Thursday, November 5, 2020

Nahy dalam Ushul Fikih

 


A.    Pengertian An-Nahy

Secara etimologi, An-Nahy  berasal dari bahasa arab (النهي ) yang artinya mencegah atau melarang.

Adapun menurut syara’ ialah :

طلب الترك من الاعلى الى الادنى

“ Memerintah meninggalkan sesuatu dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya”

Sebagaimana halnya amar (perintah), sebahagian ulama ushul mensyaratkan isti’la’ pada nahi juga. Dengan kata lain, nahi bisa diartikan sebagai tuntutan Allah SWT kepada hambanya untuk meninggalkan satu perbuatan.

Sedangkan menurut istilah ushul fikih, sebuah nahi (larangan) yang bermuatan hukum syar’i adalah nash-nash syariat yang melarang mukallaf untuk melakukan  suatu perbuatan.[1]

B.    Sighat An-Nahi

Shighat An-Nahi merupakan tuntutan yang berisi larangan, maka bagian ini akan diuraikan berbagai macam shighat An-Nahi.Adapun bentuk shighat An-Nahi itu adalah:

1.    Fi’il Mudhari’ yang dihubungkan dengan لا ناهيه 

Yaitu yang menunjukkan larangan atau menyatakan tidak boleh melakukan perbuatan.sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Isra’  ayat 32 :

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا  

“ Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”(Q.S. Al-Isra’ :32)

2.    Kata yang berbentuk perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan.

Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Hajj:30

فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ  

Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.”(Q.S.Al-Hajj:30)

3.    Menggunakan kata ( نهي ) itu sendiri dalam kalimat.sebagaimana dalam firman Allah

لَا جَرَمَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْتَكْبِرِينَ

“ Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.Dia memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”(Q.S.Al-Nahl:23)

4.    Jumlah Khabariyah, yaitu kalimat berita yang digunakan untuk menunjukkan larangan dengan cara pengharaman sesuatu atau menyatakan tidak halalnya sesuatu.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا

“ Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa (Q.S. an-Nisa’ : 19)

Dari keempat macam bentuk yang telah disebutkan di atas, merupakan shighat An-Nahi yang dapat digolongkan kepada larangan. Akan tetapi, menurut Mustafa Said al-Khin,bahwa shighat An-Nahi yang sebenarnya adalah fi’il mudhari’, yang dimasuki atau yang dihubungkan dengan لاناهيه )[2]

Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudari Bik, Allah juga memakai berbagai ragam gaya bahasa. Diantaranya adalah:

1.         Larangan secara tegas dengan memakai kata naha (نهى) atau yang seakar dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Contoh :

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran
(An-Nahl:90)

2.         Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan. Misalnya:

وَذَرُوا ظَاهِرَ الْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَكْسِبُونَ الْإِثْمَ سَيُجْزَوْنَ بِمَا كَانُوا يَقْتَرِفُونَ

“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan. (Al-A’raf ayat 33.)

3.         Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan. Misalnya: Surat an-Nisa ayat 19.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

4.         Larangan dengan menggunakan kata kerja mudhari’ (kata kerja untuk sekarang/mendatang) yang disertai huruf lam yang menunjukkan larangan. Misalnya:

وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ ۖ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۖ وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ ۖ وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. (QS.Al-An’am ayat152)

5.         Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan. Misalnya: Surat al-An’am ayat 120.

وَذَرُوا ظَاهِرَ الْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَكْسِبُونَ الْإِثْمَ سَيُجْزَوْنَ بِمَا كَانُوا يَقْتَرِفُونَ

“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan.”[3]

C.    Qaidah-Qoidah An-Nahy

 

1.           Nahi menunjukkan kepada haram

اَلْاَصْلُ فِى النَّهْيِ لِلتَّحْرِيْمِ

“Asal pada larangan untuk haram”

Menurut kepada pemikiran tiap-tiap masalah yang sunyi daripada qarenah yang menunjukkan kepada larangan mengandung akan arti yang hakiki yaitu haram.

Contohnya: seperti firman Allah SWT:

وَلَاتَقْرَبُوا الزِّنَى

“Dan janganlah kamu dekati zina”.

