin ribut, dalam suatu pertempuran dan lain-lain, maka disimpulkan bahwa mengangkat tangan dalam berdoa mutawatir melihat keseluruhan periwayatan dalam kondisi yang berbeda tersebut.[17]
3) Mutawatir ‘Amali
Mutawatir ‘Amali adalah :
ﻤﺎﻋﻟﻡ ﻤﻦ ﺍﻟﺪﻴﻥ ﺑﺎﻟﺿﺭﻭﺭﺓ ﻭﺗﻭﺍﺗﺭ ﺑﻴﻥ ﺍﻟﻤﺴﻟﻤﻴﻥ ﺍﺫﺍﻟﻨﺑﻲ ﺻﻟﻰﺍﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭﺴﻠﻡ ﻔﻌﻟﻪ ﺍﻭ ﺍﻤﺭﺑﻪ ﺍﻭ ﻏﻴﺭ ﺫﻟﻚ
ﻭﻫﻭ ﺍﻠﺫﻯ ﻴﻨﻄﻖ ﻋﻠﻴﻪ ﺘﻌﺮﻴﻒ ﺍﻷ ﺠﻤﺎﻉ ﺍﻧﻄﺑﺎﻘﺎ ﺻﺤﻴﺤﺎ.
Artinya :
Sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir dikalangan umat Islam bahwa Nabi saw. mengajarkan atau menyuruhnya atau selain itu, dari hal itu dapat dikatakan soal yang disepakati.
Contoh Hadis Mutawatir ‘Amali adalah berita-berita yang menerangkan waktu dan rakaat shalat, shalat jenazah, shalat Ied, hijab perempuan yang bukan mahram, kadar zakat dan segala rupa amal yang menjadi kesepakatan dan ijma’.[18]
d. Hukum dan Kedudukan Hadis Mutawatir
Status dan hukum hadis mutawatir adalah qat’i al-wurud, yaitu pasti kebenarannya dan menghasilkan ilmu yang dharury (pasti). Oleh karenanya, adalah wajib bagi umat Islam untuk menerima dan mengamalkannya. Dan karenanya pula, orang yang menolak hadis mutawatir dihukumkan kafir adalah maqbul, dan karena itu pembahasan mengenai keadaan para perawinya tak diperlukan lagi
[1] Nawer Yuslem, op. cit., h. 69.
[2] Imam Abi Al-Husain Muslim Ibn Al-Hajjaj bin Muslim An-Naisabury. Shahih Muslim. Jus II. t.c. (Beirut: Dar Ihya al Kutubil Arabiyah. t.th.), h. 782.
[3] Nawer Yuslem, op. cit., h. 79.
[4] H. Abdul Majid Khon, op. cit., h. 134.
[5] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, loc. cit. h.83
[6] Nawer Yuslem, Ulumul Hadits (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2006), h. 62.
[7] Moh. Anwar, Ilmu Mushthalah Hadits (Surabaya: Bintang Prima, 2001), h. 174.
[8] Nawer Yuslem, op. cit., h. 69.
[9] Muhamud at-Thahha, Taisir Musthalah al-Hadits, Cet. VII; Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1985.
[10] Ahmad bin Ali bin Muhammad Ja’far bin Hijr Al-Kattani Al-Asqalani Al-Qahiry, Subulus Salam (Mesir: Mustafa al Baby al Halaby, 1389 H.), h. 392.
[11] Imam Abi Al-Husain Muslim Ibn Al-Hajjaj bin Muslim An-Naisabury. Shahih Muslim. Jus II. t.c. (Beirut: Dar Ihya al Kutubil Arabiyah. t.th.), h. 782.
[12] Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami (cet. I; Bandung: al-Ma’arif, 1986), h. 95.
[13] Abu Abdullah bin Muhammad Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari. Jus. IV (Bairut: Darul Fiqri. t.th), h. 498.
[14] A. Hanafie, Usul Fiqh. (Cet. VI; Jakarta: Widjaya, 1985), h. 193.
[15] Abu Abdullah bin Muhammad Ismail Al-Bukhari, op. cit., h. 499.
[16] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 167.
[17] H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis. (Semarang: CV. Toha Putra, 2004), h. 131.
[18] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, op. cit., h. 168.
0 komentar:
Post a Comment