Thursday, November 5, 2020

Tertib Dalil dalam Ushul Fiqih

 

 

 

A.        Tertib Menggunakan Dalil

Metode menguakan dalil itu harus diperhatikan urut – urutannya yaitu sebagai berikut:

1.      Dalil yang tegas dan terang harus lebih di utamakan daripada dalil yang samar, seperti dalil yang dzahir dan dalil yang mu’awwal[1]

Contohnya dalil dzahir:[2] lafadz dzahir

لَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Terjemah Arti: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekal di dalamnya.

Ayat ini datang, menurut konteks kalimatnya, untuk mengharamkan riba dan untuk menjelaskan perbedaan antara riba dan jual beli. Akan tetapi, dari zhahir lafazhnya mengandung pengertian diperbolehkannya jual beli.

Contohdalil mu’awwal:

Seperti lafaz “yadun” dari firman Allah yang berbunyi:

والسمأ بنينا ها بأيد.

“Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan kami.” (QS. Adz-Dzariyaat: 47).

Lafadz (يد pada ayat diatas, makna dzahir –nya adalah “tangan” sebagaimana keterangan diatas. Tetapi oleh para ulama’, lafadz (يد) atau (ايد) pada ayat diatas diartikan “tangan” berarti mempersamakan Allah dengan makhluk, bahwasanya tida ada satupun di alam semesta ini yang menyerupai allah yang sebagaimana difirmankan dalam Al-Qur’an yang berbunyi:

ليس كمثله شئ

“Tidak ada satupun yang menyerupai-Nya”. (QS. A-s-Syura: 11).

2.      Dalil yang lafadnya bermakna hakiki itu lebih di dahulukan daripada dalil yang lafadnya bermakna majazicontohnya:[3]. (QS. Gafir:13.)

و ينز ل لكم من السماء رزقا                                                                     

Dalam ayat diatas terdapat kata رزقا yang artinya rizki. akan tetapi maksud ayat tersebut adalah hujan. oleh karena itu kata tersebut dikatakan majaz karena bukan arti yang sebenarnya.

Hakiki adalah makna asal dari suatu lafad yang pengertiannya di pahami banyak orang secara umum.

contoh: (QS. Gafir:13.)                                      

و ينز ل لكم من السماء رزقا                                                                    

seperti yang telah di bahas di atas bahwa makna kata رزق adalah rizki المطر adalah makna hakiki dari ungkapan kata رزق.

3.      Dalil yang memberikan pengertian yakin (qath’i) itu lebih didahulukan, dari pada dalil yang memberikan pengertian dzonni

Contohnya adalah:

Dalil qath’I terdapat dalam HR. Bukhori: 1503 dan Muslim: 984

Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ kurma, atau gandum bagi seorang muslim baik dari hamba sahaya, orang yang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil maupun orang dewasa. Dan beliau menyuruh agar ditunaikan sebelum orang-orang pergi menuju tempat shalat hari raya idul fitri”.

(HR. Bukhori: 1503 dan Muslim: 984), sedangkan dalil dzonni contohnya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. (QS. al Baqarah: 228)

Kata “Quru’ “dalam bahasa Arab adalah termasuk kata yang mempunyai lebih dari satu arti, yaitu; arti pertama adalah suci dan arti kedua adalah haid, sedangkan ayat di atas menunjukkan bahwa yang dicerai suaminya ia menunggu selama tiga quru’, artinya bisa jadi tiga kali suci atau tiga kali haid. Maka kata tersebut bukan termasuk kata “qath’i dilalah”. Oleh karenanya para ulama mujtahid berbeda pendapat tentang masa iddah (menunggu) seorang istri yang dicerai oleh suaminya antara tiga kali suci atau tiga kali haid [4]

Dalil al-quran dan al- hadits nabi saw, itu lebih di utamakan dari pada kiyas, begitu juga dengan kiyas, kiyas yang jelas di dahulukan daripada kiyas yang samar,seperti mendahulukan kiyas illat dari pada kiyas syibhu [5]



[1]Jalaludin Al- Mahalli.’Terjemah Syarah Al- Waroqot, Hal. 136.

[4]https://islamqa.info/id/answers/170581/apakah-di-dalam-teks-wahyu-ada-istilah-qathi-dilalah-dan-dzanni-dilalah

[5]Jalaludin Al- Mahalli.’Terjemah Syarah Al- Waroqot, Hal. 138.

0 komentar:

Post a Comment