Dalam ayat ini terdapat bentuk kalimat larangan yang sunyi dari qarenah, menunjukkan kepada haqiqat larangan yang mutlak. Dan jika kalimat itu mempunyai qarenah, tidak menunjukkan haqiqat larangan, seperti firman Allah SWT.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ

Artinya: “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu kerjakan shalat dalam keadaan mabuk” (QS. An-Nisa: 43)

 

2.      Nahi menunjukkan larangan sesuatu, suruhan bagi lawannya

اَلنَّهْيُ عَنِ الشَّىْءِ اَمْرٌ بِضِدِّهِ

“Dilarang dari sesuatu, disuruh dengan lawannya”

Contohnya: dilarang meninggalkan sembahyang, tentu disuruh mengerjakannya.

Jika dilarang mengerjakan suatu perbuatan, perbuatan mana kalau dikerjakan dihukum menutut hakikatnya (haram), mesti disuruh menghentikannya, seperti dilarang meninggalkan sembahyang, tentu di suruh mengerjakannya.

 

3.      Nahi menunjukkan larangan yang mutlak

اَلنَّهْيُ اْلُمطْلَقُ يَقْتَضِى الدَّوَامَ فِى جَمِيْعِ اْلاَزْمِنَةِ

“Larangan yang mutlak menghendaki berbekalan dalam sepanjang masa”

Dalam suatu larangan yang berbentuk mutlak, baik membawa kebinasaaan maupun menjauhinya, baru mencapai hasil yang sempurna, apabila di jauhi yang membinasakan itu selama-lamanya.seperti: perkataan seorang bapak kepada anaknya ‘jangan kamu dekati singa’, maka anak itu disuruh menjauhi binatang tersebut selama-lamanya karena untuk melepaskan diri dari kebinasaan.

4.      Nahi menunjukkan larangan dalam beribadah

اَلنَّهْيُ يَدُلُّ عَلَى فَسَادِ اْلُمنْهِيِّ عَنْهُ فِى عِبَادَاتِ

“Larangan menunjukkan kebinasaan yang dilarang dalam beribadah”

Untuk mengetahui mana yang sah dan mana yang batal dalam urusan ibadat, haruslah ia mengerjakan perintah dan menjauhi larangan. Kalau seorang umpamanya mengerjakan apa yang di larang, berarti ia melanggar apa yang diperintahkan. Orang yang melanggar perintah masih dituntut untuk mengerjakannya, jika masih dituntut mengerjakannya berarti dia belum bebas dari suatu perbuatan, oleh sebab itu harus mengulangi ibadatnya misalnya: wanita yang sedang haidh dilarang mengerjakan shalat dan puasa, berarti dituntut untuk mengerjakannya apabila telah suci.         

5.      Nahi menunjukkan larangan dalam mu’amalah

اَلنَّهْىُ يَدُلُّ عَلَى فَسَادِ اْلُمنْهِيِّ عَنْهُ فِى اْلعُقُوْدِ

“Larangan yang menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang dalam ber’akad”

Apabila larangan itu kembali kepada aqad itu sendiri bukan kepada yang lain, seperti: dilarang menjual anak hewan yang masih di dalam kandungan ibunya, berarti akad jual beli tidak sah (batal), karena yang diperjualbelikan itu belum jelas dan belum memenuhi rukun jual beli, antara lain:

a)   Adanya dua orang yang berakad (penjual & pembeli),

b)   Sighat (lafadz) jual beli dan

c)   Ada barang yang diperjual belikan.

Rasulullah SAW bersabda:

نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ اْلَملَاقِيْحِ

“Melarang Nabi SAW memperjualbelikan anak dalam kandungan ibunya”.

Adakalanya larangan itu tidak membatalkan jula beli, seperti jual beli waktu panggilan shalat Jum’at, karena melalaikan untuk besegera mengerjakan shalat Jum’at. Firman Allah SWT:

اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ اْلجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا اْلبَيْعَ

“Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan shalat Jum’at pada hari Jum’at, hendaklah bersegera mengingat Allah (pergi shalat Jum’at) dan tinggalkan jual beli”. [4]



[1]              Drs. Moh. rifa’i Ushul fiqih, pt. Al ma’rif, Bandung hal:

[3]              Drs. moh. Rifa’i Ushul Fiqh, pt. all ma’arif, Bandung

[4]              Ust. Abdul Hmid Hakim, Mubadi’ Awaliyah SA’ADIYAH PUTRA, Jakarta

 

0 komentar:

Post a Comment